cerpen romantis "Jatuh Hati pada Pemilik Suara Merdu."

#cerpen romantis bikin baper

#cerpen cinta romantis banget

#fiksi.

Setiap pagi sebelum masuk waktu subuh, suara itu selalu membangunkan ku dengan tilawahnya yang begitu merdu.

Aku tidak tau siapa pemilik suara merdu itu, yang jelas Dia salah satu santri pondok yang ada di depan rumah Nenekku ini.

Sejak orangtuaku meninggal Aku tinggal bersama Nenek dan Tante Mayang.

Setiap pagi pemilik suara merdu itu membaca Al-Qur'an surah Al Waqi'ah lewat toa masjid pondok sebelum Adzan dikumandangkan.

Suara itu mampu membuatku terjaga, menemaniku mengerjakan tugas yang belum Aku selesaikan, suara yang menenangkan juga membuat Aku kecanduan ingin selalu mendengarkan.

Aku tidak pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya, padahal hampir semua temanku sudah memiliki pacar.

Aku memang tidak ingin pacaran dulu, Aku harus fokus pada sekolahku. Aku baru kelas 12 SMA, waktunya fokus pada persiapan ujian.

Hatiku benar-benar terusik pada suara itu.

Baru tiga bulan Aku tinggal disini dan Aku juga ikut mengaji di pondok ba'da magrib sampai ba'da isya lalu pulang kerumah.

Banyak yang sepertiku, yang rumahnya dekat dengan pondok ini, ikut mengaji tapi tidak tinggal di pondok, orang menyebutnya santri kalong.

Sebenarnya Aku sangat penasaran dengan pemilik suara merdu itu, tapi Aku malu menanyakan pada santri wati yang Aku kenal.

Sampai saat ini pemilik suara merdu itu masih membuatku penasaran.

Hari ini hari minggu, Aku tidak masuk sekolah tapi suara itu tetap membangunkanku tepat jam 4 pagi.

Nanti malam di pondok ada acara khataman, Aku juga ikut Khataman kitab fathul mu'in.

Baiknya Aku sekarang muroja'ah sebentar untuk persiapan khataman nanti.

Desir aneh menyusup perlahan dalam hati, Aku benar-benar menyukai suara itu, setiap suara itu Adzan Subuh hatiku bergetar hebat, mungkinkah ini yang dinamakan cinta?

Padahal Aku belum pernah melihat orangnya.

***

BACA JUGA :

Acara berlangsung begitu ramai, panggung pentas sudah dihias sedemikian cantiknya.

Wali santri sudah duduk di bagian tamu khusus.

Nenekku juga sudah terlihat di deretan wali. Dari pancaran matanya terlihat sangat bangga padaku.

Tamu undangan dan seluruh orang didesa berduyun-duyun datang menghadiri pengajian Akbar serta Khataman ini.

Aku sudah bersiap-siap berbaris untuk naik panggung, karena pertama kali pentas khataman.

Dibelakang panggung 20 santriwati sudah siap berbaris. Karena tubuhku tinggi Aku baris di nomor urut 3 dari belakang dan nanti akan berdiri di belakang saf pertama.

Tegang, tentu saja.

Acaranya di majukan mendadak. Kita hanya latihan satu kali tadi pagi naik panggung.

Suara hadroh mengiringi rombongan berjalan menaiki panggung.

Aku melangkah sedikit demi sedikit.

"Marhabann... yaaa Nurol'ainii marhaban....marhaban..."

Itu... itu suara si pemilik suara merdu.

Ya Allah

Aku celingak celinguk mencari arah suara.

Mataku tertuju pada rombongan hadroh, tampak sosok laki-laki berbaju serba putih berperawakan tinggi, berkulit putih, bermata sipit memegang microfon.

Ternyata itu orangnya. Masya Allah.

Bukk.

Aku di tabrak oleh belakangku.

Kembali Aku menundukan pandangan dan berjalan.

Hatiku terasa berdesir-desir seperti ada tebaran bunga-bunga yang menghujaniku seketika.

Senang Akhirnya bisa melihat langsung pemilik suara merdu itu.

Selesai Khataman dan mendapatkan piagam, rombongan turun panggung sambil diiringi suara hadroh lagi.

Tadi pagi pada saat latihan, hadrohnya sedang di undang di acara pengajian tempat lain jadi Aku baru tau sekarang.

Turun dari panggung langsung disambut Wali santri, kita bersalam-salaman.

Terharu saat bersalaman dan memeluk Nenek.

Kangen sama Ibu juga Bapak.

Tak terasa airmataku tumpah dipelukan Nenek.

***

BACA JUGA :

Aku duduk di bangku yang tak jauh dari grup Hadroh bersama santriwati yang lain.

Bahagia rasanya bisa puas melihat dan mendengar suara merdu itu.

Ternyata semua santri di sebelahku memuji-muji pemilik suara itu.

"Aduuhh... Kang Faris udah ganteng terus suaranya merdu bangett."

Oh ternyata namanya Faris.

Telingaku panas mendengar mereka memuji-muji Kang Faris terus.

Apa ini yang dinamakan cemburu, seperti yang teman-temanku katakan?

***

BACA JUGA :

Mbak Diana teman paling Akrab di pondok ternyata juga menyukai Kang Faris, Mbak Diana bercerita banyak padaku tentang prestasi Kang Faris di bidang tarik suara entah itu Qiroah, Adzan juga Hadrohnya sudah berulangkali mendapatkan juara. Bahkan katanya pernah ikut tingkat internasional juara 3.

Mendengar Mbak Diana juga suka Kang Faris nyaliku jadi ciut belum lagi santri santri lainya.

Biarlah, Aku tidak niat sama sekali untuk bersaing, walaupun sering kusematkan namanya dalam doaku tapi tidak untuk aku tunjukan pada siapapun.

Hari ini ulangtahunku yang ke 17tahun, yang katanya sweet seventeen Tante Mayang mengajakku makan diluar.

Saat sedang Asik mengobrol, kita melihat mobil Abah Muhlis parkir di depan Rumah Makan.

Tak lama kemudian Abah Muhlis turun disusul pendereknya (pengikutnya).

Auto tersenyum melihat Kang Faris juga ikut.

Sepertinya Abah Muhlis sudah janjian dengan kerabat atau temannya, Beliau langsung gabung duduk di bangku yang tempatnya lumayan jauh dari tempat duduk kami.

Kang Faris berjalan mendekati kami,

Senyumnya membuatku terpaku.

"Assalamu'alaikum Mbak Mayang?"

"Wa'alaikumsalam... Gimana kabar Ris?"

"Baik Mba."

"Boleh Saya ikut duduk gabung disini Mbak, sudah lama tidak ngobrol sama Mbak Mayang?"

"Silahkan... tentu saja."

Kang faris menarik kursi di sebelah Tante Mayang. Ada Empat kursi, satu lagi di sebelahku.

Sepertinya debaran jantungku berpacu lebih cepat.

Aku sedang tidak siap, tiba-tiba bertemu dengan Kang Faris.

"Tan, Aku permisi ke toilet dulu ya?"

"Iya." 

Aku berdiri lantas buru-buru ketoilet.

"Nisa?"

"Iya Tan?" Ku hentikan langkahku.

"Toiletnya ke arah situ bukan kesitu?"

Aduh. Malunya sumpah. Ember mana ember buat nutupin mukaa!

Rasanya langsung pengin ngumpet kelubang semut atau langsung hilang dari permukaan.

"Iya." Kupalingkan mukaku yang memerah kearah lain lalu berjalan cepat.

Sampai di Toilet Aku hanya berdiri di depan kaca.

Menetralkan debaran jantung juga rasa malu tadi.

Sepuluh menit baru kuberanikan diri menuju meja.

Ternyata Kang Faris sudah pergi. Rombongan Kyai Muhlis juga sudah pergi.

Lega tapi juga sedih.

Masih pengin ketemu Kang Faris... ups.

Sadar Nisa... Kamu itu bagaikan butiran debu yang menempel di pucuk daun sedangkan Kang Faris bagai mutiara... jauuhh berbeda. Aku mentoyor kepalaku sendiri.

"Nis, Kita langsung pulang saja ya? Kamu pegang bungkusan ini buat Nenek nanti jangan sampai ketinggalan, Tante mau ke kasir dulu."

Aku duduk di bekas tempat Kang Faris duduk tadi, masih terasa hangat, sepertinya belum lama pergi.

Desir aneh kembali menyusup dalam hati. 

Kuraih Plastik di depanku, tatapanku tertuju pada kertas warna merah berbentuk hati di dekat plastik.

"Ini milik siapa? setahuku tadi belum ada dimeja sebelum Ku tinggal?"

Ambil? jangan? Ambil? Nggak usahlah, bukan punyaku.

***

BACA JUGA :

Sekarang setiap malam minggu Aku nginep di pondok, tidur bersama Mbak Diana.

Tapi hari ini Mbak Diana terlihat sangat sedih, tidak seperti biasanya.

Pada saat Sholat berjama'ah dia diam saja padahal biasanya terlihat ceria.

Setelah Ngaji Ba'da Sholat Isya, Aku bergegas masuk kamarnya Mbak Diana.

Sampai di kamar, Aku memberanikan diri bertanya padanya.

"Mbak Diana kenapa?"

Bukanya menjawab, tangisnya langsung pecah sambil memeluku.

"Kang Faris Nis... Kang Faris di jodohkan Abah."

Deg.

Sakit.

Ku tahan sekuat tenaga agar tidak ikut menangis.

"Padahal kalau dijodohkan, mau nggak mau harus mau. Dulu Kang Bonar Nggak mau di jodohkan sama Abah, sampai sekarang Kang Bonar tidak di izinkan kepondok oleh Abah." Mbak Diana bercerita di sela-sela isaknya.

"Yang Aku sayangkan kenapa Abah menjodohkan Kang Faris sama Mbak Erni, Mbak Erni kan usianya di atasnya Kang Faris... Nggak cocok kalau menurutku Nis... tapi mau gimana lagi, Aku bukan siapa-siapa.  Hanya bisa pasrah."

Aku hanya mendengarkan sambil menahan sesak yang tiba-tiba muncul dalam dada.

"Sabar ya Mbak." Hanya kalimat itu yang ku lontarkan. Entah kenapa tiba-tiba Aku juga sangat ingin menangis.

* * *

Suara merdu itu membangunkanku lagi tepat pukul 4 pagi.

Mbak Diana masih tertidur dengan mata sembabnya.

SegeraKu mengambil Wudhu lalu sholat, gara-gara tidak bisa tidur jadi telat sholat tahajud.

Dalam doa ku menangis... Kata Tante Mayang Usia 17tahun itu masih termasuk cinta moyet. Masih bisa berubah dan berpindah kelain hati. Tapi ini begitu sesak dan sakit.

Ya Allah Kuatkan Allah Maha membolak-balikan hati, Jika Dia jodohku dekatkan pada saat yang tepat nanti. Jika bukan jodohku jauhkan dan juga hilangkan rasa ini.

Aamiin.

Adzan Subuh berkumandang.

Ku bangunkan Mbak Diana untuk bersiap-siap ke Masjid.

***

Minggu pagi adalah jadwal Minggu bersih di pondok.

Bu Nyai Fatimah juga selalu ikut turun kerja bakti.

"Mbak Nissa, Kita menyiram bunga di depan Aula situ saja yuukk?"

"Baik. Bu Nyai."

Dengan semangat 45 Aku membantu Bu Nyai menyiram tanaman di depan Aula.

"Nisa di sebelah sini saja sampai selesai, Ibu mau kesitu." Beliau menunjuk ke arah yang beliau maksud.

"Baik Bu Nyai."

Di depan Aula ada yang sedang duduk, wanita anggun dengan gamis dan khimar warna biru.

Ku sempatkan senyum menyapa. Sepertinya bukan santri sini atau mungkin sudah alumni, selama masih jadi santri disini tidak di berbolehkan bersolek berlebihan.

Kang Faris terlihat masuk gerbang santri putri, dan mendekati Bu Nyai.

Bu Nyai yang baru berjalan beberapa langkah dariku berhenti.

"Bu, Saya minta izin berbicara dengan Mbak Erni sebentar disitu."

"Iya Boleh. Ibu nemenin sambil nyiram bunga disitu ya?"

"Terimakasih Bu."

Deg.

Aku yang berdiri tidak jauh dari Mbak Erni terpaku.

Ingin sekali pergi tapi belum selesai di bagian sini.

Tenang Nissa...

Aku berusaha serilek mungkin, Aku tidak mungkin pergi begitu saja.

Tidak jauh dariku juga ada satri wati yang sedang menyapu.

Kang Faris duduk menjaga jarak dengan Mbak Erni.

"Sebelumnya Saya Mohon maaf ya Mbak, Saya tidak bisa menerima perjodohan dengan Mbak Erni. Mungkin Mas Toha jauh lebih baik dan lebih siap dari Saya Mbak.

Saya mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan S2 saya di Kairo. Ini kesempatan emas untuk Saya melanjutkan sekolah Saya Mbak, Saya harap Mbak Erni tidak marah ataupun membenci keputusan yang Saya ambil."

Sedikit kulirik Mba Erni, ternyata beliau menangis.

Sebenarnya ada perasaan lega mendengar ucapan Kang Faris yang tidak mau dijodohkan tapi juga sedih karena akan berpisah selama Kang Faris kuliah di Kairo.

Tapi apa dayaku, Aku bukan siapa-siapa.

"Sebenarnya Saya mencintai Kang Faris, tapi jika itu adalah keputusan dari Kang Faris, Aku akan berusaha menerimanya."

Suara berat Mbak Erni membuatku merasa kasihan.

Akhirnya selesai menyiram di bagian sini.

Aku akan menyiram di tempat lain.

"Sebentar Mbak Nisa jangan pergi dulu, temani kami sebentar lagi, biar tidak menjadi fitnah." Kata-kata Kang Faris menghentikan langkahku yang hendak pergi.

Aku hanya menjawab dengan anggukan lalu melanjutkan menyiram. Walaupun sudah Aku siram tapi Aku menyiramnya lagi. Dari pada diam saja seperti patung.

"Saya permisi dulu ya mbak... semoga nanti acaranya lancar dan semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadhah warohmah. Sekali lagi Saya minta maaf.

Permisi.

Terimakaih Mbak Nisa, silahkan kalau mau di lanjut ketempat lain."

Kang Faris berlalu meninggalkan Mbak Erni yang masih terdengar suara isaknya dan juga meninggalkanku dengan perasaan yang sulit ku gambarkan.

Seminggu kemudian Aku mendengar kabar Kang Faris berangkat ke Kairo. Semua santri putri yang mengagumi Kang Faris meradang.

Begitupun Aku, meskipun ada penggati setiap pagi ada yang tilawah tapi tidak bisa menggantikan posisi Kang Faris yang terlanjur bersemanyam dalam hati.

Hari-hari Ku lalui dengan hampa, meskipun sekarang kesibukanku banyak, setelah lulus Aku melanjutkan Kuliah di Universitas Terbuka agar tidak terlalu memberatkan Nenek di samping itu mengajar di salah satu SD juga jadi pengurus di pondok. Aku tidak lagi tidur di rumah Nenek, Aku selalu tidur di pondok sejak Tante Mayang menikah. Aku merasa tidak nyaman serumah dengan suami Tante Mayang.

Satu persatu Santri yang sudah dewasa di jodohkan dan menikah. Mbak Diana di jodohkan dengan salah satu Ustadz pondok dan sudah moveon dengan perasaannya.

Tapi tidak denganku.

Empat tahun tidak bisa melunturkan rasa kagum dan rindu.

Sempat mencari info siapa tau bisa berhubungan lewat ponsel atau lewat internet dengan Kang Faris.

Tapi seolah jalan itu tertutup.

Aku tidak tau kabar terbarunya, ataukah sudah menikah juga atau Aku masih ada harapan?

Aku menghela nafas berat. Kata orang cinta pertama yang paling susah di lupakan dan akan selalu di ingat. Mungkin kalimat itu tepat untukku.

***

BACA JUGA :

"Mbak Nisa, Ibu minta maaf sudah mengganggu waktunya, Ibu sama Abah ingin menanyakan sesuatu pada Mbak Nisa?"

Bu Nyai membuka percakapan, setelah Aku duduk menghadap panggilannya.

Aku hanya mengangguk dan terus menunduk, tidak sopan rasanya menatap Ibu.

"Apakah Mbak Nisa sudah ada calon suami? Rencananya Ibu dan Abah mau menjodohkan Mbak Nisa."

Deg.

Kini waktunya tiba giliranku.

Nenek dan Tante Mayang yang juga di suruh hadir tampak menatapku menunggu jawaban.

"Saya belum ada Calon Bu Nyai. InsyaAllah Saya Ridho dengan calon yang dipilihkan untuk Saya, Saya yakin pilihan Ibu dan Abah baik. Semoga juga baik menurut Allah."

"Aamiin Alhamdulillah kalau seperti itu, besok pagi kalian bersiap-siap karena Ba'da dzuhur acara lamarannya."

"Tidak usah terlalu gugup karena hanya ada beberapa orang saja yang hadir... kurang lebih sekitar lima orang."

Semangatku pupus. Aku berharap siapapun yang menjadi suamiKu nanti semoga bisa  membuatku melupakan Kang Faris.

***

"Asshalatu khairum minannaum...."

Aku langsung bangun dan terduduk.

Ku perjelas pendengaranku dan memastikan ini bukan mimpi.

Suara itu... suara itu milik Kang Faris.

Bagai tanah tandus yang tersiram hujan deras, suara yang selalu dirindukan kini dapat di dengar lagi secara langsung.

Bukankah Aku sudah di jodohkan sekarang? Dan aku sudah menerimanya? Kenapa Aku terburu-buru dalam mengambil keputusan? Aku tidak tau kalau Kang Faris akan kembali ke pondok ini!

Aagggghhh.

Ikhlas. Mungkin sudah takdir dan jalannya seperti ini.

***

Setelah sholat subuh Aku pulang kerumah Nenek.

Ternyata sudah ada beberapa tetangga yang membantu masak.

Aku hanya menyapu halaman dan rumah lalu masuk kamar menyelesaikan mengoreksi jawaban murid.

Setelah Sholat Dzuhur semua sudah siap.

Tante Mayang dan Suaminya sudah menunggu duduk di ruang tamu.

Aku masih pura-pura belum siap.

Rasanya pengin kabur melarikan diri.

Tapi Aku tidak punya nyali mengingkari ucapanku yang sudah aku buat sendiri.

Dari dalam kamar Aku mendengar tamu sudah datang.

Aku di suruh keluar.

Aku menyalami Bu Nyai dan duduk di sebelah beliau.

Aku tidak tertarik melihat siapa calonku.

Sepertinya dia orang yang pendiam, dari tadi Aku tidak mendengar suaranya.

Acara di mulai, Bapak-bapak dari pihak laki-laki mengutarakan maksud dan tujuannya kesini.

Abah sebagai Tuan rumah dan penerima lamaran.

Aku masih tertunduk melihat gelas-gelas dan aneka kue di hadapanku.

"Bagaimana Nisa? Sudah mantap menerima Kang Faris?"

Sontak Aku mencari sosok yang bernama Kang Faris.

Ternyata benar dia sedang duduk dan menatapku.

Ku cubit tangan kiriku. Sakit. Berarti bukan Mimpi.

Tante Mayang menyenggol lenganku.

"Nissa, Abah tanya kok nggak di jawab."

Pingsan.

Tapi nggak jadi.

Ternyata fisiku kuat juga.

Aku mengganguk malu.

Padahal dalam hati ingin salto dan berjingkrak.

***

"Ummi dari tadi ngelamunin apa sih?" Kang Faris menyubit pipiku gemas.

"Nggak ngelamunin apa-apa kok Bi."

Salah tingkah lalu membalik gorengan bakwan yang sedang ku goreng.

Lha kok gosong! Duh teringat masalalu jadi gorengannya gosong.

"Ha ha ha makanya jangan ngelamun. Pasti ngelamunin kertas merah bentuk hati yang di abaikan di rumah makan 5tahun yang lalu kan???"

Kang Faris selalu bisa menebak fikiranku.

Oe oe oe...

"Tuh dede Sholeh bangun, Ummi samperin gih! Biar Abbi yang lanjutin masaknya."

Tamat.

BACA JUGA : 

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama