Kue Ulang Tahun
Kesibukan setiap pagi selalu begini. Bapak bersiap untuk berangkat ke pasar, sedang aku dan adikku bersiap berangkat ke sekolah. Ibu sibuk mempersiapkan sarapan kita. Bapak pagi ini berangkat lebih awal, karena lagi banyak dagangan. Aku tak begitu mengerti urusan itu.
Aku berjalan sambil menggandeng adikku. Aku sudah kelas tiga sedang adikku baru kelas satu. Hidup di perkampungan yang padat penduduk dengan rumah yang saling menghimpit. Gang masuk juga tak terlalu lebar, hanya muat motor atau sepeda. Itu pun harus bergantian keluar, sedangkan keluar gang di pinggir jalan raya berderet rumah gedong.
Penghuninya setiap keluar masuk sudah mengendarai mobil. Aku selalu melewati jalan ini, Karena lebih dekat dengan sekolahku. Sampai sekolah aku mengantar adikku terlebih dahulu ke kelas. Ini sudah jadi kebiasaan, karena Ibu jarang ke sekolah. Jika tak ada kepentingan atau rapat. Karena aku punya adik bayi, yang masih rentan jika di bawa keluar rumah.
Siang ini, tetanggaku Mbak Wati terlihat lebih sibuk dari biasanya. Yang aku tahu dia jadi pembantu, di salah satu rumah gedong di pinggir jalan sana. Majikannya Dokter, aku tahu karena tiap sore sering main di taman yang dekat rumah itu.
Aku sedikit mengenal mereka, anak-anak gedong itu ada yang senang bergabung. Main bareng ada juga yang menjaga jarak. Ayah mereka kebanyakan orang kantoran seperti Ayah Desi yang seorang Insiyur, Ayah Agus yang seorang arsitek, itu kata mereka. yang kutahu, tiap kali berangkat dan pulang kerja baju Rapi pakai jas bahkan juga dasi.
"Fia, kamu ngapain bengong duduk sendiri gitu?"
Aku melihat Mbak wati tetanggaku datang, dengan membawa kantong kresek. Pasti isinya makanan karena sering kali berbagi. Benar dia menyodorkan potongan kue yang segera aku terima dan memakannya.
"Adikmu kemana, tumben sendirian?" tanya Mbak Wati.
"Tidur siang Mbak, sama Ibu dan adik, tadi rewel terus diajak tidur," jawabku.
"Nih, buat Indra, jangan dimakan, kamu kan udah." Mbak Wati memberikan lagi potongan kue padaku.
"Iya, tau," jawabku sambil mengambil kue dari tangan Mbak Wati dan menaruhnya di rumah. Kulihat Mbak Wati segera masuk ke rumahnya. Hanya sebentar dan segera balik keluar lagi.
"Mau ke mana lagi, Mbak?" tanyaku.
"Balik lagi ke sana kerja, masih sibuk," jawab Mbak Wati.
"Trus, tadi pulang mau ngapain?" tanyaku lagi.
"Kan, naruh makanan tadi buat si Amir. Kalo udah pulang sekolah," jawab Mbak Wati.
"Ooh, buat Kak Amir,"
"Udah Fi, lagian duduk sendiri di depan rumah ngapain? Tidur sana!"
"Nggak ah Mbak, tadi Fia habis ngerjain PR."
"Udah ya, mbak wati balik, kan besok anak majikan ulang tahun!"
Aku yang mendengar kata ulang tahun, langsung terbayang kue yang sering kulihat di toko kue atau di TV. Tapi belum pernah ngerasain enaknya seperti apa. Karena belum pernah temanku ada yang merayakannya.
Hari libur aku membantu Ibu mebersihkan rumah sebisaku. Menyapu, membersihkan tempat tidur, dan mengasuh adik yang di tinggal Ibu sibuk di dapur. Sambil bermain bersama Indra di ruang tengah.
Sore ini setelah mandi, Aku duduk di balai depan rumah. Indra duduk di sampingku dengan bermain mobi-mobilan. Bapak baru pulang dari pasar sedang membersihkan diri di kamar mandi.
"Dra, ikut kakak yuk?" ajakku pada Indra.
Indra menatapku dengan wajah polosnya.
"Ke mana, Kak?" tanyanya.
"Liat ulang tahun, di rumah majikan Mbak Wati. Ayo, kan di depan gang sana nggak jauh!"
Indra menggeleng. Kecewa aku menatapnya. Tapi aku benar-benar penasaran ingin mengetahuinya. Nekat aku menyusuri jalan hingga depan gang. Rumah besar dengan pagar yang tinggi terlihat ramai, suara lagu ulang tahun terdengar dari dalam rumah. Segera aku masuk pagar, dan menghampiri jendela kaca yang besar. Melihat ke dalam barisan anak-anak, semua duduk dengan rapi dan memakai topi kertas di kepala.
Mbak Wati menunduk menatapku. Aku takut tak berani memandang Mbak Wati. Tak berapa lama si Om tadi keluar bersama Rendi, mengajakku masuk kedalam. Awalnya aku menolak pengen pulang karena malu juga, ternyata banyak pasang mata menatapku.
Tanganku ditarik Rendi diajak masuk. Sejenak aku menatap Mbak Wati minta persetujuannya. Dia mengiyakan dengan kedipan matanya, aku masuk ke dalam disertai tatapan banyak orang. Duduk di kursi dan segera Mbak Wati memberiku topi seperti yang lainnya.
Rendi memberikan tas berisi banyak makanan, dan yang aku inginkan ahirnya bisa kurasakan. Irisan kue ulang tahun yang di berikan Rendi kepadaku. Aku tersenyum melihat kue yang sudah berada di tanganku, tanpa menghiraukan sekeliling.
Aku bahagia sekali setelah acara selesai, segera aku pulang dengan senyuman. Tampak Ibu duduk di depan rumah dengan adikku. Kuhampiri mereka dengan senyum di wajah. Indra senang melihatku datang, dengan membawa banyak makanan di tas bingkisan yang tadi diberikan. Ibu menatapku mungkin ingin marah, tapi aku pura-pura tak tau sibuk dengan banyak makanan yang kubawa.
"Lain kali, jangan diulangi lagi, Fi, nggak baik itu, ikutan di acara yang kamu ngak diundang, malu!" ujar Ibu padaku.
"Ya, Bu."
Aku menjawab dengan menunduk. Aku tau orang tuaku pasti malu. Tapi entah mengapa aku tadi nekat ingin tau, dan setelah ini tak kan kuulangi lagi perbuatan seperti ini. Mungkin Ibu tak tega memarahiku lebih. Karena melihat senyumku dan Indra memakan kue yang selama ini kuinginkan.
***
Manusia diciptakan Tuhan sudah mempunyai takdir masing-masing. Tidak ada yang tau apa yang terjadi dikemudian hari. Dulu aku begitu menginginkan kue tart, tapi kini selepas lulus SMA aku bekerja di toko kue.
Setiap hari aku bisa melihat, memegang, bahkan terkadang bisa menikmati kue yang berjejer di etalase. Tak jarang sehabis gajian, aku membeli kue untuk adikku di rumah. Yang pasti ucap syukur tak pernah terlupakan. Saat sibuk menata kue-kue, ada pelanggan yang baru masuk menghampiriku.
"Silahkan Mas, mau beli kue apa?" ucapku pada pembeli di depanku. Wajahnya tak begitu asing.
"Mbak, ada Black Forest?" tanyanya padaku.
"Ada Mas, mau kecil apa besar?" aku menjawab sambil memunjukkan deretan kue dalam etalase.
Tangan Mas pembeli di depanku menunjuk kue yang ada di tengah, aku menggeser pintu kaca etalase mengambil kue tersebut.
"Kamu Fia, kan?" suara pembeli itu membuatku menatapnya, saat aku hendak membungkus kue tersebut.
"Iya, Mas tahu saya?" tanyaku.
"Aku, Rendi, Fi, lupa sama tetangga sendiri?" jawabnya.
"Rendi, majikan Mbak Wati?" tanyaku memastikan.
"Helleh, majikan. Kayak apa aja kamu Fi." Rendi tersenyum sambil mengibaskan tangan di depanku.
"Kata Mbak Wati, lulus SMP kamu sekolah di Jakarta?" tanyaku.
"Iya, kuliah juga di sana. Ini lagi libur semesteran jadi pulang," jawab Rendi.
"Aku tadi liat kamu kayak nggak asing gitu, mau nyapa takut salah," ujarku pada Rendi.
Pukul 16.00 WIB waktu pulang kerja, aku melangkah menghampiri Rendi yang duduk di depan toko. Tak enak sebenarnya merepotkan orang, tapi bukan mauku juga.
"Maaf ya, Ren, jadi menunggu," ujarku pada Rendi, saat ini aku duduk di sampingnya yang lagi fokus dibalik kemudi.
"Santai Fi, kita kan tetangga. Lagian nggak buru-buru kok," jawab Rendi.
Hening, hanya suara mesin mobil dan ramai jalan yang terdengar. Rasa canggung menghampiriku, karena cukup lama tak jumpa. Ingat beberapa tahun yang lalu, kejadian saat ulang tahun Rendi waktu itu membuatku malu.
"Ren, aku jadi ingat dulu waktu kamu ultah jadi malu," ujarku pada Rendi yang fokus menyetir. Rendi terkekeh menoleh padaku, dan kembali fokus melihat depan.
"Lucu ya, Fi, namanya juga masih bocah," ujar Rendi padaku.
Aku dan Rendi tersenyum, konyol memang menginginkan kue tart. Sampai menahan malu datang walau tak diundang.
Tak terasa mobil sudah di depan gang, aku turun dari mobil tak lupa mengucapkan terima kasih padanya. Saat kakiku hendak melangkah suara Rendi kembali terdengar.
"Fi, ntar malam temenin aku, ya?" Rendi melongokkan kepala, di jendela mobil bertanya padaku.
"Ke mana?" tanyaku.
"Ada acara di rumah teman. Ya, udah habis Magrib aku jemput!" Tanpa menunggu jawabanku dia langsung melajukan mobil. Aku hanya bisa melihat mobilnya yang berjalan, berhenti di depan rumahnya yang tak jauh dari gang masuk rumahku.
Sehabis Magrib aku berdandan rapi. Memakai celana jeans hitam dengan atasan panjang selutut warna pastel dengan jilbab senada. Ibu menatapku heran saat melihatku keluar kamar, bertanya padaku mau kemana. Aku minta izin keluar sebentar dengan Rendi, ada acara di rumah temannya.
Tak lama suara salam terdengar dari depan, Rendi menjemputku seperti yang di janjikan. Ibu mengizinkan kami asal jangan pulang larut malam. Bapak juga masih di masjid, biasanya pulang sehabis salat Isya'.
Mobil melaju dengan lancar sampai di depan rumah teman Rendi, ternyata ada acara ulang tahun. Turun dari mobil, kulihat rumah megah dengan begitu banyak hiasan indah. Aku Melangkah mengikuti Rendi, tanganku di gadengnya. Degup jantung berdetak kencang, aku menatap Rendi dan melihat tanganku yang dia gandeng.
"Hai, Ren datang juga." Seorang cowok seumuran Rendi, menyapa kami di depan pintu menyalami kami bergantian.
"Kenalin nih, Fia, pacarku!" Suara Rendi membuatku terkejut saat aku bersalaman dengan temannya.
"Wuiih, akhirnya nggak jomblo lagi nih!" ucap temen Rendi sambil tersenyum melihatku.
"Nggak lah, ini cewek yang waktu itu gue ceritain!" ujar Rendi pada temennya yang masih erat menggandengku.