Ayahku Melongo

"Tobat aku, Pak. Sudah dua bulan ini aku tidak mengonsumsi barang itu."
Pujo, lelaki 54 tahun itu bercerita tanpa sungkan. Dia baru kukenal dua hari lalu. Perkenalan yang tidak sengaja ketika sama-sama bersantap siang di sebuah kedai.
Aku berada di desa ini sesungguhnya mencari Ibu dan adikku. Retno Wulandari dan Hamisah namanya. Kami berpisah oleh perceraian ayah dan ibuku. Oh ya, aku lupa. Namaku Wagiyo. Ingat, Wagiyo.
Saat itu, aku baru saja duduk di kelas 3 SMP sedang Hamisah baru saja didaftarkan ke Taman Kanak-kanak.

Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Aku ikut ayah dengan istri barunya. Hanya dua tahun, aku pergi meninggalkan ayah. Tak sanggup aku hidup dengan ibu tiri. Bukan karena kejam sebagaimana syair lagu melainkan karena ketidakpedulian dia pada diriku. 

Tidak dianggap anak. Mau makan, terserah. Mau pergi terserah. Sementara ayah sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengusaha besi bekas. 
Aku izin pada ayah untuk hidup mandiri karena aku sudah SMA. Dia mengizinkan dan berjanji untuk mengirim uang guna keperluan hidup dan sekolah. Uang kiriman ayah tidak pernah kugunakan. Aku, sambil kuliah, sudah punya pekerjaan. Sama dengan ayahku. Aku tahu seluk-beluknya.
Belasan rahun kehilangan kontak dengan ibu dan adikku. Aku belum merasa apa-apa. Akan tetapi, saat ayahku berpulang, batinku sangat terpukul. Kerinduan menghantam jiwa, rindu memuncak pada ayah dan ibuku.

Sementara itu, ibu tiriku menikah lagi dengan salah seorang kepercayaan ayah di bisnis besi bekas. Seperti dulu, aku tidak dianggap. Seperti  orang lain. Perasaanku biasa saja. Tidak merasa apa-apa karena tidak ada pertalian darah denganku.
Aku tidak tahu nasib ibuku. Kudengar dia menikah lagi tapi bukan di kampung halamanku. Dia merantau ke Kalimantan. Hamisah, adikku turut serta. 
Sampai suatu hari hadir dalam benak keinginan menikah. Aku sudah punya kekasih. Sebelum menikah, kunazarkan dalam batin untuk mencari ibuku terlebih dahulu. Memohon ampun dan mendapatkan restu. Harus bertemu. Di mana pun dia berada.
Diakui sebagai anak atau tidak, aku tidak peduli. Aku akan meminta ampun karena saat ibu dan ayah bercerai, aku diminta ayah ikut dia dan Hamisah, karena masih kecil, ikut ibu. 
Aku terbang ke Balikpapan lanjut ke Samarinda dan ke sebuah perkampungan transmigran di Kutai Kartanegara. Aku berbekal petunjuk seadanya.
Sudah delapan hari aku menyibak daerah transmigran asal Jawa Tengah, Magelang, karena kudapat informasi bahwa ibuku berada di sana. Ibuku memang memang berasal dari Magelang, Ayah orang Dampit, Malang. 

Sampai hari kedelapan, tak jua bertemu ibu dan adikku. Kukira, ibuku sudah tidak semuda dulu dan adikku pasti sudah semester akhir jika dia kuliah. Sebab, aku sendiri sudah tiga belas tahun lalu memakai toga. Sudah pula punya pendapatan sendiri.
Dua hari ini aku mencari jejak di desa transmigran. Aku menginap di kota Kabupaten. Dua hari ini aku fokus di desa M, karena di sini banyak transmigran asal Magelang. 
Siang ini, aku makan di kedai yang sama dengan kemarin. Cocok dengan seleraku. Dua hari ini pula aku bertemu Pujo, warga desa M. 
Aku senang mendengarkan kisah kehidupan Pujo. Tekadnya menyekolahkan anak dengan cara yang tidak biasa. Demi duit, dia harus bekerja sebagai pencari kayu sebagai pengganti skapolding; penahan papan lantai semen yang sedang dicor.

"Mengapa harus mengonsumsi itu, Pak? Bukankah itu haram, berbahaya bagi tubuh, otak dan bisa ditangkap polisi?"
"Aku punya tiga anak. Yang paling tua di semester akhir program studi agribisnis fakultas perikanan. Yang kedua baru kelas 2 SMK." Pujo Bercerita. Tanpa beban. 
"Yang ketiga, baru masuk TK. Aku harus memberi kesempatan ketiga anakku untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mereka tidak boleh seperti aku, hanya tamat SMP. Jadi kuli, tukang cor, petani sayur, kuli panggul."
"Sebentar, katanya sekarang dapat pesanan 500 potong kayu bundar itu untuk apa?" 
"Untuk ngecor dak, Pak. Lantai dua yang akan dicor itu harus disangga kayu-kayu ini. Mereka minta waktunya dua hari. Mereka sudah kenal aku sejak tujuh bulan lalu dan aku dianggap selalu bisa memenuhi pesanan  sesuai waktu yang ditentukan."
"Berapa duit Bapak terima, jika pesanan sudah diterima?"
"Satu juta setengah. Aslinya 3 juta. Tapi aku kan berdua. Jadi dibagi sama."
"Di mana Bapak memperoleh kayu-kayu tersebut?"
"Di hutan, Pak. Aku harus kerja siang malam?"
"Kuat?"

"Aku tahan tidak tidur asal  mengonsumsi obat itu, Pak. Tapi, setelah itu baru aku kelelahan. Aku bisa tertidur sehari semalam."
"Istrimu tahu?"
"Tidak. Tidak boleh tahu. Apalagi anakku. Aku terpaksa. Duitnya banyak. Kalau tidak ada pesanan kayu, aku kembali jadi petani sayur. Hanya cukup untuk makan. Aku sering menangis karena memikirkan biaya kost dan kuliah anakku. Juga biaya kedua adiknya."
Iba juga aku mendengar cerita Pujo. Lebih setengah abad sudah usianya. Cita-citanya hanya satu, semua anaknya jadi sarjana.
"Aku tidak peduli, apakah Hamisah itu dapat pekerjaan setelah sarjana atau tidak, itu tidak penting. Yang penting dia sarjana."
"Siapa nama anak Bapak itu? Hamisah?"
"Ya, dia anak tertua. Dia memang bukan darah dagingku. Dia anak bawaan istriku."
"Istri Bapak, siapa namanya?"
"Retno Wulandari. Dia kawan se-kampung saat di Jawa. Dia janda. Merantau ke Kalimantan karena kecewa pada suaminya yang menikah lagi."

Aku membayar makanan yang kami santap. Pujo tadinya menolak dibayari. Aku memaksa dan izin  untuk menumpang sholat dzuhur di rumahnya.
Pujo kuminta naik ke mobilku. Dia menolak karena dia bersepeda. Aku memaksa agar sepeda itu dititipkan di kedai. 

"Kalau hilang, aku yang ganti." kataku meyakinkan.
Tiba di rumah Pujo, aku tak tahan. Aku setengah berlari masuk ke rumahnya.
"Ibu...ibu... Misah....Misah!"
Ibuku keluar. Dia terkejut. Dia segera memelukku. Aku bersimpuh dan berlutut pada ibuku. Mencium betisnya. Aku meminta ampun. Ibuku hanya menangis. Terus menangis.
Saat aku bisa menguasai diri, kulihat Pak Pujo tertegun. Aku menghampirinya. Memeluknya.
"Misah, ini kakakmu, Wagiyo." kata ibuku dengan suara serak. Kulihat seorang gadis cantik terpana. Ia segera menghambur diri ke pelukanku. Kudekap Misah, adikku tercinta yang terpisah sejak dia TK dan kini sesaat lagi wisuda.
"Alhamdulillah, Allah mempertemukanku dengan Hamisah," gumamku dalam hati.
"Ayo salim, itu kakakmu, Mas Wagiyo." Ibu menyuruh kedua adikku, buah hati pernikahan ibu dengan ayah baruku. 

Kuraih kedua adik dari pernikahan ibu dengan Pak Pujo. Air mataku masih meleleh saat ayahku, Pak Pujo menunjukkan tempat berwudhu.
Rumah dan pekarangan kuminta Pak Pujo agar ikhlas merelakannya guna disumbangkan pada pengurus surau untuk dijadikan tempat pendidikan anak usia dini. Kututip uang untuk memugar rumah itu.
Ibu, ayah baruku dan ketiga adikku kubawa terbang ke kota Surabaya. Aku tahu mereka gemetar mulai pemeriksaan di bandara hingga duduk di pesawat.

"Masya Allah. Subhanallah." ucap ibuku saat mobil yang menjemputku di Bandara Juanda sudah memasuki halaman rumah.
Ayahku, Pak Pujo, tak banyak bicara. Di ruang tamu itu aku berbisik padanya. 
"Ayah jangan coba-coba mengonsumsi barang itu lagi. Itu narkoba. Sangat terlarang. Haram. Mulai minggu depan, ayah kerja mengawasi bongkar besi di pelabuhan. Itu  pun kalau ayah masih mau kerja. Kalau tidak, di rumah saja." Lelaki itu masih melongo.
"Aku sudah tobat, Nak. Aku sudah meminta ampun pada Allah. Meskipun kukonsumsi terpaksa. Hanya agar aku tahan tidak tidur. Biar bisa bekerja sehari semalam demi memenuhi pesanan."
Pak Pujo yang semula menyapaku di kedai dengan sebutan Pak, kini sudah berubah menjadi Nak. Aku tetap menyapanya sebagai Bapak. Ya, dia tetaplah kuanggap sebagai ayah. 
Kulihat mata ayah baruku ini berkabut. Dia menangis di depanku.
"Bisik-bisik apa sih?" Tiba-tiba Hamisah muncul dan bertanya menyelidik.
"Aku minta restu ayah, minggu depan aku melamar." Ayahku melongo, mulutnya terbuka, Hamisah juga.
"Kamu akan menikah, Nak?" Ibuku bertanya. Aku mengangguk. Kucium pipinya. Kupeluk wanita yang telah melahirkanku itu dengan segenap cinta kasih.
BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama