TALI JIWA (Istriku Sayang)

Di sebuah amben tua, yang bagian kaki-kakinya sudah keropos termakan rayap, duduk dua bocah laki-laki. Masing-masing tangannya memegang potongan kecil roti kelapa, jika beli di warung satu potongnya harga 500 perak. Satu potong roti mereka bagi dua dan dinikmati bersama. Cukup atau tidak cukup, tapi mereka terlihat senang.
Sepertinya roti tersebut adalah salah satu makanan yang jarang mereka nikmati, dari cara mengigit yang diirit-irit, serta dipegang dengan erat nampak disayang, jangan sampai jatuh.
Dua pasang kaki mereka menggantung dari amben. Jelas saja, karena usia mereka baru 6 dan 3 tahun. Belum cukup panjang kakinya untuk menyentuh tanah dengan posisi duduk. 
Sang kakak mengenakan sendal jepit yang kekecilan. Pun satu jepitannya sudah putus dan diakali dengan tali rafia agar tetap bisa digunakan. Sementara adiknya bertelanjang kaki. Yang serupa dari mereka yaitu sama-sama berbadan kurus.
Mereka adalah Amar dan Bagas, keduanya anakku, darah dagingku.
Kubiarkan mereka bahagia dengan roti kelapanya. Aku masuk ke dalam gubukku. Gubuk kecil warisan almarhum orang tua dulu.

POSTINGAN POPULER:

Di dapur, ada kamu Yuli--Istriku, tengah mengangkat panci dari tungku. Kamu menyiapkan air hangat untuk memandikan si bungsu Bagas.
Seperti biasa kamu akan menyambutku penuh kehangatan, memberikan senyuman, menawarkan apa yang ingin aku lakukan terlebih dahulu supaya kamu siapkan. Sekalipun pada hari itu tak ada rupiah yang bisa kuberikan padamu, tapi kamu sama sekali tak berubah sikap.
Biasanya aku berjualan gorengan dan es, mangkal di sekolahan. Tapi karena ini musim liburan, aku beralih dan ikut tetangga menjadi kuli bangunan. Bayarannya harian, tapi hari ini gaji ditunda karena mandor yang biasanya membawa bayaran tidak hadir ke lokasi. 
Sore telah pergi, berganti pekat malam yang bertabur kerlip bintang. Anak-anak sudah lebih dahulu tidur. Aku dan kamu duduk menikmati malam seperti biasa, di atas kursi kayu yang sudah berubah warna karena usia, juga tempelan jelaga dari bakaran bilah kayu di tungku, tungku yang kamu gunakan untuk meracik masakan agar menyehatkanku juga anak-anak kita.
Dengan secangkir kopi yang kita sesap berdua, kamu mulai bercerita. Berawal dari cerita bagaimana anak-anak berhasil menyita tenagamu, rencana besok masak apa, hingga pada kalimat yang tidak pernah terlintas dalam benakku.

"Mas, seandainya aku jadi TKI saja, apa Mas Salim mengizinkan?" Kamu berucap pelan, bahkan mengatakannya kudengar lembut. Tapi tahukah kamu, Yuli, kelamnya malam, dinginnya udara yang menerobos dari celah-celah geribik lapuk gubuk kita, menambah suramnya ucapanmu barusan.

Yang aku tahu, kamu begitu mencintai anak-anak, juga mencintaiku. Kamu tidak akan sanggup berpisah lama-lama dengan Amar dan Bagas. Begitu juga aku, aku mungkin tak akan sanggup ditinggalkan olehmu dalam waktu yang begitu lama dan jarak yang begitu jauh. Biarkan aku saja yang bekerja Yuli, akulah kepala rumah tangga ini, aku yang berkewajiban mencari nafkah untukmu dan kedua anak kita.
Kamu tidak marah, tetap patuh dan menyunggingkan senyum atas reaksi penolakanku tadi. Kutatap lekat wajah teduhmu, dari balik manik mata yang sewarna tembaga, aku tahu ... ada banyak derita di dalam sana.
Masih kuingat jelas beberapa bulan yang lalu, saat kamu terus-terusan membelaku.

"Kamu itu memang bodoh, Yuli! Suami macam Salim yang nggak punya apa-apa dan cuma jadi beban derita saja masih kamu pertahanin!" Suara ibumu yang datang berkunjung ke gubuk kita. 
"Mas Salim bertanggung jawab, Buk. Dia selalu berusaha keras untuk menafkahi istri dan anaknya."
"Hallah! Berusaha keras apanya! Buktinya lihat itu badanmu juga anak-anakmu! Kurus kering macam orang sering kelaparan saja! Anak-anakmu itu udah persis kayak bocah cacingan!"
Aku mendengar kamu mulai terisak. Mungkin hatimu sakit, sama seperti hatiku yang remuk. Belum bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu dan anak-anak. Belum bisa jadi menantu yang membahagiakan mertua dengan mencukupi segala kebutuhan anak perempuannya.
"Sudah sekarang kemasi semua pakaianmu juga anak-anakmu! Ikut bersama Bapak dan Ibumu tinggal!"
"Tidak, Pak. Kami akan tetap di sini, tinggal bersama Mas Salim."
"Pikiri anakmu lho, Yul! Masa depan anak-anakmu! Apa yang bisa diharapkan dari gubuk dan suami yang bobrok kayak si Salim itu!" 
"Mas Salim penyayang, Buk. Dia juga bertanggung jawab, masalah rezeki itu rahasia Allah, pintu rezeki itu bisa datang dari mana saja, Buk. Yuli tidak bisa mengatakan selamanya akan menderita begini bersama Mas Salim. Mas Salim pekerja keras, dia selalu berusaha agar bisa mensejahterakan keluarganya, Buk."
"Wis repot emang kalo ngomong sama anak yang udah kadung gandrung begini, Pak!" Ibumu terdengar mulai putus asa.
"Bapak malah mendukung kalo kamu pisah saja sama Salim, Yul! Bapak bisa menghidupimu dan anak-anakmu--"
"Sebagai orang tuamu. Ndak rela kita, Yul! Melihatmu terus-terusan sengsara semenjak dinikahi Salim!" 

Apa yang diucapkan Bapak dan Ibumu semua benar, Yul. Tapi kamu begitu keras kepala dan membelaku, tetap memilih tinggal bersamaku. Sepahit apapun kenyataan dalam rumah tangga kita.

"SEKARANG TERSERAH KAMU, YUL! KALO KAMU TETAP KERAS BEGINI, BAPAK SUDAH TIDAK AKAN PEDULI LAGI! TAK SUDI!"

Bantingan pintu keras dari Bapakmu membuatku tersentak. Aku masih bersembunyi dibalik geribik belakang rumah, menguping perbincangan yang terasa bagai petir menyambar-nyambar di sekitar tempurung kepala. Satu engsel pintu berhasil lepas karena hempasan kuat tadi. Kamu menangis, sementara deru mobil semakin menjauh membawa ke dua orang tuamu pergi, dan itulah kali terakhir orang tuamu mengunjungi gubuk kita.
Tangismu segera terhenti tatkala kedua anak kita terbangun dari tidur siang dan menghambur ke pelukanmu. Kamu bohongi mereka dengan mengatakan pedas karena habis motong bawang merah. Beruntung karena mereka anak kecil, Yul, mereka percaya saja dengan ucapanmu.
Tapi tidak denganku, perih sekali rasanya saat kamu juga membohongiku. Bahkan kamu tak sanggup jujur padaku, kamu katakan sedih karena habis mendengarkan sandiwara di radio. Betapa sibuknya keseharianmu, Yul. Bahkan radio kita yang sudah lama rusak tak mengeluarkan suara saja tak kamu ketahui. Sandiwara apa yang kamu dengar? Sandiwara atas penghinaan tapi benar dari kedua orang tuamu? Atau tentang sandiwara yang sedang kamu lakukan padaku agar aku mengira kamu baik-baik saja? Ok, Yul, aku akan berpura-pura percaya, agar sandiwaramu sempurna.
Malam kian larut, kamu menyeret kakimu di atas lantai tanah tak berpelur. Berjalan lurus dan memasuki kamar. Suara derit ranjang reyot menandakan kamu tengah membaringkan diri.

"Tidur, Mas," ucapmu kemudian. 
Aku menyusul, kurebahkan tubuh di sampingmu, menatap sesaat wajah-wajah suci anak kita, terpejam erat tanpa beban di samping kananmu.
Belum hilang ngiangan suaramu saat ingin menjadi TKI, dadaku bagai dihantam godam ketika mendengar bunyi "Groakk ... grukgrukgrukkkgruk!" dari perutmu. Kamu menahan lapar. Kamu mengajakku tertawa, seolah itu adalah lelucon. Aku berpura menyambut tawamu, walau mungkin kamu juga tahu, itu selayaknya tamparan untukku.
***
Lima belas tahun telah berlalu, kita sudah terbebas dari kemiskinan, Yul. 
Berawal dari bertemu kawan lama satu sekolah dulu, dia mengajakku bergabung di group orkesnya. Dia yang dulu satu band denganku saat sekolah dan aku menjadi vokalisnya.
Perlahan ekonomiku membaik, dari yang awalnya hanya backing vocal, pelan tapi pasti aku menjadi vokalis di orkes tersebut.
Orkes semakin banjir undangan, show di mana-mana. Jam terbang makin tinggi, tarif pun sudah tak lagi murah. Hanya bisa dijangkau oleh orang-orang berkantong tebal. Aku telah jadi orang terkenal. Siapa saja tahu aku, bahkan mungkin semut saja mengenalku, Yul.
Rumah cluster yang sempat kamu impikan, sampai dulu kamu belain jalan berkilo-kilo dengan menggendong Bagas dan menuntun Amar, di bawah semburat langit yang begitu terik, mendatangiku.
Menyaksikan kerasnya pekerja bangunan. Mengagumi betapa megahnya rumah-rumah tersebut yang sebagian sudah mulai jadi. Mengajak anak-anak berkeliling hanya sekadar melihat-lihat barisan rumah mewah, memandanginya dari jalan sambil terus berjalan menuntun anak-anak.
Kini rumah itu sudah bisa kubeli, Yul. Bahkan tiga sekaligus. Yang dua untuk Amar dan Bagas.
Kubopong tubuhmu masuk mobil, kuajak jalan-jalan selama berjam-jam, menikmati indahnya pemandangan yang sekarang tersaji, jauh berbeda saat lima belas tahun yang lalu ketika kita masih berkubang dalam kesengsaraan karena kemiskinan.

Sepanjang jalan sering kali kuajak kamu bicara "Sekarang sudah tak ada yang menghinaku lagi, 

Yul."
"Orang tuamu sudah bisa menerimaku."
"Tetangga yang dulu manasin kamu karena sekedar beli motor second saja aku nggak mampu, sekarang nggak berani ngomong pedas lagi, Yul."
"Aku udah kaya sayang, uangku sudah banyak, kamu minta apa saja tak beliin, ayok sayang, kita senang-senang."
"Ayok sembuh sayang."

Kulihat kamu bisa menangis, air matamu berderai. Dibalik gemerlapnya panggung orkes aku berdiri, ada sosok perempuan yang terbaring menjadi pesakitan, dialah kamu Yuli--Istriku.
Selama 13 tahun kamu mengenakan pampers, sehari-harinya hanya terbaring atau duduk di kursi roda. Saraf otak yang mengalami kerusakan parah, membuatmu nyaris lumpuh total.
Berbagai cara pengobatan sudah kulakukan, dari mulai medis hingga alternatif, bahkan sampai tusuk jarum, tapi kamu belum kunjung ada perubahan.
Berawal dari sakit magh, lalu tifus. Kemudian kamu mulai sering demam tinggi, bahkan sampai kejang-kejang. Dari situ saraf otakmu mulai mengalami kerusakan.
Yang membuatku paling sedih adalah, tidak bisa menikmati kesuksesan ini bersamamu. Mana janjimu Yul, dulu kamu pernah bilang, "Susah senangnya hidup, ayok kita jalani bersama, Mas," tapi nyatanya kamu tidak bersedia menikmati kesenangan ini bersamaku. Kamu yang menemaniku dari keterpurukan, tertatih dan berjalan terseok mencoba bangkit melawan kemiskinan. Aku merindukanmu, Yul.
Selesai show kadang aku pulang tidak bareng rombongan. Aku mendahului rombongan. Terburu ingin pulang dan bertemu Yuli.

Aku memandikannya, mangganti pampersnya, menyisiri rambutnya, memijat kaki, tangan, pundak sampai kepala, membawanya ke halaman depan rumah untuk berjemur di pagi hari. Mengajaknya terus mengobrol, berharap ada keajaiban dan dia menyahut tiba-tiba.
Aku telah kehilangan sebagian besar darimu, Yul. Tak kutemukan lagi kamu yang dulu. 13 tahun aku menahan kerinduan padamu. Ayok sembuh, Yul, sembuh sayang.
Dalam bentangan sajadah yang kugelar, setiap saat dalam sujud terakhirku, kulantunkan doa-doa untuk kesembuhan dan kebaikan Yuli. Terus kuulang doa itu, agar makin membumbung tinggi, menyentuh langit-langit dan sampai pada Yang Maha Esa.
Seandainya saja aku memang belum diizinkan membahagiakan Yuli di dunia, kuharap doa-doaku bisa menjadi jembatan untuk mengantarkannya kelak ke surga, jika sudah tiba waktunya.
Dan waktu itu akhirnya tiba. Waktu yang sebenarnya ingin kutolak, jika saja bisa. 
Amar dan Bagas sudah dewasa, orang tuamu hadir dengan linangan air mata. Berkali-kali mengucap maaf dan memohon agar kamu bangun, agar kamu sembuh sayang.
Air matamu mengalir dari ujung-ujung mata, jemarimu menggenggam tanganku. Napasmu semakin berat sampai akhirnya habis tak bersisa. 
Selamat jalan Yuli ... Istriku sayang ... tali jiwaku. Semoga kamu tenang di sana, aku akan merawat anak-anak kita.
BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama