AKU ANAK ORANG KAYA, MAS!

"Mas, belikan aku baju bagus, ya! Please," rayuku dengan manjanya. Namun, rayuan berjuta kali pun tak membuat hati Mas Zaki iba.

"Apa, Dek? Kamu tuh kan nggak ke mana-mana, ngapain pakai baju bagus?" tanyanya dengan muka nyolot. Memang aku tak pernah ke mana-mana, tapi kan setiap kali hendak pergi sibuk sendiri memakai baju apa? Sedangkan baju yang kupunya hanya itu-itu saja.

Kubuang baju yang tak enak dipandang. Baju lusuh dan sobek sudah setahun lamanya. Masa iya istri dari pemilik bengkel besar hanya memakai daster setiap harinya?

"Loh, kok dibuang?" tanya mertuaku yang tiba-tiba datang menyusup ke kamar. Astaga, ia datang di saat yang tidak tepat. Di saat aku ingin ngambek, merajuk agar dirayu oleh Mas Zaki. Ia malah muncul dan menanyakan baju yang kubuang.

POSTINGAN POPULER:

Aku bergeming, tak menjawab apapun yang ia tanya. Sembari kulihat mertuaku itu meraih kembali baju-baju yang telah kubuang.

"Istri nggak ada rasa syukur! Kamu bisanya menggerogoti suami saja," tekannya. Ada rasa nyeri di dada menusuk sedikit hati yang telah lama luka.

Ini luka lama, tertoreh kembali olehnya. Kesekian kalinya ia ikut campur masalah rumah tangga kami yang baru berumur setahun.

Hanya gara-gara hal sepele kadang kami ribut besar, itu dikarenakan mertua yang tiba-tiba datang dan mencoba mencuci otak Mas Zaki.

Aku berlalu pergi dari kamar. Kemudian menepi di halaman depan. Sejenak aku berpikir untuk balas rasa sakit hati ini terhadap suami dan mertuaku. Namun, aku hanya bisa apa? Orang tuaku sudah tak mempedulikanku juga.

Menikah dengan Mas Zaki dengan restu terpaksa dari papa. Setelah ia menikahkanku, sudah putus hubungan kami sebagai anak dan orang tua. Aku pikir, pilihan yang aku ambil adalah benar. Namun, kenyataannya seiring waktu berjalan, terkuak semuanya sifat dan tingkah laku Mas Zaki beserta keluarganya.

Ingin cantik saja sulit sekali, padahal kulihat adiknya Mas Zaki terlihat menor saat ingin kuliah. Sedangkan aku, harus mengemis untuk dapat terlihat cantik di matanya.

Tidak lama kemudian, ada telepon masuk datang dari nomor yang tidak dikenal. Lalu aku angkat, khawatir ini penting.

"Selamat sore, dengan Mbak Ana Melissa?" tanya si penelepon di seberang sana.

"Betul, ini dengan siapa?" tanyaku.

"Saya orang kepercayaan Pak Ardi Dinata, ingin menjelaskan perihal perusahaan yang Pak Ardi berikan pada Mbak Ana, bisa kita ketemu?" tanyanya membuatku sontak kegirangan. Ada angin apa papa berubah pikiran memintaku untuk mengambil alih perusahaannya?

"Bisa, kapan kita bertemu?"

"Besok bisa, Mbak?" 

"Tentu saja, besok jam 9 pagi di cafe Ceria aku tunggu," sahutku kemudian memutuskan teleponnya.

Tidak kusangka hati papa yang sekeras batu itu bisa hancur seketika. Perusahaan yang tidak pernah aku harapkan kini akan diberikan olehku.

Menikah dengan Mas Zaki adalah pilihanku sendiri. Memang ada rasa menyesal saat ini memilihnya sebagai suami. Namun, ini sudah menjadi pilihan, makanya aku tak pernah keluhkan ini pada keluarga besar.

Mas Zaki yang sudah tahu aku ngambek pun datang menghampiri, pasti ia ingin merayu dan berbaikan kembali.

"Dek, maafkan Mama, ya." Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya. Kutepis dan tak melirik ke arahnya sedikit pun.

"Pergi sana, aku tak mau dekat kamu!" tegasku dengan mata menyipit tapi memalingkan wajah dari Mas Zaki.

"Dek, mau beli baju apa? Ayo kita beli sekarang, ya." Ia merayuku dengan mengiming-imingi baju. Aku sudah tidak tertarik lagi. Lihat saja nanti, uangku akan lebih banyak dari uangmu, Mas!

Jiwaku mulai bergejolak, ingin membalas rasa sakit hati yang telah ia torehkan selama ini. Begitu pun dengan mertuaku dan adiknya, Yuni, yang selalu saja meremehkan aku yang tidak berpenghasilan. Menurut mereka, aku tidak bekerja ya tidak boleh dandan mempercantik diri.

"Aku sudah tidak mood bicara soal baju, Mas!" ketusku sambil berdiri. Kemudian pergi meninggalkan Mas Zaki di halaman depan.

POSTINGAN POPULER:

Saat ingin masuk, berpapasan dengan adik ipar. Ia hendak pergi ke luar, parfum wangi sudah tercium, pasti ia ingin pergi foya-foya dengan teman kuliahnya.

Brak .... 

Aku sengaja menabrakan diri pada Yuni, ia tersentak dan melotot ke arahku. Kemudian aku pun pergi tanpa meminta maaf padanya.

"Eh, Kakak ipar sial*n! Nggak minta maaf lagi udah nabrak orang!" pekiknya. Aku tak peduli dengan celotehannya, yang terpenting aku puas menabraknya. Lihat saja nanti, aku akan membuat seisi rumah kaget.

***

Pagi itu, aku pergi diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Setelah Mas Zaki pergi ke bengkel untuk memeriksa karyawan, aku pun pergi diam-diam. Mama Ayu sedang tak ada di rumah. Entah ke mana ia perginya.

Sesampainya di cafe. Sudah ada Pak Gilang sebagai orang yang dipercaya papa untuk bicara denganku.

"Mbak, ini surat dari Pak Ardi Dinata," pungkasnya sambil memberikan secarik kertas.

[Papa tahu hidupmu menderita bersama Zaki. Mungkin selama ini kamu tidak menyangka, bahwa Papa dan Mama selalu mengawasimu. Kini, tindakan mertuamu sungguh keterlaluan, jadi inilah saatnya kamu tunjukkan pada mereka, bahwa mereka salah besar menyia-nyiakanmu! 1 tahun kamu menyimpan ini rapat-rapat. Papa menunggu dari mulutmu untuk kembali ke rumah, tapi kenyataannya Ana Melissa tetap keras kepala. Papa mohon, jadilah wanita tegas. Buatlah mertuamu malu telah menyia-nyiakanmu seperti ini!]

Orang tuaku sudah memintaku untuk membuat keluarga Mas Zaki malu, apakah ini saatnya mereka tahu tentang siapa aku sebenarnya?

Mungkin mereka pikir aku orang susah yang pantas diperlakukan seperti itu. Namun, kenyataannya adalah aku anak orang kaya, Mas!

POSTINGAN POPULER:

"Mbak ...." sapa Pak Gilang mengejutkanku. Aku membaca isi surat dari papa hingga tertegun.

"Ya, Pak Gilang, aku nggak ngerti maksud dari Papa. Apakah ia menyuruhku pulang?" tanyaku padanya.

"Nggak, Mbak. Menurut Pak Ardi, Mbak Ana beri pelajaran ke keluarganya dulu," sahutnya.

Aku bergeming, mencerna lagi ucapannya. Apakah Mas Zaki termasuk orang yang harus diberikan pelajaran?

Kemudian, Pak Gilang mengajakku pulang ke rumah Papa untuk melanjutkan bagaimana rencana papa sebenarnya.

Aku ragu, masih ada cinta untuk Mas Zaki di dalam hati ini. Meskipun demikian, ia begitu terhadapku karena pengaruh ibu dan adiknya.

"Ayo, Mbak!" ajaknya sambil bersiap mengeluarkan kunci mobil.

Kemudian aku mengangguk dan mengindahkan ajakannya.

Sepanjang perjalanan, aku masih tidak percaya bahwa papa telah mengintaiku selama ini. Padahal, aku pikir ia tak lagi menganggapku sebagai anak.

Sesampainya di rumah papa, ia menyambutku dengan pelukan hangat. Begitu pun dengan mama. Ia rindu dengan anak pertamanya yang membangkang ini. Aku anak pertama dari dua bersaudara, adikku Sinta sedang belajar di luar negeri. Sedangkan aku, memang paling sulit diatur. 

"Gilang, tugasmu sampai sini dulu," ucap papa.

"Baik, Pak." Kemudian Pak Gilang pergi dari rumah, tugasnya sudah selesai untuk saat ini.

Aku memang tak pernah menunjukkan jati diriku pada Mas Zaki dan keluarganya. Itu dikarenakan papa tak menginginkan pernikahanku dengan Mas Zaki. Ia terpaksa menjadi wali nikah karena ancaman yang aku lontarkan pada saat itu.

"Ana, kamu kurus sekarang, Nak. Baju yang kamu kenakan juga, astaga ...." Mama prihatin melihat keadaanku.

"Mah, Pah, maafkan aku. Dulu membangkang kalian. Sekarang baru tahu, uang mengalahkan segalanya." Aku mengakui kesalahan yang telah aku lakukan.

"Sudahlah, yang sudah terjadi biarlah, lebih baik sekarang kamu benahi saja, tapi Papa ingin kamu membuat malu mereka," ucapnya.

"Pah, Mas Zaki tidak akan seperti itu kalau tidak ditekan oleh ibunya," sahutku. Kemudian, papa menatapku sambil tertawa sinis.

"Kamu akan mengetahui siapa suamimu, dan mertuamu setelah memberikan mereka secuil pelajaran," sahutnya.

"Maksudnya bagaimana, Pah?" tanyaku.

Mama pun datang membawakan minuman dan makanan kesukaanku. Ada rasa rindu dimanjakan oleh mereka berdua.

"Ini loh, makanan kesukaan kamu, Ana." Mama menyodorkan kebab kesukaanku. 

"Ah Mama membuatku lapar." Dengan lahapnya aku menyantap 2 hingga 3 kebab yang mama sediakan.

Mereka berdua memandangku. Mungkin ada rindu juga di hati mereka, atau mungkin kasihan padaku?

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku. Lalu mereka pun tertawa renyah berbarengan.

"Kami rindu dengan kamu, Nak." Mereka menjawab bersamaan.

Setelah menyantap hidangan yang mama suguhkan. Aku kembali ke topik pembicaraan. Setelah sendawa beberapa kali yang membuat mereka tertawa tak henti-hentinya.

"Kebiasaan kamu makan masih sama, ya!" ujar mama.

"Lanjut ke pembicaraan tadi, Pah. Jadi bagaimana?" 

"Begini, kamu bawa mobil dan pakai perhiasan ini. Baju juga ganti dengan yang agak bagus, lalu kamu ke salon setelah pulang dari sini. Kemudian, kamu pulang ke rumah Zaki," ucapnya membuatku mengerutkan dahi. Kedua alisku menyatu karena heran, maksud papa aku diberikan fasilitas lalu ajak mereka?

"Pah, aku masih belum paham," sahutku sambil mendekat. Kini aku dan papa berhadapan lebih dekat.

"Nak, kamu ingin tahu bagaimana sifat Zaki sesungguhnya?" 

"Iya, Pah."

"Lakukan apa yang papa suruh, papa pastikan mertuamu akan menuduhmu macam-macam."

"Jadi, aku tak perlu bicara bahwa aku ini sebenarnya anak orang kaya?" tanyaku heran.

"Tak perlu, kamu akan tahu bagaimana dengan sikap mereka setelah melihatmu membawa mobil dan perhiasan. Jika Zaki ikut menuduhmu yang tidak-tidak. Itu artinya, ia tidak layak untukmu, jelas sudah bahwa ia tak mempercayai istrinya sendiri."

"Oh gitu maksud Papa, baiklah kalau begitu, Pah. Aku akan turuti semua rencana Papa."

Kemudian aku diberikan kunci mobil, dan mama memberikanku perhiasan. Tak lupa juga ia memberikan segepok uang untuk aku pakai membeli sesuatu.

"Ganti baju dulu sana." Aku bergegas ke kamar yang sudah setahun aku tinggalkan.

Setelah memilih baju yang cocok untuk aku pakai. Akhirnya papa menyuruhku ke salon sebentar untuk memotong rambut dan beberapa perawatan.

"Setelah ini kamu ke salon, nanti kabari lagi, oh ya, ini ponsel keluaran terbaru, pasti adik iparmu akan tercengang melihat ini semua," cetusnya.

"Baik, Pah, Mah. Kalau begitu, aku pamit dulu."

"Ingat, perusahaan yang akan menjadi milikmu, akan papa berikan setelah semua ini kamu bongkar," tegasnya terhadapku.

Aku pun mengikuti saran yang papa berikan, ke salon lalu pulang dengan menggunakan mobil Honda jazz warna kuning yang sudah papa sediakan.

Ke salon hanya beberapa jam saja, perhiasan dan tas yang kubawa sudah cukup membuat Yuni dan Bu Ayu akan tercengang melihat penampilanku.

***

Tin ... tin ... 

Suara klakson sengaja aku bunyikan saat terparkir di depan rumah sejajar dengan mobil Mas Zaki.

Tak lama kemudian, mereka pun keluar dari rumah, Bu Ayu dan Yuni terbelalak melihatku turun dari mobil yang papa berikan.

"Mbak Ana!" teriak Yuni.

"Zaki ...." Mama memanggil Mas Zaki untuk segera ke luar menemuiku di depan. Tidak lama kemudian, Mas Zaki ke luar dengan pandangan yang agak marah. Ya, aku tahu pandangan Mas Zaki saat ia emosi.

Aku tersenyum tipis dan balik menatap Mas Zaki dengan tatapan sinis.

POSTINGAN POPULER:

"Masuk!" teriak Mas Zaki dengan keras. Kenapa jadi ia yang marah-marah padaku?

"Why?" tanyaku.

"Alah, kamu tuh Ana, wanita murahan saja pamer segala," ucap Bu Ayu, mertuaku. Astaga, kenapa aku jadi dituduh hal yang tidak-tidak?

"Mbak, kamu tuh ya pake pamer segala, jual diri untuk ngedapetin mobil mewah dan perhiasan saja bangga banget," ketus Yuni.

Oh jadi ini yang papa maksud. Jadi tujuan papa seperti ini. Bagaimana mertuaku malah terus menuduhku dengan tuduhan yang belum tahu kebenarannya.

Aku tertawa tipis, kemudian berlalu pergi dari mereka. Percuma saja bicara pada orang yang merasa dirinya paling benar. Namun, dari sini aku semakin tahu, bahwa aku kaya raya pun yang tidak menyukai akan tetap mencari kesalahan.

Aku melangkah dengan gagah ke kamar. Kemudian, disusul oleh Mas Zaki yang tadi matanya merah padam.

"Itu mobil laki-laki yang tadi bersamamu di cafe?" tanya Mas Zaki sembari memegang lenganku. Kemudian, aku menatapnya kembali, ada tatapan cemburu di matanya.

"Jawab, Dek, jika kamu menginginkan mobil, aku bisa belikan untukmu, tak perlu menggoda laki-laki lain!" teriaknya. Aku dituduh olehnya telah menggoda laki-laki lain. Ini cemburu atau tidak percaya dengan istrinya sendiri?

"Kamu tidak percaya dengan istrimu?" tanyaku pelan.

"Bagaimana mau percaya, aku memiliki bukti bahwa kamu bertemu dengan seorang laki-laki di cafe, dan tiba-tiba kamu pulang dengan membawa mobil, memakai perhiasan, dan berdandan glamor seperti ini. Kamu juga pergi tanpa ijin. Ya, aku pantas lah mencurigaimu!" pekiknya membuatku terkejut. Telingaku terasa berdenging saat ia melontarkan kata-kata yang menyudutkan aku.

"Terserah kamu, Mas. Mau percaya aku atau orang lain," ketusku.

"Dek, aku mencintaimu, tolong jangan selingkuh hanya demi uang dan kemewahan. Percayalah, aku mampu membelikanmu pakaian yang layak dan mobil untukmu. Tapi aku mohon, jangan selingkuhi aku!" 

Entahlah ia sedang bicara sungguh-sungguh atau hanya menyenangkan hatiku.

"Apa mas? Aku nggak salah denger? Kamu tidak ingat kemarin aku minta baju baru saja, kamu masih mikir-mikir. Apalagi ingin membelikan aku mobil dan perhiasan mewah, bisa mikir 7 hari baru dibelikan." 

"Kamu sakit hati? Tidak harus menjual dirimu, Dek!" ejeknya. Ternyata benar suamiku tak mempercayaiku.

"Susah bicara pada orang yang hobinya mencari kesalahan orang lain. Terserah kamu mau percaya atau tidak! Intinya aku tidak menjual diri, kamu paham!" pungkasku.

Ponselku berdering, ada suara telepon masuk. Aku rogoh ponsel yang ada di saku celana. Ternyata dari Pak Gilang yang menghubungi. Pada saat itu pandangan Mas Zaki tak lepas dari ponsel bermerk harga fantastis.

"Angkat, kenapa tidak diangkat?" tanyanya mulai curiga. Aku yakin ia mencurigai Pak Gilang adalah selingkuhanku.

Aku bergeming, menatap wajah Mas Zaki yang sedang terbakar api cemburu. Tak habis pikir kepercayaannya hilang terhadapku hanya karena mobil dan perhiasan.

"Kenapa diam? Jangan-jangan itu selingkuhanmu? Ponselmu juga merk mahal. Kamu benar-benar wanita mura*an, Ana!" bentaknya dengan mata membulat. Bibirnya bergetar saat ia membentakku.

Dirampasnya ponsel yang aku pegang. Lalu ia bicara pada Pak Gilang dengan nada tinggi.

"Halo, dengar ya laki-laki penggoda. Ana itu istri orang. Tolong jangan ganggu lagi!" tekannya.

Mataku menyipit, dadaku bergemuruh melihat kelakuan Mas Zaki. Kenapa ia merendahkan aku? Menganggap istrinya sendiri wanita murah*n. Aku rampas ponsel itu kembali, kemudian aku ambil kunci mobil dan tas mewah yang tadi kubawa. Setelah itu hendak pergi dari rumah. Namun, Mas Zaki menahan lengan ini dengan kerasnya.

"Lepas!" Mataku menyorotnya dengan sinis. Kesal kian mendera saat mengetahui suami sendiri mencurigai istrinya dan lebih mempercayai orang tua dan adiknya.

"Mau ke mana?" tanyanya dengan menautkan kedua alisnya.

"Terserah aku mau ke mana, itu bukan urusanmu!" ketusku. Genggamannya semakin kuat hingga aku sulit melepaskan.

"Mau ke rumah Pak Gilang? Jadi kamu sekarang jadi wanita simpanan?" cibirnya. Ingin sekali aku menamparnya tapi aku tak mau mengotori tangan ini untuk menyentuh wajahnya.

Kemudian dengan sekuat tenaga, aku berhasil melepaskan genggamannya. Setelah itu, aku bergegas pergi dengan tujuan pulang ke rumah.

"Ana ... berhenti! Kamu keluar dari rumah, aku talak kau!" Astaga, suamiku mengeluarkan kata-kata itu? Baiklah, akan kulanjutkan pelajaran untuk kalian semua. Lihat saja nanti!

Aku pun keluar dari rumah Mas Zaki, ternyata di depan pintu kamar ada Bu Ayu dan Yuni. Sepertinya mereka telah menguping pembicaraan kami. 

"Huh ... dasar wanita murah*n!" ledek Yuni, aku tetap bergegas pulang ke rumah papa tanpa menjelaskan siapa aku sebenarnya.

"Ana!" teriak Mas Zaki menyusul. Namun, aku sudah tak peduli dengan panggilannya. Ia sudah menalakku. Semua sudah berakhir, Mas, tanpa kamu tahu kebenarannya lebih dulu. Aku tak habis pikir, kamu tak percaya bahwa aku ini anak orang kaya.

POSTINGAN POPULER:

Aku setir mobil dengan kecepatan tinggi. Kulajukan ke rumah papa kembali. Tak ada air mata yang menetes di pipi. Entahlah, mungkin air mata ini sudah kering hingga tak lagi berurai.

Mas Zaki, pria yang telah memintaku menjadi istrinya setahun lalu. Kini, ia menalakku. Memang baru sekali ia menalakku. Namun, aku tidak bisa kembali dengannya begitu saja, setelah apa yang ia katakan terhadapku tadi.

Kata-kata yang ia lontarkan akan menorehkan luka di hati. Mungkin baginya ini hanya sebuah emosi, tapi bagiku ini adalah jati dirinya, begitu rendahnya diriku di hadapannya.

Jadi teringat setahun silam, di saat Mas Zaki bertemu dan langsung menyuntingku.

***

Setahun lalu

Aku yang terbiasa bermain dengan anak-anak jalanan, sedang duduk di tepi jalan bersama-sama. Kami menyanyi bersenda gurau di pinggir jalan. Hingga akhirnya datang laki-laki yang tidak sengaja menabrak salah satu dari kami.

Brugh ....

"Au ...." Lita menjerit saat kakinya terlindas sebuah motor yang dikendarai oleh pria berjaket kulit.

"Eh, kamu tuh kalau naik motor liat ke jalan. Kita tuh dah di pinggir, tapi masih aja kamu lindas!" teriakku sembari menunjuk wajahnya yang tertutup helm. Kemudian, ia membuka helm dengan segera.

Setelah ia buka, laki-laki berjaket kulit itu mengucek matanya. Ia memang kesulitan membuka matanya. Sepertinya terkena debu di jalan.

"Maaf, Dek. Saya benar-benar tidak melihatnya. Maaf ya!" ucapnya sembari mengucek matanya. Kemudian ia terus menerus mengedipkan matanya. Hingga akhirnya bisa memperhatikan wajah kami.

"Jadi kamu itu tidak lihat ada kami di sini?" tanyaku lagi.

"Iya, Dek. Maaf ya. Ini uang untuk berobat ke rumah sakit." Ia menyodorkan uang sekitar satu juta rupiah.

Aku raih uangnya, kemudian kuberikan pada Lita yang sudah agak lebih mendingan.

"Maaf, Dek. Ada yang bisa antar saya dengan motor ini tidak, ya?" tanya laki-laki yang belum memperkenalkan namanya.

"Saya bisa antar," tunjukku. Kemudian, aku antarkan ia kembali ke tempatnya. Sebuah bengkel mobil yang lumayan besar dan ternama di kota ini.

Setibanya di sana, aku memberikan motornya kembali. Lalu aku berkenalan dengannya. 

"Namamu siapa? Rumah di mana?" tanya Mas Zaki.

"Aku Ana Melissa, rumahku rahasia." 

"Loh, kenapa rahasia?"

"Hanya laki-laki yang mau menyuntingku dengan segera yang boleh tahu alamat rumahku," pungkasku. Kemudian, ia meminta nomor kontakku untuk kenalan lebih lanjut.

"Kalau begitu, aku meminta nomer telepon selulermu, boleh?" tanyanya sembari memegang layar ponsel dan bersiap save kontak. Lalu aku sebut nomor kontak dan ia pun menyimpan kontakku.

"Aku pamit," tukasku.

"Hati-hati, terima kasih sudah mengantarkan aku ke bengkel. Ini bengkel milikku." Sombong sekali laki-laki ini, tapi boleh juga dengan tanggung jawabnya terhadap kecelakaan tadi.

Kemudian aku pulang, dan bertemu dengan papa dan mama. Ia sudah pulang dari kantor, seperti biasa aku dimarahi karena ketahuan bolos kuliah.

"Ana, dari mana kamu?" tanya papa.

"Pulang kuliah, Pah."

"Bohong, Papa tahu kamu bohong," cecarnya. Kemudian aku duduk di sampingnya.

"Papa akan menikahkan kamu dengan Roy, anak dari Pak Darun." Aku tersentak mendengar ucapan papa. 

"Pah, aku belum siap. Lagi pula aku sudah memiliki calon laki-laki yang akan menjadi suamiku!" jawabku dengan percaya diri.

Tidak lama aku berucap seperti itu, telepon berdering. Dari nomor yang tak dikenal. Kemudian, aku mengangkatnya sebentar saat papa hendak membicarakan pernikahanku.

"Halo, Ana." 

"Ya, ini siapa?"

"Aku Zaki, bisa bicara sebentar?" 

Aku segera pergi meninggalkan mereka, bicara dengan Mas Zaki, si laki-laki yang tanpa sengaja menabrak Lita tadi.

"Ada apa?" 

"Kamu bersedia menikah denganku?" Aku tersentak mendengar ajakannya. Ada apa ini? Papa memintaku untuk menikah dengan Roy. Di sisi lain, ada Mas Zaki yang menyuntingku secara tiba-tiba.

"Loh kenapa aku?" tanyaku terkejut.

"Mama memintaku menikah dengan wanita pilihannya. Aku tidak mau, karena tidak mencintainya. Bolehkah aku menjadikan kamu seorang istri?" Aku terdiam, tapi tak henti-hentinya berpikir. Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Aku dan dia sama-sama dipinta untuk menikah dengan pilihan orang tuanya.

"Baiklah, aku setuju. Aku pun sama dengan kamu. Diminta untuk menikah cepat, tapi dengan pilihan orang tua."

"Oh ya? Berati kita jodoh, bisakah aku melamarmu besok?" tanyanya.

"Aku bicara pada orang tuaku terlebih dahulu. Nanti aku hubungi kamu kembali!" Telepon pun terputus. Aku kembali berkumpul dengan papa dan mama.

"Siapa?" tanyanya sinis.

"Pah, aku akan menikah."

"Syukurlah, akhirnya kamu mau menikah dengan Roy." Mama sebegitu bersyukurnya mendengar ucapanku yang baru setengah.

"Mama, aku menikah bukan dengan Roy. Ada laki-laki lain pilihanku." 

Mama dan papa saling beradu pandangan sembari menggelengkan kepalanya.

"Ana, Papa tidak akan menyetujui. Khawatir laki-laki pilihanmu hanya memanfaatkan kamu, Ana!" tegasnya.

"Apa Roy tidak memanfaatkan Papa?" tanyaku.

Papa dan mama bergeming, tidak lama kemudian, papa melontarkan kata-kata yang mengejutkanku.

"Papa tidak akan merestui kamu, tapi Papa bersedia menjadi wali nikah untukmu!" tekannya. Ia menuturkan kata-kata dengan penuh ancaman.

"Maksud Papa?" tanyaku.

"Kamu boleh menikah, tapi jangan beri tahu pada keluarganya siapa jati diri kamu sebenarnya. Setelah kamu menikah pun ikut dengan suamimu!" Papa mengancam atau serius?

"Sesak dada Mama, Nak. Kenapa kamu memilih laki-laki itu?" 

"Mah, aku baru bertemu dengannya sekali, tapi kok aku merasa kami jodoh."

"Sudah, Mah. Kita masih memiliki Sinta yang nurut dengan kemauan orang tua!" tegasnya.

"Baiklah, aku setuju dengan keinginan Papa." Aku menantangnya. Dari pada harus menikah dengan Roy, si laki-laki hidung belang, lebih baik aku menikah dengan Mas Zaki saja.

Kemudian, aku memberikan kabar kepada Zaki. Bahwa aku telah menyetujui ajakannya untuk menikah dengannya. 

Perkenalan singkat dengan Mas Zaki telah menumbuhkan benih cintaku padanya. Begitu juga dengannya, yang lebih memilihku ketimbang gadis pilihan mamanya.

Acara lamaran dilakukan di rumah kecil yang papa sewa. Ia tidak mau memperlihatkan kekayaan kami karena belum mengenal Mas Zaki lebih dalam.

***

POSTINGAN POPULER:

Aku melewati jalanan tempat kami bertemu dulu. Kemudian, aku turun dari mobil. Sedikit mengenang tempat ini, tempat awal mula Mas Zaki menabrak Lita. Kira-kira bagaimana kabarnya Lita sekarang ya? Sejak menikah dengan Mas Zaki, aku tak lagi bertemu dengannya.

Aku raih ponsel yang ada di tas, tapi ternyata kontak sudah tidak aktif lagi. Ah rasanya ingin cerita padanya bagaimana rumah tanggaku saat ini.

Aku kembali ke mobil dan hendak pulang ke rumah papa. Namun, papa sudah menghubungiku terlebih dahulu.

"Halo, Pah."

"Bagaimana?" tanyanya. Aku tahu ia sudah mengetahui jawabanku tapi berpura-pura menanyakan lagi padaku.

"Aku sedang on the way pulang, Pah."

"Jangan dulu, Papa punya tugas untukmu, tolong belikan bunga mawar berduri dan kirim ke alamat Jl. Tiga Dimensi nomer 5. Tolong Papa kirim bunga itu, ya!" suruhnya. Aku pun menyatukan kedua alis. Kenapa harus aku yang kirim? Bukankah papa memiliki banyak anak buah?

"Pah, kenapa aku? Males ah!"

"Ana, tolong Papa, ya!" perintahnya lagi.

"Baiklah, aku akan antar. Pengirim dari siapa?"

"Tak usah kasih nama pengirimnya," sahutnya. Kemudian telepon pun terputus.

Aku pun membeli bunga mawar berduri seperti perintah papa. Kemudian mengirimkan bunga itu ke alamat yang papa berikan.

Setelah sampai, di sebuah rumah minimalis, kelihatannya rumah orang berada. Di depan garasi juga ada sebuah mobil lumayan mahal terparkir. Entahlah, bunga ini papa kirim untuk siapa. Aku hanya mengikuti perintahnya.

Aku tekan bel rumah yang ada di depan. Kemudian keluarlah si pemilik rumah. Seorang wanita cantik yang berpakaian modis, wajah manis yang terpancar dari balik pintu itu tersenyum tipis kepadaku. Sepertinya aku kenal wanita itu?


"Lita?" tanyaku keheranan. Wanita cantik berpakaian modis menghampiriku.

"Kamu, kok tahu rumahku?" tanya Lita balik. Aku bingung kenapa papa menyuruhku memberikan bunga mawar berduri ini kepada Lita.

"Emm, aku ...." Aku mencari alasan kenapa mengirim bunga ini untuknya.

"Hei, Ana. Jawab jujur padaku. Kamu tahu alamat ini dari siapa?" tanya Lita. Ia menanyakannya sembari mengelus perutnya yang agak buncit.

"Kamu sedang hamil? Kapan nikahnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Aku ... iya, sedang hamil 6 bulan!" tukasnya sembari tersenyum.

"Nih bunganya, aku tidak tahu itu bunga dari siapa? Ada di meja cafe beserta alamat ini. Makanya aku antar ke sini, rupanya rumahmu, Lita." Akhirnya aku mendapatkan alasan mengada-ada pada Lita.

"Terima kasih, ya. Kamu mau masuk dulu?" tanyanya. Namun, ponselku berdering, papa menghubungiku lagi. Segera aku angkat telepon dari papa.

"Iya, Pah," jawabku.

"Pulang, Nak." Kemudian telepon pun terputus. Aku bergeming saat papa memintaku pulang dengan segera.

"Ana, siapa yang telepon? Zaki ya?" tanyanya.

"Hah ... bukan. Aku permisi dulu ya! Kapan-kapan mampir ke sini deh, siapa tahu kamu sudah melahirkan."

"Salam ya, untuk Zaki!" pesannya. Namun, aku hanya memberikan senyuman saat ia menitipkan salam untuk Mas Zaki.

Aku mengendarai mobil kembali, Lita pasti mengira mobil ini adalah pemberian Mas Zaki. Padahal, aku tak pernah diberikan ia mobil mewah seperti yang Lita rasakan saat ini. Ternyata Lita lebih beruntung dariku, ia mendapatkan suami yang royal terhadapnya. Rumah dan mobilnya itu pasti pemberian suaminya. Aku tahu betul, Lita kan anak jalanan.

Sementara itu, aku terus memikirkan maksud papa mengirimkan bunga terhadap Lita, tanpa nama pula. Apa maksud papa? Nanti akan kutanyakan langsung pada papa.

Setibanya di rumah, aku langsung melempar tas dan kunci ke sofa. Rasa kesal masih terasa di hati. Apalagi setelah melihat nasib temanku yang beruntung. Ada penyesalan dalam diri ini saat melihat gaya hidup Lita. Sesalnya aku tak menuruti keinginan papa dulu.

"Bagaimana, bunga sudah terkirim?" tanya papa tiba-tiba muncul dari belakang.

"Sudah, oh ya, kenapa Papa bisa kenal dengan Lita? Maksud dan tujuan Papa mengirimkan bunga untuknya itu apa?" tanyaku panjang lebar.

"Besok pukul 09:00 WIB, kamu periksakan ke Dokter Lia Rinata SpOG. Papa sudah buatkan janji."

"Pah, aku tanya apa malah jawabannya apa!" keluhku. 

"Iya, itu jawabannya!" timpalnya membuatku heran. Tanya apa jawab apa? Astaga papa kenapa memberikanku teka-teki di saat seperti ini?

"Lalu kenapa aku harus memeriksakan kehamilan?" tanyaku lagi. Heran saja kenapa papa menyuruhku melakukan hal yang aneh terus?

"Kamu itu mau mengajukan cerai, papa ingin pastikan kamu tidak dalam keadaan hamil, karena papa juga tidak mau jika kamu tengah hamil bercerai. Kasihan anakmu nanti!" sanggahnya. Aku paham sekarang, kenapa papa menyuruhku cek kondisi kehamilan, tapi kan bisa melalui testpack?

"Pah, tes kehamilan bisa testpack loh!" protesku.

"Kamu ingin tahu jawaban Papa, kenapa menyuruh kirim bunga mawar berduri, kan? Nanti di sana juga akan ada jawabannya. Oh ya satu lagi, minggu depan ada interview untuk para pelamar kerja di kantor. Kamu yang tes interview, ya!" tunjuknya. Masih belum paham maksud papa mengenai bunga mawar, kini ia memerintahkan interview. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan? Kenapa tidak bicarakan saja padaku?

"Kenapa aku lagi, sih, Pah? Nggak mau ah!" tolakku. Aku belum berpengalaman interview calon pekerja.

"Nurut kenapa, sih?" sungutnya. Papa mulai emosi bicara dengan anaknya.

"Alasannya?" tanyaku.

"Yuniar Sucipto itu melamar kerja di kantor, besok psikotest, minggu depan interview kamu yang hadapi dia!" ketusnya. Ternyata adiknya Mas Zaki melamar kerja di kantor papa. Baiklah kalau begitu, aku akan membuatnya menyesal telah mencemoohkan aku dulu.

"Oh, baiklah kalau begitu alasannya." Akhirnya aku mengindahkan perintahnya.

***

Sejak kepergianku dari rumah, Mas Zaki tak lagi menghubungiku. Sepertinya ia serius menalakku. Ada rasa kesal dan sesak di dada saat melihat ponsel tak ada notifikasi masuk darinya. Namun, ini semua menjadi lebih jelas, bahwa ia tak pantas dipertahankan.

Jam dinding menunjukkan pukul 08:30 WIB. Aku rasa masih ada waktu untuk ke dokter kandungan dalam waktu setengah jam. Jadwal yang papa janjikan pada Dokter Lia Rinata SpOG.

"Pah, Mah, aku berangkat dulu, ya! Ingin tahu juga jawaban bunga mawar itu."

"Kamu hati-hati, Sayang," pesan mama papa sambil mengecup pipiku. Aku lihat papa juga sedang bersiap ke kantor.

Kemudian aku pergi ke rumah sakit yang telah papa tunjuk. Aku tidak mungkin hamil, tidak ada tanda-tanda sedang mengandung. Jadi, pasti dokter pun akan memberi tahu bahwa tidak ada janin di rahimku.

Setelah sampai di sana, aku langsung diperiksa oleh Dokter Lia. Ia sopan sekali saat bicara. Memang tak ada apapun di dalam rahimku. Persis seperti dugaanku.

"Jadi saya tidak hamil kan, Dok?" 

"Tidak, Bu. Ini surat keterangan bahwa Ibu negatif. Pak Ardi yang meminta harus membuatkan ini untuk Bu Ana." 

"Kalau begitu, saya permisi, terima kasih banyak, Dok!" Aku pun meninggalkan ruangannya. Kemudian aku bergegas kembali ke parkiran. Teringat ucapan papa, bahwa aku akan menemukan jawaban tentang bunga mawar, tapi kenapa belum juga ada jawabannya?

Sebelum ke parkiran, aku menghubungi papa terlebih dahulu. Untuk memastikan bahwa aku tidak hamil sekaligus menanyakan bunga mawar tersebut.

"Halo, Pah."

"Ya, Sayang. Bagaimana?"

"Negatif, Pah."

"Syukurlah."

"Bagaimana dengan bunga mawar?" tanyaku lagi. Aku pun duduk di ruang tunggu tepat di depan farmasi, tempat orang menunggu antrian obat.

"Kamu sekarang tengok ke arah loket farmasi, kemudian kamu perhatikan, siapa laki-laki ber- jas hitam yang sedang antri di depan farmasi!" pinta papa. Aku pun melangkah ke arah antrian farmasi dengan hentakan satu demi satu.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama