Cerpen sekolah Murid Nakal Itu Ternyata ...

 Murid Nakal Itu Ternyata ... 

Aku guru baru di SD ini. Sebuah SD di pelosok desa yang sangat jauh. Meski jauh dari kota asalku, aku sangat antusias menjalani peran baru sebagai seorang pendidik. Darah guru memang mengalir deras dalam keluarga besarku. 


Ayah-Ibuku guru. Paman dan Bibi dari pihak Ayah maupun Ibu juga banyak yang menjadi guru. Beberapa orang sepupuku juga telah lebih dulu memilih profesi sebagai guru. 


Beberapa minggu mengajar di sini, aku sudah langsung menghadapi sebuah masalah yang menurutku pelik. 


Ada seorang anak yang terkenal sangat badung. Namanya Ahmad, seorang murid kelas 6. Anehnya, si Ahmad ini berubah jadi nakal baru-baru ini saja. Sebelumnya dia sama sekali bukan anak yang bermasalah. 


Menurut cerita para guru, sejak enam bulan terakhir si Ahmad sering sekali mengusili teman-temannya. Bahkan tak jarang ada yang sampai menangis karena kejahilan bocah itu. Dia juga suka membuat gaduh di kelas sehingga mengganggu proses belajar mengajar. 


Karena kebadungan dan perilaku buruknya itu, beberapa orang tua murid lain pernah ada yang protes. Mereka merasa kurang nyaman anak-anak mereka satu kelas dengan murid yang super jahil bahkan sudah masuk kategori nakal. 


Pernah pula ada orang tua murid yang terang-terangan meminta kepala sekolah agar mengeluarkan Ahmad. 


Kepala sekolah dan para guru pun mengalami kondisi dilematis. Mereka akui, belakangan Ahmad memang banyak bikin masalah. Namun, dia juga murid paling cerdas. Sejak kelas satu, dia selalu menjadi pemuncak kelas. Nilai-nilai raport-nya selalu mendekati angka sempurna. 


Jika ada lomba-lomba antar sekolah semacam cerdas cermat atau olimpiade sains, selalu Ahmad yang menjadi andalan. Dan, prestasinya pun tak pernah mengecewakan. 


Oleh karena itu, pihak sekolah tidak mau memberhentikan Ahmad dan lebih memilih pendekatan persuasif kepada para orang tua yang suka protes itu agar mau memaklumi kebadungan Ahmad. Toh, kenakalannya juga masih dalam batas wajar nakalnya anak-anak. 


Akan tetapi, ternyata tak mudah. Tetap saja pihak sekolah terus menerus mendapat tekanan dari sebagian orang tua teman-teman Ahmad yang menginginkan bocah itu dikeluarkan dari sekolah. Ahmad bisa berpengaruh buruk pada anak-anak lain. Begitu argumen mereka. 


Suatu ketika, aku mengalami sendiri kebadungan Ahmad. 


Aku mengajar menjelang jam bubaran sekolah. Ketika aku baru saja sampai di kelas, Ahmad sudah terlihat bertingkah. Dia memukul-mukul mejanya dengan keras sehingga suasana kelas menjadi gaduh. 


Tak berhenti disitu, ketika aku sedang menerangkan pelajaran, dia berteriak-teriak tak karuan. 


Aku dengar, biasanya jika Ahmad sudah bertingkah begitu, guru-guru lain pasti mengusirnya ke luar kelas atau menyuruhnya pulang duluan. Supaya kelas tidak gaduh. Dan, biasanya Ahmad dengan senang hati segera berlari meninggalkan kelas. 


Aku tidak melakukan itu. Jangankan mengusir, aku bahkan membiarkan Ahmad terus bertingkah. Aku memilih berhenti menerangkan pelajaran, kemudian menulis beberapa kalimat di papan tulis dan menyuruh anak-anak menyalinnya ke buku masing-masing. 


Aku perhatikan Ahmad, dia tampak gusar. Lalu dengan gestur gelisah celingak-celinguk ke luar jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku tetap berpura-pura tidak memperdulikan dia. Namun, sudut mataku tetap mengawasi gerak-geriknya. 


Tiba-tiba dia meraih tasnya lalu dengan kalap memukul-mukulkannya ke tubuh Amir, teman sebangkunya. 


Amir yang sedang menulis terkejut. Dia coba menangkis gebukan bertubi-tubi Ahmad dengan kedua tangannya. 


Aku tak kalah terkejut, lalu bergegas mendekati mereka. 


"Ahmad! Ahmad! Hentikan!" bentakku sambil mencekal bahu anak itu dan menariknya mundur dari Amir yang tampak tak senang tiba-tiba dipukuli. 


"Ahmad, kamu duduk di meja Bapak, cepat! Dan kamu, Amir, ayo duduk lagi. Selesaikan tugasmu!" Perintahku pada kedua bocah itu. 


Amir segera mematuhi perintahku. Namun, tidak dengan Ahmad. Sempat terlihat wajahnya tenang setelah aku tarik tadi. Tak terlihat ada kesan badung dari sorot matanya. Namun, wajah itu tiba-tiba kembali gelisah ketika aku suruh duduk di tempatku. 


Lalu, secara tiba-tiba Ahmad kembali mengambil tasnya, kemudian berlari sekencang-kencangnya meninggalkan aku dan seisi kelas. 


"Ahmad! Ahmad! Mau kemana kamu?" Teriakku berusaha mencegahnya. 


Namun, percuma, anak itu tak menggubris teriakanku. Dia terus berlari secepat yang dia bisa hingga ke luar pekarangan sekolah. 


Aku penasaran. Buru-buru ku perintahkan murid-murid untuk bubar lalu aku pun berlari menyusul Ahmad. 


***** 


Aku berhasil menyusul. Dari jarak sekitar 30 meter aku bisa melihat Ahmad berjalan sangat tergesa-gesa. 


Tadinya aku ingin segera menjajarinya dan bertanya langsung tentang tingkah nakalnya pada Amir tadi. Namun, tiba-tiba naluri keingintahuanku mencegah. Akhirnya kuputuskan untuk membuntutinya terus sampai ke rumah. 


Ternyata memang jauh rumahnya. Butuh setengah jam berjalan cepat diselingi berlari untuk sampai di rumahnya yang ternyata hanya sebuah rumah kayu yang sangat sederhana. Bahkan bisa dikatakan reot. 


Aku berdiri di balik semak tak jauh dari rumah itu dan memperhatikan dari sana. 


Di depan pintu, Ahmad berteriak keras 


"Yusuf! Ayo buruan!" 


Dari dalam rumah keluar seorang bocah yang hanya memakai celana pendek lusuh sambil menenteng beberapa buku. Tubuhnya sedikit lebih kecil daripada Ahmad. 


Ahmad buru-buru membuka pakaian sekolah dan sepatunya lalu menyerahkannya pada bocah yang tadi dia panggil Yusuf itu. 


Yusuf bergegas memakai pakaian sekolah dan sepatu yang disodorkan Ahmad. Lalu, dengan sigap pula dia keluarkan buku-buku dari dalam tas, kemudian memasukkan buku-buku yang tadi dia tenteng. 


"Aku berangkat ya, Bang. Gantian jaga ibu, ya!" ujar Yusuf. Lalu bocah itu pun berlari meninggalkan Ahmad. 


"Masha Allah ..." batinku. 


Rupanya ini lah alasan Ahmad selalu berbuat nakal tiap menjelang jam bubaran sekolah. Rupanya supaya dia diusir dari kelas dan bisa segera pulang agar adiknya bisa gantian memakai seragam, sepatu, dan tas sekolahnya. 


Terjawab juga kenapa dia tadi kabur dari kelas. Rupanya karena tadi aku tidak mengusirnya ketika dia bikin gaduh, dan bahkan telah memukuli Amir, dia terpaksa kabur. Rupanya sang adik memang menunggu kepulangannya segera, supaya tidak terlambat sekolah. 


Hanya saja, kenapa harus dengan cara berbuat nakal? Masih jadi tanda tanya besar di kepalaku. 


Setelah Yusuf pergi, Ahmad segera masuk rumah. Aku yang makin penasaran pada kehidupan anak yang sebenarnya sangat cerdas itu, mendekat ke rumah. 


Dengan senyap aku masuki pekarangan dan terus mendekat ke pintu rumah. Aku berdiri diam di depan pintu yang terkuak setengah itu. 


Dari dalam aku dengar obrolan Ahmad dengan seorang perempuan yang aku yakin adalah ibunya. 


"Kau diusir gurumu lagi, hari ini? 


Tak terdengar ada balasan. 


Aku coba mengintip ke dalam. Rupanya Ahmad sedang menyuapi seorang perempuan yang terbaring di sebuah bale-bale bambu dengan posisi kepala agak ditinggikan. Rupanya perempuan itu lagi sakit. 


Beberapa menit kemudian. 


"Bu, aku berangkat dulu, ya... Assalammualaikum." Terdengar suara Ahmad berpamitan. 


Benar ternyata. Perempuan itu ibunya. 


Aku buru-buru menyingkir ke samping rumah. 


Ahmad kembali berjalan tergesa-gesa meninggalkan rumah. Tangannya menenteng sebuah rantang. 


Aku ikuti terus langkah Ahmad menyusuri jalan-jalan setapak hingga akhirnya tiba di areal persawahan. 


"Ayah! Ini makan siang Ayah. Aku tinggal di sini, ya! Sekalian aku pamit mau ke pasar ya, Yah," ujar Ahmad setengah berteriak seraya menaruh rantang di pematang. 


Ayah Ahmad yang sedang mencangkul menghentikan pekerjaannya. 


"Oya, Nak, taruh aja di sana. Kau tetap mau ke pasar?" 


"Iya, Yah. Mumpung masih rame." jawab Ahmad sembari putar badan dan langsung kembali berlari meninggalkan area persawahan. 


"Ya sudah ... hati-hati! Pulang menjelang Ashar, ya!" teriak ayah Ahmad. 


"Baik, Yah," jawab Ahmad juga dengan berteriak sambil terus berlari kecil. 


Aku kembali membuntuti Ahmad. 


Sebagaimana obrolannya dengan sang ayah tadi, rupanya Ahmad memang menuju pasar. 


Di pasar dia mengambil satu pack plastik kresek di sebuah kios. 


Lalu dia berkeliling pasar menawarkan kresek itu kepada ibu-ibu yang sedang berbelanja. Beberapa Ibu tampak membeli kresek yang ditawarkan Ahmad. 


Beberapa Ibu juga ada yang meminta Ahmad membantu menenteng belanjaan mereka sampai ke pangkalan ojek atau angkutan pedesaan. Ahmad terlihat sangat gembira tiap menerima upah seribu dua ribu perak sebagai upah atas jasanya itu. 


Sampai di situ, mataku terasa panas. Hatiku pilu setelah mengetahui siapa Ahmad sebenarnya. Ternyata dia adalah seorang pejuang kehidupan yang amat tangguh. Aku pun melangkah meninggalkan pasar itu dengan perasaan campur aduk tak menentu. 


***** 


Keesokan harinya. 


Ahmad tak masuk sekolah. Aku gelisah. Karena tak ada kabar sama sekali tentang dia. Padahal, hari ini aku ingin ngobrol banyak dengan bocah itu sekalian ingin memberinya bantuan uang tunai semampuku. 


Sepulang sekolah aku putuskan menemui Ahmad di rumahnya. Skalian ingin bicara dengan kedua orang tua anak yang mengagumkan itu. 


***** 


"Pak, Bu, perkenalkan saya guru di sekolahnya Ahmad," ujarku memperkenalkan diri setelah dipersilahkan masuk rumah. 


Ayah dan Ibu Ahmad terlihat murung. Namun, memaksakan senyum setelah mengetahui aku adalah guru anak mereka. 


"Maaf Pak Guru... apakah Ahmad ada berbuat salah pada Pak Guru?" tanya sang Ayah. 


"Oh... nggak kok, Pak... saya cuma mau bertanya tentang Ahmad." 


"Soal apa, Pak Guru?" 


Lalu kuceritakanlah semua tentang Ahmad sebagaimana yang selama ini diceritakan para guru di sekolah padaku. Juga kuceritakan tentang pengalamanku kemaren membuntuti Ahmad. 


Ayah Ahmad mendesah panjang setelah mendengar ceritaku. 


"Begini Pak Guru. Pendidikan kami rendah. Kami juga miskin. Sebenanya kami tak mampu menyekolahkan anak-anak. Tapi kami lihat sepertinya Ahmad itu anak yang cerdas. Makanya kami ingin dia sekolah." 


"Beberapa tahun yang lalu ibunya tiba-tiba lumpuh, entah kenapa. Saya tak bisa menjaga Ibunya karena harus mencari nafkah supaya kami bisa tetap makan tiap hari." 


"Akhirnya, Yusuf terpaksa tidak kami sekolahkan supaya bisa menjaga ibunya selama saya bekerja dan Ahmad di sekolah." 


"Nah, tujuh bulan yang lalu, Ahmad minta saya untuk menyekolahkan Yusuf. Katanya, sangat penting Yusuf bersekolah. Meskipun terlambat tiga tahun. Itu lebih baik daripada tidak bersekolah sama sekali, katanya." 


"Saya bilang, saya tak mampu, walau sekedar pembeli seragam. Belum lagi soal Ibu mereka yang tidak ada yang menjaga jika Yusuf juga sekolah." 


"Tapi, Ahmad tetap ngotot adiknya harus disekolahkan." 


"Akhirnya, Yusuf saya sekolahkan di SD yang belajarnya siang sampai sore. Supaya bisa gantian saja seragam dan tasnya dengan Ahmad yang sekolahnya pagi. Sekalian pula mereka berdua bisa gantian mengurus ibu mereka. Yusuf bertugas dari pagi, sedangkan Ahmad bertugas sampai menyuapi Ibunya makan siang. Setelah makan siang ibunya nggak apa apa ditinggal." 


Aku manggut-manggut mendengar penjelasan itu. 


"Lantas, kenapa Ahmad jadi nakal enam bulan terakhir ini, Pak?" tanyaku. 


Ayah Ahmad terdiam. Dahinya berkerut pertanda sedang berpikir keras. 


"Sepertinya dia memang sengaja berbuat nakal supaya diusir, Pak." 


"Kenapa begitu, Pak?" tanyaku heran. 


"Iya, dia berjanji, tidak akan bolos-bolos gara-gara Yusuf harus bersekolah. Sebab, saya minta begitu. Kalau dia terpaksa bolos karena harus berbagi seragam dengan Yusuf, lebih baik Yusuf tidak usah sekolah." 


"Jadi dia sengaja nakal supaya diusir dan gak harus bolos supaya bisa pulang lebih cepat. Dengan begitu, dia tidak bohong pada saya. Dia pulang cepat bukan karena bolos, tapi karena diusir guru." 


"Kami memang selalu mengajarkannya untuk tidak boleh bohong. Apapun alasannya." 


"Kami pun tak tega bertanya kenapa dia sampai sering diusir guru. Sebab, kami berpikir, pasti gara-gara kami." 


"Mungkin karena seragamnya yang kotor atau bau. Mungkin juga karena buku pelajarannya yang tidak lengkap, entahlah. Yang jelas kami tidak tega menanyakannya." 


"Tapi kami sungguh tak menyangka dia sering diusir ternyata karena berbuat nakal." 


Ayah Ahmad mulai kesulitan menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Dia senang putranya memang tidak pernah berbohong. Tapi sekaligus sedih karena harus menempuh cara seperti itu supaya adiknya tetap bisa bersekolah sekaligus dia tidak membohongi orang tuanya. 


"Iya, Pak. Mungkin hanya sekali kemaren dia berbohong. Kemaren dia berbuat nakal. Tapi saya tidak mengusirnya. Akhirnya dia kabur pulang. Makanya saya buntuti. Dan sekarang saya jadi paham kondisi yang sebenarnya. Itu berarti kesalahan saya. Gara-gara saya lah Ahmad terpaksa berbohong," ujarku prihatin. 


Ayah dan Ibu Ahmad tampak sudah berkaca-kaca. Jika tak ada aku mungkin air mata mereka sudah berderai. 


"Sudahlah, Pak, Bu ... sekarang, mana Ahmad?" 


Ayah Ahmad tampak kaget. 


"Pak Guru belum tahu?" 


"Kenapa, Pak?" 


"Kemaren di pasar ada yang meneriakinya copet. Dia pun dihakimi massa hingga terluka parah. Untung, banyak pedagang pasar yang mengenali Ahmad. Mereka menyelamatkannya,"  jelas ayah Ahmad dengan suara bergetar. 


Mendadak tubuhku lemas. Jantung seolah berhenti berdetak. 


"Lalu, sekarang mana Ahmad?" Aku mendekat ke orang tua itu. 


"Di rumah sakit...di kota kabupaten." 


"Gimana keadaannya, Pak?" kejarku. 


"Hingga saya tinggalkan, masih belum sadar. Saya terpaksa pulang dulu karena istri saya dan Yusuf tak ada yang mengurus." 


Aku teringat kejadian di pasar kemaren. Harusnya aku temui Ahmad, memberinya uang, lalu mengantarnya pulang. Aku mengutuk dan menyesali diri. Menyesal atas kejadian ini, dan lebih menyesal lagi karena selama ini pihak sekolah abai terhadap kehidupan Ahmad yang begitu memprihatinkan. Padahal dia seorang murid yang brilian. Hanya satu hal yang membuat aku agak lega, aku tak ikut-ikutan percaya bahwa Ahmad adalah anak nakal. 


Tapi itu tak cukup. Aku harus berbuat untuk menyelamatkan Ahmad dan membantunya. 


"Pak, Bu, saya yang akan menjaga dan mengurus Ahmad di rumah sakit sampai sembuh. Bapak dan Ibu tenang saja. Setelah Ahmad sembuh, segera akan saya antar pulang. Mohon bantu saya dengan doa." 


Pasangan suami istri itu makin haru. Air mata tak mampu lagi mereka bendung. 


***** 


Aku berada di samping Ahmad yang masih terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya lebam dan penuh luka memar. 


Mesin pasien monitor menampilkan beberapa informasi kondisi fisiologis bocah malang itu. Aku lega, karena menurut dokter kondisinya stabil. 


Aku terus pandangi wajah mungil itu. Menunggu dia bergerak-gerak dan siuman. 


Dalam hati aku bertekat, sejak detik ini, Ahmad akan jadi anak asuhku. Aku akan didik dan biayai pendidikan dan segala kebutuhannya sekuat yang aku mampu. 


Aku juga bersumpah, hanya akan menikahi perempuan yang juga mau menerima Ahmad sebagai anak asuh. 


Tak lama kemudian, mata Ahmad berkedip-kedip, lalu terbuka. Dia melirik ke arahku. 


"Bapak ... Ahmad ada dimana...? Suaranya lemah. 


Aku mendekat, mengusap pelan rambutnya. 


"Ahmad di rumah sakit, Nak. Tapi, Insha Allah tak lama lagi bisa pulang dan Ahmad bisa kembali sekolah, sekalian dengan Yusuf," ucapku sambil tersenyum haru. 


Malaikat kecil itu membalas senyumku dengan kedua bola mata berkaca-kaca. 


Penghargaan untuk:

Film Children of Heaven (1997), karya Sineas Iran Majid Majidi, yang salah satu adegannya saya adaptasi dalam cerita ini.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama