Istriku Mantan Muridku

Penulis : Dareen Naveen

“Ica, maju!”
Aku menyuruh anak didikku untuk mengerjakan tugas Biologi.
“Baik, Pak Gan!”
“Sejak kapan Bapak ganti nama jadi Afgan?”
“Ish! Pak Gan, maksudnya Pak Ganteng, bukan Afgan, Pak!” sungutnya.

Foto oleh 周 康 dari Pexels

Hahahaha ....
Seketika kelasku ramai karena guyonan anak didikku.
Namanya Anisa Khumairah, usianya sekitar tujuh belas tahun. Dia gadis yang periang dan juga jahil. Tidak hanya teman sebayanya, kadang aku pun selaku wali kelas, tak luput dari kejahilannya.
“Reproduksi itu, Ica ibaratkan indukan kambing jantan dan betina bertemu terus menghasilkan anak, Pak!”
“Haduh, Ca! Maksud Bapak artinya.”
“Oh ... Iya. Maksud Ica, reproduksi ialah proses biologis suatu individu untuk menghasilkan individu baru. Contohnya, Bapak sama Ica menikah nanti punya dedek bayi,” celetuk siswi yang terkenal jahil.
Lagi, semua murid kembali tertawa mendengar jawaban dari Ica. Memang tidak ada yang salah, tetapi kenapa juga harus dicontohkan aku dengannya?

Kringgggg!
Akhirnya bel sekolah berbunyi, menandakan berakhirnya jam sekolah.
Semua murid langsung bergegas pulang. Apalagi, langit mulai gelap oleh awan hitam. Mungkin sebentar lagi akan hujan.
Seperti biasanya, Ica selalu masuk ke kantin untuk makan mi ayam sebelum pulang. Hal itu menjadi rutinitasnya tiap hari.
“Cepet pulang! Udah mendung, nanti kamu terjebak hujan.”
“Biar saja, hujan ‘kan cuma air, Pak! Apa yang harus Ica takutin?” jawabnya sambil menyuapkan mi ayam.
Akhirnya hujan pun turun dengan lebat. Sehingga Ica tidak dapat pulang, terlebih angkot pun tidak melewati sekolah ini. Karena letaknya masuk ke dalam. Biasanya, mereka berjalan kaki untuk naik angkot di jalan utama.
“Yah ... Masih hujan, Pak!” ujarnya yang menghampiriku di ruang guru.
“Dibilangin ngeyel, sih!” jawabku dengan mata fokus ke lembar kerja siswa.
“Gimana lagi, Pak. Kalau Ica gak makan di kantin, Ica gak bisa makan di rumah,” elaknya.
“Kenapa?”
“Mama Ica pulangnya malam, jadi belum ada makan siang di rumah.”
“Kamu gak bisa masak?”
Ica menggeleng sambil tersenyum memperlihatkan barisan gigi putih nan rapi.
“Nyengir lagi!” ujarku sambil kembali memeriksa tugas anak didikku.
“Yaelah. Emang Bapak bisa masak?” tanya Ica.
“Jan tanya!”
“Wahhh ... Bapak bisa masak apa aja? Ica ajarin dong, Pak!” ujarnya dengan semangat empat lima.
“Jan tanya lagi, maksudnya!”
Bibir Ica meruncing, “Ica kira, Bapak pinter masak!” gerutu Ica.
Aku terkekeh, melihat ekspresi murid yang dijuluki si Ratu Jahil oleh teman-temannya.
.
Aku pun merapikan buku-buku dan bersiap untuk pulang, lalu memakai jas hujan. Waktu telah menunjukkan Pukul empat sore.
“Pak, jangan pulang dulu, dong! Nanti Ica sama siapa?”
Iya juga, ya! Kasian juga kalau gue tinggal dia di sekolah.
“Ya udah, Bapak anter kamu. Nih, pake!” Aku memberikan jas hujan padanya.
Aku memang sering membawa jas hujan dua. Kadang, ada guru lain yang meminjamnya. Ica pun memakai jas hujan yang kuberikan.
Kami melesat menembus derasnya air hujan yang turun. Ica memelukku dari belakang.
Deg!
Tiba-tiba, jantungku berdetak kencang dibuatnya. Aku mulai mengatur napas untuk mengurangi getar yang ada di dada.
Sial! Kenapa debar ini makin kencang, sih?
.
Ica menarikku masuk ke halaman rumahnya. Ia membuka jas hujan yang dikenakan, lalu melipatnya.
“Pak, tunggu bentar, Ica buatin kopi, ya?” ujar Ica.
“Gak usah, Ca! Bapak langsung pulang saja.”
“Ya udah, makasih, Pak!”
Aku mengangguk dan kembali menaiki tungganganku. Melesat menuju rumah.
***
Itu merupakan kenangan tiga tahun yang lalu. Kini, Ica pun entah ke mana. Yang aku tahu, dirinya sudah bekerja tapi entah di mana.
Sedangkan aku, masih mengajar di sekolahnya dulu, sebagai guru Biologi. Usiaku kini beranjak dua puluh tujuh tahun, masih lajang. Entah, aku mencari wanita yang seperti apa? Beberapa kali menjalin hubungan dengan seorang wanita, berakhir kandas di tengah jalan. Katanya aku gak romantis, terlalu cuek, gak peka dan masih banyak lagi alasan mereka.
Kkrriinnngggg!
Jam pelajaran telah usai, semua murid telah pulang dan sekolah kembali sepi.
Seperti biasa, aku pulang belakangan. Melesat menggunakan mobil baru, yang kubeli beberapa hari kemarin.
.
“Ada apa ini?”
Terlihat orang berkerumun di ujung jalan. Aku pun memarkir mobil dan menghampiri kerumunan itu.
“Astaga!”
Ternyata ada wanita paruh baya yang tergeletak di pinggir jalan dengan bersimbah darah. Aku melihat warga di sekitar menyetop kendaraan. Tapi nihil, banyak yang tidak mau karena darah yang keluar terlalu banyak dari wanita paruh baya itu.
“Ayo, Pak! Masukkan ke mobil, saya!” Aku meminta bantuan pada warga yang berkerumun.
Warga langsung menaikkan tubuh wanita paruh baya itu ke dalam mobil. Aku melesat dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
Wanita itu langsung dimasukan ke ruang UGD dan aku menunggunya di kursi stenlis di dekat ruangan itu sembari memegangi tas miliknya.
Langit telah gelap. Aku masih berada di rumah sakit. Aku tidak mengenalnya dan bingung harus menghubungi siapa?
Dddrrrttt ....
Ada getar dari tas si korban. Walau tidak enak hati, aku membukanya dengan mengharapkan ia salah satu anggota keluarga dari Ibu ini.
[Ibu di mana?]
[Maaf, Mbak. Mbak bisa ke rumah sakit Bethesda? Ibu Mbak ada di sini.]
[Apa?]
[Ibu Mbak masih di ruang UGD.]
[Baik, tolong jaga Ibu saya, Mas. Saya langsung ke sana!]
Tut!
Telepon mati.
.
Ceklek!
Pintu ruang UGD terbuka dan aku menghampirinya.
“Bapak keluarganya?”
“Bukan, saya hanya menolongnya saja.”
“Silakan masuk, pasien ingin bertemu dengan Anda.”
Dokter itu berlalu pergi setelah menyuruhku masuk ke ruang UGD.
Aku menghampiri wanita paruh baya itu. Betapa kagetnya aku ketika beliau memintaku untuk menikahi putrinya.
Entah kenapa, lisanku langsung mengatakan iya. Entah karena ia jodohku atau karena aku terlampau panik dengan keadaan wanita itu.
“Ibu!”
Teriak wanita muda dan cantik menghampiri wanita yang sedang terbaring lemah.
“Nak, Ibu sudah meminta lelaki baik ini untuk menjadi suamimu. Ibu tidak mau kamu sendirian, Ibu sudah tidak kuat, Ca!”
“Ibu, Ibu gak boleh ngomong gitu. Ibu kuat! Ibu pasti akan se ....”
Ttiitttttt!
Wanita paruh baya itu telah tiada dan tangis pun pecah dari putrinya.
.
“Maaf, saya tadi menyetujui amanah Ibunya Mbak. Kalau Mbak gak suka, batalkan saja.”
Gadis itu mendongak, “Pak Naveen?”
Netra sendu itu membulat ketika melihatku.
“Ratu Jahil?” ujarku keceplosan.
..
Akhirnya setelah pemakaman selesai. Aku dan Ica sepakat untuk melaksanakan pernikahan, setelah empat puluh hari sepeninggal Ibunya.
END
BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama