Cerpen tentang sekolah GURU KOLOT

Merah padam wajah Radit. Sampai kapan orang tua ini turut campur urusannya. "Aku ini bukan anaknya yang masih SMP, bisa diremehkan. Dianggap belum dewasa. Bisa dibentak-bentak. Ditunjuk-tunjuk mukanya?" Berontak Radit dalam hati.

"Kamu itu masih ingusan. Di bawah umur. Tidak ada pacaran. Kalau mau, kunikahkan sekalian. Mau?" Tanya Rakhmat pada anaknya. Guru sekolah dasar ini selalu begitu. Jika Radit salah, ia kontan marah.

"Yah, aku kan hanya pacaran. Penjajakan saja. Belum mau menikah." 

"Adab mana yang kamu pakai? Tidak ada turunanku seperti itu. Ayah dulu tidak pacaran sama ibumu. Baik-baik saja. Langgeng-langgeng saja. Buktinya, dua kakakmu lahir. Juga kamu."

"Itu dulu, Yah. Beda zaman."

POSTINGAN POPULER:

"Apa bedanya? Sekarang malah tambah rusak. Pacaran lima tahun. Setahun setelah menikah, bubar. Ribut lagi. Rebutan harta."

"Itu kasus."

"Maksudmu? Contohnya hanya satu? Banyak. Sangat banyak, tahu?"

"Yang langgeng lebih banyak, Yah."

"Kamu terlalu pintar sekarang. Pintar membantah orang tuamu. Sadarkah kamu dengan siapa kamu bicara? Apa kata orang, ayahnya guru, mendidik anaknya saja tidak bisa. Kamu mau coreng muka ayah di mana-mana?"

Radit diam. Tekanan suara ayahnya sudah berbeda. Kalimatnya pun sudah memberi isyarat bahwa putusan ayahnya tidak bisa digugat.

"Tidak ada pacaran. Tidak ada malam Minggu. Malam Minggu adalah saatnya kamu menyetrika pakaian. Kasihan ibumu. Kamu dibesarkan bukan untuk menjadikan ayah dan ibumu pembantu, bukan?"

Radit diam. Wajahnya masam. Kecut. Sangat tidak senang. 

"Kamu tidak akan besar seperti sekarang tanpa pengorbanan ibumu. Kamu tidak mau membalas kebaikannya?"

Radit menggeleng. Tentu saja ia menyayangi ibunya. Ibunya adalah pelindung dan pembela.

"Sudahlah, Bang. Aku bisa kok menyetrika pakaian itu. Biarlah kalau Radit mau keluar. Besok kan tidak sekolah." Rita Rusmala, istrinya, menyela. Dia tidak ingin suaminya bertambah marah dan anaknya semakin tersudut. Anak yang tersudut bisa lari dari rumah. Rita tak ingin itu terjadi. Dia amat menyayangi anak bungsunya.

"Yang begini ini yang membuat banyak anak manja. Selalu dibela. Tidak akan lahir anak mandiri kalau tidak diberi tanggungjawab. Pokoknya tidak ada pacaran! Hanya keburukan yang kamu petik. Tidak ada faedahnya."

Radit sudah semester tiga di perguruan tinggi negeri kota Samarinda. Menurut Radit, temannya saja yang masih SMA dibolehkan pacaran lalu mengapa dirinya yang sudah mahasiswa dilarang. "Dasar kolot. Guru kolot. Ayah kolot. Ketinggalan zaman." Gerutu Radit dalam hati.

"Apapun yang terjadi, aku tidak akan memutuskan hubunganku dengan Nisa Nurjanah." Janji Radit dalam hati. Sukar menaklukkan hati Nisa. Banyak saingan. Radit berhasil sebagai pemenang. Sekarang dilarang pacaran? Bah!

Menurut Radit, ayahnya hanya cocok lahir di zamannya. Tidak untuk era sekarang. Bagaimana mungkin bisa mendapat pasangan yang ideal kalau tidak mengetahui latar belakang pasangan.

Bukankah bobot, bebet dan bibit pasangan itu harus dipertimbangkan. Bagaimanakah bisa mempertimbangkan kalau tidak mengenal calonnya? Pacaran, batin Radit, adalah cara untuk mengenal calon istri di kemudian hari. "Apa ayah mau punya menantu, cantik di rupa, buruk di kelakuan?"

"Kuno. Ketinggalan zaman. Selera kampung. Bisanya hanya marah." Kata Radit bersungut-sungut oleh kebiasaan ayahnya. Sejak dulu. Tidak juga berubah. Ia pun lari dari rumahnya. Ia tidak peduli panggilan ayahnya. Ia pergi ke tepian Mahakam. Duduk termenung. Menjelang senja, barulah dia pulang.

***

Masih lekat dalam ingatan Radit akan kemarahan ayahnya gara-gara mandi di sungai dia terlambat pulang. Hingga azan berkumandang di mushola, ia belum juga tiba di rumahnya.

"Tahu kamu, hanya iblis, syetan dan hantu yang bergentayangan saat orang azan."

Radit tidak berani memandang ayahnya meskipun dia tidak merasa bersalah. Apa salahnya mandi di sungai. Dia bisa berenang. Tidak akan hanyut. Ini hari libur. 

"Libur sekolah. Libur menyapu pekarangan. Libur mengisi bak mandi dengan air sumur. Libur mengangkat jemuran.  Libur itu tidak setiap hari. Hanya hari Minggu atau tanggal merah. Semuanya bisa kukerjakan besok sepulang sekolah." Kata Radit menggerutu. Bergemuruh rongga dadanya.

"Hari libur adalah kesempatanmu membantu orang tua. Bak mandi kosong. Pekarangan seperti tempat sampah. Kamu lihat itu! Daun ketapang, botol plastik, kresek, muntah kucing. Kamu taruh di mana matamu?"

"Ya, Yah."

"Jangan bilang ya ya tapi tidak kamu kerjakan. Mengapa mesti ibumu yang harus mengangkat jemuran. Dia sudah mencucinya jangan pula dia yang harus mengangkatnya. Gara-gara kamu, basah semua pakaian."

"Salah saya, Bang. Biar nanti malam saya setrika. Besok bisa digunakan untuk Radit sekolah."

"Kamu jangan bela anakmu. Anak model begini harus diajari bagaimana hidup. Kita tidak punya pembantu. Kamu tidak kasihan ibumu?"

"Maafkan Radit, Yah."

"Jangan masuk rumah. Tidur di luar saja. Di situ!" Rakhmad menunjuk bangku di teras rumahnya. Sebagai ayah, bukan kali ini saja dia marah pada Radit. Sering. Sampai-sampai batin Radit kadang berbisik, pada dirinya sendiri, mungkin ayahnya demam bila tidak marah dalam seminggu. 

Akankah ini pelampiasan karena di sekolah, ayahnya dikenal penyayang dengan murid. Murah senyum. Tidak pernah marah. Kalau ada yang janggal, dia sabar untuk menegur murid dengan kata-kata ajakan. Bukan kata-kata larangan.

POSTINGAN POPULER:

"Mengapa berbeda ya? Seperti itukah guru? Pandai bersandiwara? Beda watak di sekolah dengan di rumah?" Tanya Radit dalam hati.

Malam itu, Radit menyesali diri. Ibunya tak berani membela. Dia takut suaminya bertambah marah. Sedih hatinya melihat Radit menggigil di teras rumah karena hujan turun. Dia pun menangis. Menghiba pada suaminya agar Radit boleh masuk ke rumah.

"Kasihan dia, Bang. Takut dia sakit. Kita juga yang susah." Kata istrinya dengan berurai air mata.

"Kau uruslah dia. Ajari dia agar disiplin. Mana ada anak-anak kampung ini yang berhasil. Sekolah saja tidak ada yang tamat SMA."

Rita segera mendapatkan anaknya. Ia pun menangis lagi saat dilihatnya Radit juga berurai air mata.

Rakhmad memang terlalu keras mendidik anak. Anak pertama dan kedua tidak di rumah. Mereka mondok di sebuah pesantren jauh dari kota. Sejak lulus SD. Kini, yang sulung sudah kuliah di jurusan desain interior semester 5 sedang yang kedua, baru semester 1 sekolah tinggi farmasi. Itulah sebabnya, hanya ada Radit di rumah. Akibatnya, dia menjadi tumpuan ayah dan ibunya.

***

Sepuluh tahun berlalu. Kedua kakak Radit sudah tinggal di kota bersama istri dan anak-anaknya. Radit sendiri sudah beroleh seorang anak dari pernikahannya dengan Nisa Nurjannah.

Sebenarnya, jika saja Radit mau, dia pun bisa pindah ke kota tapi tidak dilakukannya. Tak tega dia meninggalkan ayah dan ibunya yang sudah udzur. Istrinya juga mendukung.

Bagi Nisa Nurjannah, mertuanya sudah dianggap sebagai ayah dan ibu sendiri. Kedua orang tuanya telah meninggal setahun setelah pernikahannya dengan Radit.

Ayah dan Ibu mertuanya-lah yang menguatkan hatinya, menghibur dan menemaninya selama menjalani masa-masa berkabung. Ia merasa sangat beruntung mempunyai mertua yang penyayang. Lebih-lebih kepada putera tunggalnya.

Rakhmad berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tak pernah marah. Jangankan marah, berkata dengan nada tinggi saja tak pernah dilakukannya, baik pada Radit, menantunya apalagi pada istrinya.

Perubahan itu terjadi seiring dengan usianya yang mulai senja. Ia juga positif mengidap diabetes. Selain itu, kehadiran cucu membuat Rakhmad banyak berubah. Ia menjadi pribadi penyayang.

Jika Radit memarahi anaknya, Rakhmad segera datang menjemput cucunya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil bernyanyi.

Naik - naik, ke puncak gunung

tinggi - tinggi sekali

Naik - naik, ke puncak gunung

tinggi - tinggi sekali

Kiri - kanan kulihat saja

banyak pohon cemara

Kiri - kanan kulihat saja

banyak pohon cemara

Bimo, nama cucunya, tertawa-tawa. Senang sekali dia berada di pundak kakeknya. Radit tak bisa menahan haru melihat ayahnya yang jauh berubah. Itu juga yang menyebabkan ia merasa tenang, bahagia, betah dan menuruti kehendak ayah ibunya agar tinggal bersama. 

Rumah yang mereka tempati bukan yang dulu. Rumah itu sudah berubah. Rumah bercat putih dikelilingi taman dan pepohonan itu selalu terasa sejuk. Sejuk di luar dan adem di dalam. Rakhmad yang selalu menyapu pekarangan selepas subuh dan setelah ashar. Dia juga yang menata taman dengan aneka bunga, palm, serut, tarambusa, dan aneka tanaman hias lainnya.

Radit sebenarnya ingin agar ayahnya diam di rumah saja atau bepergian ke mana dia suka. Urusan pekarangan dan taman biarlah dikerjakan oleh orang upahan.

"Ini saja olahraga ayah agar tetap berkeringat. Ayah selalu merasa sehat. Jika kamu larang ayahmu bekerja, itu artinya kamu lebih senang melihat ayah sakit." Kata ayahnya sambil tersenyum.

***

Lelaki itu kini terbaring lemah di ranjangnya. Diabetes telah diidapnya dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Sudah bolak-balik Radit mengajak ayahnya berobat. Kadar gula itu tetap saja turun naik.. 

Pada pemeriksaan terakhir dua hari lalu, dokter memvonis ayahnya harus cuci darah. Seminggu dua kali. Setiap Selasa dan Jumat. Meski begitu, tak ada keluh dari mulut ayahnya. Dia menerima penyakit itu dengan tulus.

"Allah yang menurunkannya padaku. Tak perlu kalian repot. Aku sudah tidak sanggup lagi opname di rumah sakit. Biarlah kuminun obat yang diberikan dokter. Semoga saja bisa membuat aku sehat." Kata ayahnya.

Menurut dokter, ayahnya harus menjalani rawat inap agar lebih fokus dan banyak istirahat tapi Rakhmad menolak. 

Sampai berlinang air mata Radit membujuk ayahnya sore kemarin saat dilihatnya lelaki yang dulu sering menegur dan marah padanya  itu semakin tak berdaya dan hilang keseimbangan. Kadang ingat, kadang lupa.

Radit ingat masa kecilnya yang sering dimarahi oleh ayahnya karena berbagai persoalan. Orang lain setiap tanggal kelahiran makan-makan dan diberi hadiah, Radit malah disuruh menggali parit di samping rumah karena buntu sehingga air tidak mengalir.

Di saat orang lain asyik menonton televisi, Radit diperintah untuk menemani ayahnya merumput di belakang rumah agar jagung dan terong baik tumbuhnya.

Jika anak-anak seusia SMP dan SMA tidur lelap dan baru bangun saat matahari akan terbit, Radit justru menerima percikan air ke mukanya agar tidak ketinggalan  subuh.

"Sungguh, semua itu adalah pembelajaran luar biasa. Aku sadar, itu bukan hukuman. Itu pendidikan yang sesungguhnya. Ya Allah, kasihanilah ayahku. Sembuhkan dia." Bisik Radit dalam hatinya. Jatuh air matanya mengingat jasa ayahnya yang luar biasa.

Didikan itulah yang telah ia petik hasilnya. Ia menjadi pengusaha sukses dengan puluhan karyawan dan hidup berkecukupan.

Istri dan ibunya menyabar-nyabarkan Radit yang sangat terpukul oleh derita ayahnya.

"Maafkan aku, Yah." Kata Radit seraya mencium kening ayahnya. Lelaki tua itu membuka mata. diraihnya bahu anak kesayangan dan dengan suara nyaris tak terdengar dia berkata, "Jangan marahi anakmu, Nak. Cukup ayah yang sering marah padamu. Ayah minta maaf."

"Jaga ibumu. Haramkan tanganmu menyakiti istrimu. Ayah biasa marah tapi ayah tak pernah memukul ibumu."

Rita menggenggam tangan suaminya. Ia pun turut menangis. Nisa Nurjannah tak berhenti menyekan air matanya yang terus mengalir. Ayah mertua sangat menyayanginya sebagaimana juga almarhum ayahnya.

Radit berlutut di depan kedua kaki kaki ayahnya. "Ayah akan sembuh. Ayah harus yakin. Allah yang menentukan segalanya tapi kita harus berikhtiar dan berdoa. Marilah kita berdoa." Radit pun memimpin doa. Dia hafal doa selamat yang diajarkan guru sekaligus ayahnya.

Malam itu, Radit tidur seranjang dengan ayahnya. Ibunya tidur di bawah dengan Nisa Nurjannah, istrinya. Tengah malam barulah Adit bisa terlelap. Saat azan berkumandang, ia segera bangkit mengambil air wudhu.

"Sudah masuk subuh ya?" Tanya ayahnya.

"Ya, ayah." 

Guru SD yang dua tahun lagi purna bakti  itu bertayamum. Dia sholat dalam posisi berbaring.

Usai sholat, istri dan ibunya sibuk di dapur. Radit mencoba untuk memijat pelan-pelan kaki ayahnya dengan harapan bisa meringankan sakit.

Radit terkejut. Kedua betis ayahnya dingin. Radit menyeru sambil mencari denyut aliran darah di nadi ayahnya. 

"Ayah." Tangis Radit meledak. Selepas subuh, lelaki yang kuat pendirian, dianggap kolot, ketinggalan zaman, telah berakhir hidupnya di dunia.

Bimo terbangun. Ia tak tahu, mengapa nenek, ayah dan ibunya menangis. Cucu tersayang yang sudah kelas nol besar ini pun menangis dan lari ke arah ranjang kakeknya untuk mengadu. 

"Kek, kenapa semua menangis?" Adu Bimo. Kakeknya tak menjawab. Bimo menggoyang-goyang tubuh kakeknya. Tak juga kakeknya bereaksi apalagi menggendongnya seperti biasa.  Bimo tidak tahu mengapa kakeknya tidak menerima pengaduan lagi. Bimo pun lebih menyaringkan suara tangisnya.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama