Dikira Miskin Karena Tidak Punya Kulkas

"Dik, aku baru saja dapat kabar kalau ibu sakit dan ibu meminta agar kita mau tinggal bersamanya, mau kan?" Kata Mas Yudi  usai sarapan.
"Kenapa harus kita, kan, ada Mbak Ranti dan juga Mbak Wiwid?" Tanyaku mengerutkan dahi.
"Ibu maunya aku yang mengurusnya karena aku anak lelaki satu-satunya, mau, ya tinggal di kampung ibu? Soalnya rumah itu milikku, milik kamu juga," Mas Yudi mengusap bahuku.
"Iya, Mas, aku manut saja, kemana pun kamu pergi, aku ikut," ucapku yang membuat Mas Yudi tersenyum lega.
"Terima kasih, ya, Dek, kamu memang istri yang baik,"
"Tapi, bagaimana dengan restoran kita kalau kita tinggal di kampung, nggak mungkin kita akan bolak-balik ke sini, secara dari kampung ke sini, kan lumayan jauh," ucapku.
"Kalau masalah itu nggak usah khawatir, ada Alvin yang akan menghandle semuanya, mungkin aku akan ke sini berapa hari sekali," jawab Mas Yudi.
Jadilah sesuai kesepakatan, kami pindah ke kampung halaman Mas Yudi, sebuah kampung yang terletak di pegunungan.


Sumber Gambar

"Beli ikan sama nuget ayam ya, Pak!" Kataku pada tukang sayur yang tengah berhenti di depan rumah.
"Baik, Bu," jawabnya seraya memasukkan barang yang kubeli.
"Maaf, Pak, apa boleh kalau saya beli nagetnya setengah saja, soalnya kalau semuanya kebanyakan, yang suka cuma anak saya," pintaku pada tukang sayur itu.
"Maaf, Bu, nggak bisa, nanti yang setengahnya nggak laku. Kalau memang nggak habis kan nanti bisa disimpan di dalam freezer biar bisa buat besok," kata sang tukang sayur menolak.
"Masalahnya Bu Antika ini tidak punya kulkas, jadi, tidak bisa nyetok makanan," ujar seseibu sinis.
"Kalau di rumah nggak punya kulkas, kan bisa nitip ke tempat Bu Wiwid, dia kan Kakaknya," timpal salah seorang ibu yang memakai baju berwarna merah.
"Eh, ya nggak bisa gitu, enak saja nitip-nitip segala, emang rumah saya ini tempat penitipan barang apa?" jawab Mbak Wiwid, kakak iparku.
"Nggak usah, saya nggak akan nitip kok," ujarku tersenyum.
"Makanya besok beli sendiri, Mbak, percuma merantau lama di kota pulang nggak bawa apa-apa," timpal yang lain.
Ya Allah, hanya gara-gara aku tidak punya kulkas , mereka lantas mengira kalau aku belum sukses di kota.

POSTINGAN POPULER:
Entah kenapa Mas Yudi tidak pernah menceritakan pada Kakak-kakaknya kalau kini kami punya restoran yang sudah maju pesat, bahkan sudah membuka cabang di beberapa tempat.
Seminggu yang lalu kami memang hanya membawa perabotan yang sedikit saat datang,  kulkas sengaja kami tinggal karena kami fikir tinggal di pegunungan tidak terlalu butuh lemari pendingin. Mau makan sayur tinggal petik, lauk setiap hari ada yang jual, lagi pula, bahan makanan tetap enak kalau fresh alias langsung di masak bukan yang disimpan dalam kulkas. Menurutku, kulkas hanya diperuntukkan bagi orang yang biasa belanja bulanan atau mingguan jadi bisa buat nyetok makanan. Lagipula cuaca dingin membuat tidak enak kalau minum air dingin, enaknya minuman hangat. Aku juga kemarin melihat kulkas milik Mbak Wiwid yang kosong melompong tidak ada isinya, hanya ada tiga butir telur dan dua buah sosis.
"Makanya besok beli kulkas, biar bisa menyimpan makanan beku kaya gini?" Mbak Wiwid menunjuk naget yang akhirnya kubeli semua.
"Iya, Mbak,"
"Besok, suruh Yudi cari kerja biar nggak melamun aja di rumah," kata Mbak Wiwid usai belanja di tukang sayur dan kami beriringan pulang. Rumahnya hanya selisih tiga rumah dari rumah ibu mertua.
"Iya, Mbak," jawabku tersenyum.
Saudara Mas Yudi tidak pernah tahu kalau sebenarnya kami sudah sukses di kota. Sejak dulu mereka memang selalu menghina kami karena hanya mas Yudi yang tidak bekerja menjadi pegawai. Ya, Mbak Wiwid punya suami yang bekerja sebagai pegawai administrasi di kantor kecamatan, sedangkan suami Mbak Ranti bekerja sebagai guru negeri di sebuah Sekolah Menengah Pertama.
Dua bulan setelah menikah, kami memutuskan untuk merantau di kota karena di sini kami selalu di hina dan disudutkan karena Mas Yudi tidak bekerja dengan seragam rapi seperti mereka. Kami hanya pulang saat lebaran, itu pun tidak pernah lama karena restoran yang kami rintis berkembang pesat.
Air mata ini kembali menetes jika teringat perlakuan buruk saudara Mas Yudi dahulu. Mereka selalu membanggakan para suami mereka yang bekerja dengan pakaian rapi, tidak seperti Mas Yudi yang harus bekerja menjadi tukang bakso keliling. Namun, alhamdulillah setelah bertahun-tahun, kini roda kehidupan sudah berputar, kami sudah sukses, meski tidak menjadi pegawai negeri.
_____________
Telingaku mendengar suara ribut-ribut  di luar, sepertinya dari rumah Mbak Wiwid. Suara itu semakin keras sehingga memaksa aku untuk keluar melihat apa yang sedang terjadi.
"Ada apa ini, Mbak?" Sebuah pertanyaan kulontarkan saat sudah sampai di depan rumah Mbak Wiwid.
"Mereka ini rentenir yang mau menagih hutang," jawab Mbak Wiwid menunduk.
"Memangnya Mbak Wiwid punya hutang buat apa? Bukankah gaji Mas Ajun sangat besar?" Tanyaku lagi.
"Aku punya hutang untuk membeli kulkas dan mesin cuci, Tik, tolong pinjami aku uang untuk membayar hutang pada rentenir itu, kalau tidak, kulkas, mesin cuci serta barang berharga yang lain akan disita oleh rentenir itu," ucap Mbak Wiwid dengan bibir bergetar.
"Nggak salah Mbak Wiwid minta pinjaman ke aku, bukankan Mbak selalu bilang kalau aku ini hanya ibu rumah tangga biasa yang punya suami pengangguran? Yang bahkan untuk makan saja susah," kataku merendah. Mas Yudi selalu bilang untuk tidak menceritakan pada siapapun tentang kesuksesan kami di kota termasuk pada kakak-kakaknya sendiri.
"Ayolah,  Tik, bantu Mbak, siapa tahu kamu punya simpanan." Mbak Wiwid yang biasanya ketus saat berbicara denganku mendadak lembut kali ini.
"Memangnya hutang Mbak berapa?"
Apa aku harus membantunya sekarang? Sedangkan selama ini dia selalu merendahkan aku dan juga suamiku.
BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama