Menolak Bucin, Cerpen alay

“Bunda Lala, kenapa Nabi Iblahim tidak telbakal? Kan, api itu panas.” Farel, si Bocah Cadel, bertanya sambil memainkan bros bunga mawar di jilbabku. 

Bocah ini, usianya baru tiga tahun. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Mengingatkanku pada adikku. Kelahirannya ditebus nyawa ibu kami.

“Karena Allah yang menyuruh apinya jadi dingin, dan menyelamatkan Nabi Ibrahim.” Kubetulkan posisi Farel di pangkuanku. 

Sejak awal aku keberatan menerima Farel di sini. Tempat ini dibuat untuk anak-anak yang kurang mampu. Farel jelas berbeda. Aku takut terjadi kesenjangan sosial dengan anak-anak lainnya. Namun, melihat matanya berbinar begitu melihat benda-benda unik terpajang di sana sini dan anak-anak yang tertawa ceria, aku bisa apa? Jelas-jelas spanduk di depan tertulis “Setiap Anak Berhak Bahagia”. 

“Wah, Allah hebat, ya. Bisa  bikin api jadi dingin.” Mata beningnya membulat lucu, takjub. 

Aku menyukai segala hal dari anak ini. Ceriwis, cerdas dan dermawan. Satu-satunya yang tak kusuka darinya adalah orang yang selalu menemaninya ke tempat ini.

“Farel nggak nakal, kan?” tanya pria itu saat datang menjemput. Sejak bertemu secara tak sengaja di sebuah kafe, tiba-tiba saja dia muncul dan membawa Farel ke tempat ini. Katanya bocah itu ingin ikut belajar, baik untuk perkembangan jiwa sosialnya. Modus banget.

“Nggak kok, iya kan Bunda?” tanya Farel meminta dukungan. Aku mengangguk dan tersenyum.

“Pintar.” Lelaki itu mengusap kepala Farel dan berjongkok, menyejajarkan kepala mereka. “Farel lapar? Makan dulu yuk. Ajak Bunda Lala sekalian.” Kalimat terakhir diucapkan sambil berbisik.

“Enggak, Falel tadi udah makan cake buatan Bunda. Enak banget.” Aku menyembunyikan senyumanku melihat wajah kecewa pria itu. Gagal lagi.

“Seneng, ya, Farel dapat cake-nya Bunda. Kapan nih Uncle dikasih juga?” Ih, sebal melihatnya mesem-mesem sambil mengerling ke arahku.

“Enggak boleh. Itu buat anak-anak. Uncle sudah tua.” Senangnya punya sekutu. I love you full, Farel.

Dengan wajah cemberut pria itu menggendong Farel hingga masuk ke mobil. “Dadah Bunda, eh assalamualaikum.” Bocah itu berteriak dari balik bahu Uncle-nya.

Kujawab salamnya sambil melambai. 

“Ehem.” Hasan, adikku, berdehem dengan muka masam. 

“Kenapa sudah pulang?” Ini masih jam sepuluh pagi. Seharusnya dia masih di sekolah. 

“Ada rapat guru-guru,” jawabnya. “Apa orang itu mengganggu Kakak?” Jiwa selidiknya bekerja.  

“Namanya Romi.” Aku baru tahu namanya hari ini. 

“Ck, apa aku ketinggalan berita? Sejauh mana hubungan kalian?” Penyelidikan belum selesai rupanya.

“Tidak ada hubungan apa-apa. Dia hanya mengantar jemput Farel,” jawabku.

“Baguslah. Ingat, jangan pernah memberinya harapan!” tegasnya. “Aku belum sempat menyelidikinya.”

Begitulah, adikku yang posesif. Sejak pernikahanku batal tujuh tahun yang lalu, Hasan bertekad melindungiku dari laki-laki, terutama yang berlabel buaya. Padahal, waktu itu usianya baru sebelas tahun.

“Apa kasusnya akan sama dengan Tante Dewi?” Aku memutar tubuh dan berjalan menuju ke rumah.  

“Nggaklah,” katanya sambil menyejajari langkahku.

Tante Dewi adalah seseorang yang selama empat bulan terakhir pernah tinggal dengan kami. Hasan menemukannya tergeletak di teras belajar, tanpa identitas. Dia akhirnya tinggal dan menjadi figur ibu di rumah kami. Hasan merasa tidak perlu mencari tahu tentangnya, biarkan saja tinggal selama yang dia mau.

“Kamu ingat, kan malam ini Dinda mengundang kita?” Dinda murid setiaku, aku mengajar privat untuk mata pelajaran sains.

“lya. Memangnya dia mengundang kita ke mana?” Aku mengangkat bahu.

*** 

Ternyata Dinda membawa kami ke rumah pamannya. Rumah yang sangat besar dan mewah. 

“Laura, Hasan.” Terdengar seseorang memanggil, sepertinya kenal. 

“Tante Dewi?” Aku berlari memeluknya, ternyata d benar-benar berarti bagi kami. Seminggu berpisah membuatku rindu.

Siapa yang mengira rumah mewah ini milik Tante Dewi? Aku ingin marah karena dibohongi. Tapi ya sudahlah, dia punya alasannya sendiri. 

“Bunda Lala.” Kejutan kedua. Farel berlari memeluk pahaku. 

“Cucu Tante,” kata Tante Dewi.  Ya ampun, ternyata selama ini mereka sangat dekat. 

Dua orang pria datang. Wajah mereka mirip, tapi satu tampak jauh lebih tua. Sekarang aku tahu mengapa Farel sangat tampan.

“Selamat datang, Bu Laura.” Lelaki yang lebih tua menyapaku. Kurasa Tente Dewi sudah berbicara banyak, terbukti dari kedua tangannya yang mengatup di depan dada. “Terima kasih sudah menerima dan merawat istri saya,” sambungnya.

“Sama-sama, Tuan.” Aku tersenyum, lelaki ini cukup ramah. Sedikit berbeda dengan lelaki satunya yang cuma diam tetapi sesekali melirik. 

“Ris?” tanya Tante Dewi ketika lelaki itu tak kunjung menyapaku. 

“Terima kasih sudah mengajari anak saya.” Kembali dia memalingkan muka, marah?

“Sama-sama, Tuan Faris.” 

Ya, tentu saja aku mengenalnya. Dia pemilik kampus tempatku mengajar. Kurasa dia tak menyangka Bunda Lala yang dimaksud oleh putranya adalah aku, Laura Hanifah Rasyid.

Kami akhirnya menginap. Tante Dewi sudah menyiapkan semua, baju ganti hingga baju untuk acara besok pagi.

*** 

BACA JUGA : 

Ternyata ini bukan acara biasa. Pengusaha dan sosialita berkumpul di sini. Aku kenal beberapa orang, seperti rektor  dan beberapa pengusaha muda mantan mahasiswaku. 

Aku masih belum mengerti mengapa  terlibat di tempat ini. Sampai ....

“Lala.” Siapa lagi yang memanggilku dengan nama itu kalau bukan Uncle Romi? Orang ini aneh. Dia terang-terangan menunjukkan ketertarikan padaku tapi tidak tahu nama asliku. Dia benar-benar jadi korban si Cadel Farel.

“Aku tidak tahu Tante Dewi tinggal di rumahmu.” Dia tersenyum lebar.

 “Tidak ada yang bertanya,” kataku sambil mengangkat bahu. 

“Benar juga. Eeem ....” Dia diam sejenak dan menatapku, “Kamu cantik.” Berani sekali. 

 “Terima kasih.” Aku harus merespon, kan? 

“Kebetulan sekali, ayo, kukenalkan pada seseorang!” Dia hampir menarik tanganku sebelum, “Maaf, aku lupa. Bukan mahram,” katanya canggung. 

Aku bingung dengan orang-orang seperti ini. Kalau mereka paham soal mahram, mengapa asal sentuh? Apakah syariat hanya untuk yang menutup aurat? Tuhan tak sepilih kasih itu, Ferguso.

“Kau, apa yang kau lakukan di sini?” Suara wanita mengejutkanku. Belum sempat kumenyahut ketika Romi menjawab.

“Rika, Mama. Biar kukenalkan kalian. Ini Lala. Lala,  ini Mama dan adikku.” 

Kuulurkan tangan, tapi Rika menepisnya.

“Lala? Cih, kau bahkan memalsukan namamu,” korban lain si Cadel. 

“Menjijikkan, tidak tahu malu. Setelah merebut menantuku, kau mendekati anakku.” Ibunya menimpali. Ah, si Burhan, mantan suami Rika yang ganjen meski kutolak itu ternyata memang biang masalah. 

“Dasar pelakor!” Mulut Rika benar-benar pedas, seperti biasa. Itu tuduhan yang kejam. Ingin rasanya kusumpal mulutnya. Tidak apa-apa kan sesekali memberinya pelajaran?

“Beraninya kau mengatainya seperti itu. Kamu pikir siapa dirimu?” Tante Dewi murka. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja dia sudah masuk ke arena pertempuran. 

“Tante, dia tidak sebaik yang Tante kira.” Rika membela diri.

“Tutup mulutmu! Aku lebih mengenalnya dari siapa pun.”

Hasan akan protes bagian ini. Di mana anak itu? Ck, bisa-bisanya dia duduk manis dan mengangkat dua jempolnya ke arahku, apa maksudnya? Akan kujewer nanti.

“Dan kau, Romi!” Tante Dewi menunjuk Romi yang tak berdaya, “Bawa kedua orang ini pergi dari sini. Berani sekali mengacau dan memfitnah calon menantuku.” 

“Apa?!” 

Terkejut, Romi? Percayalah, aku juga.

Jadi ini alasan aku di sini. Bisa-bisanya Tante Dewi memutuskan sesuatu tanpa meminta ijinku. Kuharap ini hanya upaya Tante Dewi menyelamatkan mukaku. Ternyata tidak. Pesta usai menyisakan perdebatan ibu dan anak.

“Ma, Mama nggak bisa seenaknya. Nikah bukan untuk main-main,” protes Faris, papanya Farel. Mereka berdebat di depanku, seolah aku hanya patung.

“Siapa yang menyuruhmu main-main? Mama serius, tidak ada yang pantas buat kamu dan Farel selain Laura.” Bolehkah aku berbesar kepala? Duda tajir, tampan dan, ya, memesona. Eits, aku hampir lupa. Aku kan tak mudah tergoda.

“Tapi Laura punya Romi, Ma.”  

Enak saja. Sejak kapan aku jadi milik seseorang? Ini Laura, gadis yang tak mudah luluh dengan rayuan receh. 

Ingin rasanya kujelaskan bahwa aku dan Romi tidak memiliki hubungan apa-apa. 

“Mama pikir untuk apa Romi selalu mengantar Farel ke Rumah Belajar Harapan Bunda?” Poor Romi. 

“Bukan urusan Mama. Siapa suruh dia PDKT pakai anak orang.” Aku ingin tertawa tapi takut merusak suasana.

“Mama nggak waras.” 

Satu. Faris mengatai ibunya.

“Kamu yang nggak waras. Bisa-bisanya menolak orang sebaik Laura, orang yang dekat dengan putramu.” 

Menolak. Benar, dia orang pertama yang menolakku.  Ternyata seperti ini rasanya.

“Bukan begitu, Ma.” Faris melirikku, entah memikirkan apa.

“Lalu apa? Kamu mau punya istri model Bianca yang kerjanya foya-foya? Atau Arin yang tidak tahu cara berpakaian, atau Nina yang bisanya cuma dandan?” 

Dua. Faris playboy. Aku tidak sadar menutup mulut, shock. 

Cukup. Dua alasan sudah cukup untuk tidak terlibat dengan pria sepertinya. Penolakannya tidak masuk hitungan. Itu membuatku tampak hina di depanya, seorang duda playboy. 

Aku harus menyudahi perdebatan bodoh ini. Apalagi melihat Hasan yang dari tadi menahan diri untuk tidak menonjok orang. Kalau dia sampai kelepasan, bisa bonyok lelaki kurang akhlak itu. Sabuk hitam tidak akan melingkar di pinggangnya tanpa alasan.

“Cukup Tante, tolong hentikan perdebatan kalian! Aku tidak akan menikah dengan siapa-siapa.” Lagipula, bagaimana bisa kubiarkan hidupku ditentukan orang lain? Bahkan oleh Tante Dewi, sosok yang kuperlakukan seperti ibu kandung.  

Aku  berbalik menghadap putranya. 

“Tuan Faris, jangan khawatir. Aku tidak akan memenuhi permintaan Tante Dewi. Bagiku menikah harus membahagiakan kedua pihak. Aku belum terlalu bodoh untuk membuang waktuku dengan lelaki yang tidak menginginkanku.” Kulihat rahangnya mengeras, marahkah? Masa bodoh!

“Dan mengenai Farel, demi kebaikannya, jangan biarkan dia menemuiku, atau semuanya akan menjadi rumit.” Aku menyayangi anak itu, tapi aku juga harus melindungi hatiku, kan? 

“Terima kasih atas jamuannya, assalamualaikum.” Aku melangkah ke luar, tak peduli dengan wajah memelas Tante Dewi.

Kami berpapasan dengan Romi yang baru turun dari mobil. “Laura, beri aku waktu. Akan kubuat kau diterima keluargaku.” Tak peduli, kulewati saja dia. 

Tak menyerah, Romi menghadang jalan. Dia berniat menarik lenganku ketika Hasan tiba-tiba mencengkeram kuat kerah jasnya.

“Jangan coba-coba. Tidak akan kubiarkan kakakku direndahkan oleh keluargamu.” Satu hempasan kuat membuat tubuh Romi terhuyung ke belakang. Akhirnya dia menemukan pelampiasan.

Segera kutarik tangannya, jangan sampai tinjunya melayang. Usianya baru delapan belas tahun, belum cukup kuat mengontrol emosi. Meski kuakui kemampuan fisiknya sangat berguna menjadi pelindung.

Aku Laura, aku sudah hidup menderita sejak kehilangan ayahku. Saat mengetahui calon suamiku ternyata sudah beristri, aku rela menerima segala sumpah serapah keluarga besar karena membatalkan akad nikah yang sudah di depan mata. Apa bagusnya pernikahan yang dihantui rasa tak nyaman?

Aku ingin pernikahan yang bahagia. Bukan sebagai orang ketiga, bukan sebagai istri yang tak diinginkan, pun bukan sebagai menantu yang ditolak. Lalu salahkah jika hari ini aku sedikit egois?

Tamat. 

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama