cerpen dan novel terbaru Foto Suami di Status Wa Sahabatku

#cerbung

Calon imam di dunia dan akhirat. Begitulah kira-kira status wa Dira sahabat dekatku. Aku tidak masalah dengan kata-kata itu, tetapi yang aku permasalahkan adalah, mengapa harus foto suamiku?

Ia sengaja mengaktifkan mode private status agar aku tidak bisa melihatnya, tetapi sekarang aku melihatnya lewat ponsel suamiku.

Aku tidak menyangka bahwa selama ini suamiku bermain gila bersama sahabatku sendiri, pantas saja Dira sangat sering ke rumahku, ternyata ini penyebabnya.

Aku meremas tanganku kuat-kuat, lalu kuletakkan ponsel itu pada tempatnya kembali. Perasaanku mulai campur aduk, aku benci pada Dira, di depanku ia bersikap seolah-olah sangat baik dan suci, tetapi nyatanya ia tidak ada bedanya dengan sampah.

Nanti malam, aku dan mas Firdaus ingin merayakan anniversary pernikahan kami yang ke 4 tahun, ya, aku menikah muda. Bahkan sekarang usiaku baru menginjak 24 tahun. Di dalam pernikahan kami belum dikarunia seorang anakpun, namun itu bukan keinginanku melainkan keinginan suami, setiap berhubungan ia selalu menggunakan pengaman dan saat aku menanyakan alasannya ia hanya menjawab bahwa, "Aku belum siap dek."

BACA JUGA : 

Benar-benar sahabat laknat. Manis di depan busuk di belakang.

Aku mengambil ponselku dan menghubungi semua kerabat, sahabat, dan keluarga Dira agar mereka datang nanti malam, aku ingin membongkar kebusukan sahabatku. 

Ia sudah terlalu lama bermain dengan suamiku, aku bisa menebak hal tersebut karena tanggal hubungannya ia posting pada bio waNya. 

"Astaghfirullah!" Aku mencoba beristigfar, tidak boleh berlarut-larut dalam kemarahan.

"Dek, lagi apa?" tanya mas Firdaus yang baru saja masuk ke dalam kamar kami.

"Menyiapkan kejutan untukmu mas," kataku tanpa berniat menatap matanya.

Bahkan, aku juga mengundang seluruh keluarga suami agar mereka tahu bahwa menantu kesayangan mereka telah dikhianati.

Apa lebihnya Dira? Ia dulu hanyalah wanita malam yang tidak sedikitpun mengenal agama dan tuhan. 

Namun, semua kembali lagi pada sebuah pepatah bahwa lalat lebih menyukai sampah dari pada bunga. 

"Ah, tidak perlu bersusah payah dik, dirimu saja sudah cukup menjadi kado terindah untukku," jawab mas Firdaus sambil menyentuh tanganku. Namun, tanpa sadar aku menepisnya secara kasar membuat mas Firdaus terkejut.

Entahlah, sekarang aku merasa jijik padanya. Aku benar-benar sakit hati akan apa yang ia lakukan padaku. Tidak akan sesakit ini jika ia selingkuh dengan orang lain yang tidak aku kenal, tetapi Dira Sahabatku. Entah bagaimana mana bisa aku bersahabat dengan wanita seperti itu.

"Tidak mas, kado kali ini lebih dari terindah. Bahkan sangat indah, aku yakin bahwa kau tidak akan melupakannya," kataku membuat ia tersenyum menggoda.

Tangan kekarnya mulai meraba wajahku namun, aku menepisnya dan mengatakan bahwa aku sedang datang bulan.

"Ternyata selama ini aku hanya dijadikan pemuasannya di atas ranjang saja, tidak lebih," batinku lirih.

Mas Firdaus menghelat napas kesal. Selalu saja begitu jika aku menolaknya dengan alasan datang bulan, tetapi ini memang benar adanya dan lagi pula ini masih sore.

"Yasudah mas istirahat dulu," katanya lagi dan langsung aku balas anggukan.

Setalah ia menjauh dariku, akhirnya aku bisa kembali melanjutkan tugasku tanpa diganggu olehnya. 

Bahkan aku juga mengundang hampir semua teman seangkatanku agar mareka ikut datang.

Setelah merasa tugasku beres. Aku langsung bergegas menghubungi Dira.

"Hay Amel," sapa Dira di sebrang sana, suaranya terdengar gembira.

"Kau begitu gembira!" sindiranku membuat Dira tertawa.

"Biasalah, baru ketemu sama pacar," jawaban Dira sukses membuat hatiku sesak dan perih. 

"Ha ha, punya pacar tapi nggak dikawinin?" tanyaku lagi sambil tertawa paksa.

"He he, akan segera. Kalau aku nikah, kamu adalah orang pertama yang aku undang," katanya lagi dengan nada serius.

"Aku tunggu," balasku.

"Eh, kamu ngapain nelpon aku?" tanya Dira terdengar bingung.

"Nanti malam acara anniversary aku, kamu jangan lupa datang, ya! Dandan yang cantik biar nanti malam menjadi kenangan paling indah." 

"Siap!" jawab Dira antusias. Bahkan ia tidak menyadari perubahan gaya bicaraku yang terdengar datar.

Aku mematikan sambungan telpon sepihak. Kulihat dekorasi sudah siap 80%. Aku juga menelpon catering untuk memastikan.

"Jika keputusanku yang terbaik untuk aku dan hidupku, tolong ridhoi ya Allah."

***

Tamu-tamu undangan sudah mulai berdatangan, bahkan tiga tenda besar tidak cukup untuk menampung banyaknya orang yang hadir malam ini, alhasil banyak yang berdiri berdiri menonton acara potong kue yang baru saja kami laksanakan beberapa saat yang lalu.

Banyak orang yang memuji penampilanku cantik malam ini, tetapi aku merasa biasa saja.

Aku melihat Dira yang baru tiba dengan gaun mewahnya, tapi aku merasa tidak asing dengan gaun itu. Bukankah itu gaun yang sempat mas Firdaus belikan untukku namun karena aku tidak suka mas Firdaus mengembalikan gaun itu ke toko.

"Dir!" teriakku sambil melambaikan tangan ke arah wanita itu.

Ia langsung menuju ke arahku dengan gaya sok angkuhnya. 

"Buju kamu seperti baju yang mas Firdaus belikan untukku, namun, karena merasa tidak bagus aku menyuruhnya untuk mengembalikan gaun itu." Baru saja sampai, Dira sudah mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulutku.

Wajah Dira terlihat masam. Ia menyentuh gaunnya dan mengatakan, "Aku beli baju ini di butik Cantika," kata Dira berniat pamer.

"Eh, tapi suamiku belinya di toko loh, harganya cuma 200 ribuan," kataku membuka wajah Dira semakin merah padam.

"Ah, lupakan saja, aku punya hadiah untukmu," kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Apa itu?" Tanya Dira terlihat senang.

"Tunggu, ya." Aku langsung naik ke atas pentas dengan gaya angkuh. Ya, hadiahku untuk Dira dan mas Firdaus.

Aku mengambil Microfone yang berada di tangan MC, lalu tangan kiriku menunjuk Dira membuat senyum bangga terbit dari bibir wanita itu.

Memangnya apa yang dia pikirkan, dasar bodoh.

"Kalian lihat wanita yang memakai gaun maron itu?" tanyaku membuat semua orang melirik ke arah Dira kemudian mereka semua mengangguk.

"Dia sahabat yang paling Saya sayangi."

Dira semakin bangga, mendengar aku mengakuinya.

"Ya, dia sahabatku sekaligus, pelakor dalam rumah tanggaku, dia telah merebut suamiku."


"Ya, dia sahabatku sekaligus pelakor dalam rumah tanggaku, dia telah merebut suamiku."

Tubuh Dira terlihat mematung, ia melirik ke sekelilingnya dan semua mata menatap wanita itu dengan tatapan sulit di artikan.

"Mel," panggilnya lirih. Namun, aku tidak ingin memedulikan wanita itu.

Aku juga melihat mas Firdaus yang melayangkan tatapan memohon padaku, entahlah, mungkin ia ingin aku menyudahi kejutan teristimewa ini.

"Aku pikir dia sering ke rumahku karena memang ingin bertemu denganku, tapi ternyata aku salah. Dia hanya ingin bertemu dengan pacarnya yang tidak lain adalah suami sahabatnya sendiri," tambahku lagi, keluarga suamiku melirik ke arah mas Firdaus.

Tatapan mereka terlihat begitu tajam. Ah, aku tahu, pasti mereka marah pada mas Firdaus. Aku bukan menyombongkan diriku, karena nyatanya seluruh keluarga mas Firdaus begitu menyayangi aku.

"Sahabat macam apa yang rela merebut kebahagiaan sahabatnya hanya karena ego semata?" tanyaku.

Bisik-bisik para tamu undangan menambah keruh suasana sekarang. Mereka juga meneriaki Dira dengan kata, "Hu ... Pelakor, musuh dalam selimut."

"Tenang! Dengarkan saya dulu." Ucapanku membuat semua orang terdiam sambil memfokuskan mata dan telinga ke padaku.

"Bahkan! Gaun yang sekarang wanita itu kenakan adalah gaunku yang diberikan oleh suamiku, namun, karena aku tidak suka, maka aku menyuruh suamiku untuk mengembalikan ke toko tempat ia membelinya, tetapi bukannya mengembalikan, suamiku malah memberikan kepada pelakor itu. Bukankah dia pantas disebut penjilat, ah maksudku penikmat barang bekas." 

Wajah Dira sudah benar-benar merah padam. 

"Dan untuk suamiku." Sengaja' aku menjeda perkataanku sendiri agar semua orang kembali fokus padaku.

"Ternyata sulit sekali menyakinkan lalat bahwa bunga lebih indah dari pada sampah." 

Tawa jenaka para tamu undangan pecah, aku melihat Dira yang naik ke atas panggung dengan sedikit berlari.

"Kurang ajar sekali kau!" teriak Dira dengan sebelah tangan mencoba menamparku. Namun, dengan sigap aku berhasil mencegah tangannya.

"Kenapa kau marah?" tanyaku sinis.

Dira mencoba merebut microfone dari tanganku. Kemudian ia mendekatkan benda tersebut ke arah mulutnya bersiap mengatakan sesuatu.

"Aku sedang hamil," ujarnya sambil tersenyum menyeringai.

Bodoh sekali, wanita itu mencoba menunjukkan jati dirinya yang busuk itu di hadapan semua orang.

Sebenarnya aku sakit hati, karena selama ini mas Firdaus tidak pernah menginginkan anak dariku, tetapi diam-diam, ia malah mendapatkan itu dari wanita lain.

"OOO, ternyata kalian telah berbuat zina?" tanyaku sambil menepuk-nepuk tangan.

Wajah Dira terlihat merah padam menahan malu, mungkin ia tidak sadar telah mengatakan aib besarnya.

"Yang jelas aku menang banyak darimu Amel, bukankah mas Firdaus tidak menginginkan anak darimu? UPS!" Ia menutup mulutnya, seolah-olah mencoba menyindirku.

Jujur aku kehilangan kata-kata, namun.

Plak! 

Satu tamparan keras dan nyaring mengenai wajah putih pucat milik Dira, bukan aku pelakunya melainkan mama mertuaku yang sudah berdiri di sampingku.

"Menang banyak! Ha ha ha, lihatlah wanita ini, dia terlihat sangat menyedihkan. Dia membanggakan zinanya. Kau tidak menang wanita perusak. Sampai mati aku tidak akan merestui kau dengan Firdaus," kata Mama mertuaku sambil menggenggam tanganku seolah-olah memberikan kekuatan.

"Nak, mama akan mendukungmu, mama akan membela dirimu bukan Firdaus atau pelakor itu," kata Mama sambil mengusap-usap wajahku.

"Apakah mama akan mendukungku jika aku mengakhiri hubunganku dengan mas Firdaus?" tanyaku pada wanita paruh baya yang mengengam tanganku kuat.

"Untuk apa mama melarangmu?" tanya Mama.

"Firdaus lupa bahwa jika bukan karena kamu, dia tidak akan memakai dasinya sekarang," ujar Mama. 

Ya, dulu mas Firdaus pernah melakukan sebuah kesalahan fatal yang membuat namanya dicoreng dari keluarga. Namun, karena dia menikah denganku, gadis desa yang begitu disayangi oleh keluarganya, akhirnya mas Firdaus bisa kembali dalam keluarga besarnya.

"Lagi pula, sampah seperti mereka itu tidak akan pernah bisa cocok dengan dirimu."

Sekilas aku melihat tangan Dira yang terkepal.

"Firdaus!" panggil mama.

Dengan ragu suamiku naik ke atas panggung dan berdiri di sampingku dengan kepala yang menunduk.

Selama ini dia hanya bisa bersembunyi di balik ketiakku.

"Benar kau selingkuh dan telah berbuat zina?" tanya mama memastikan.

Cukup lama kami menunggu Jawaban mas Firdaus dan akhirnya ia mengangguk ragu membuat sebuah senyum bangga terbit dari bibir Dira.

"Yasudah, angkut wanita menjijikan itu dari sini dan jangan pernah kembali lagi. Perusahaan, dan rumah sudah saya alihkan kepada Amel."

Mata Dira membelak sempurna mendengarkan ucapan mama yang terdengar lembut namun mampu membuat mereka mematung.

"Ma! Mengapa bisa begitu?" tanya Dira sambil menyentuh tangan mama mertuaku.

"Ma? Sejak kapan saya punya anak seperti kau? Saya jijik. Lagi pula, perlu kamu ketahui bahwa firdaus bukan anak kandung saya."

Pengakuan mama membuat semua orang terkejut termasuk mas Firdaus. Jujur aku tidak tahu perihal kebenaran itu. Pantas saja mama lebih menyayangi aku dari pada mas Firdaus.


"Ma? Sejak kapan saya punya anak seperti kau? Saya jijik. Lagi pula, perlu kamu ketahui bahwa firdaus bukan anak kandung saya."

Pengakuan mama membuat semua orang terkejut termasuk mas Firdaus. Jujur aku tidak tahu perihal kebenaran itu. Pantas saja mama lebih menyayangi aku dari pada mas Firdaus.

"Dulu dia saya ambil di jalanan, lalu saya mengadopsi, tetapi saat sudah dewasa ia malah membuat malu keluarga besar saya, itu sebabnya nama Firdaus sempat dicoret dari kartu keluarga. Namun, gara-gara Amel mencintai Firdaus, akhirnya kami memaafkan dia. Tapi sekarang sudah tiada lagi maaf untuknya," ujar Mama mertuaku yang bernama—Wirda.

"Bohong!" teriak mas Firdaus. Wajahnya terlihat merah padam menahan malu dan amarah.

"Ma, ini bohong 'kan? Katakan ini bohong," pintanya sedikit memohon.

Para tamu undangan sudah dibubarkan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan, walaupun ada beberapa yang masih setia menonton.

"Untuk apa saya berbohon?" Bukanya menjawab pertanyaan mas Firdaus, mama malah melontarkan pertanyaan balik.

"Ini tidak mungkin," bantah pria itu.

"Sudahlah Firdaus, saya rasa kamu bosan hidup mewah, itu sebabnya kamu ingin hidup susah dengan menghianati putri saya," ujar Papa kandungku yang berdiri di samping mas Firdaus.

"Kau sudah menyakiti putri saya. Bahkan saya tidak pernah berkata kasar padanya, lantas siapa kau yang berani menghianatinya?" tanya Papa membuat tubuh mas Firdaus mematung.

Dira menggenggam tangan suamiku erat, jujur aku sesak, seperti ada sebongkah batu yang menghimpit dadaku. Namun, aku tidak boleh terlihat lemah, Dira akan semakin senang.

”Tinggalkan rumah ini sekarang,” ujar Mama terlihat tegas.

Sebenarnya aku ingin memberikan pilihan pada suamiku antara aku istrinya atau Dira ibu dari calon anaknya.

Oh, tuhan, mengapa aku harus berada di posisi ini, sulit melihat orang yang kita cintai berada di pelukan orang lain.

"Aku akan mengurus surat perceraian," ujarku dan lagi-lagi mata mas Firdaus membelak sempurna.

"Sayang, aku benar-benar mencintaimu, jangan lakukan itu," pintanya lirih sambil berlutut di hadapanku dengan kedua tangan menangkup di depan dada.

"Jika kau mencintai aku, maka kau tidak akan pernah menghianati aku mas. Sudahlah, biarkan aku bahagia dengan caraku, lagi pula bukankah kau akan menjadi seorang ayah, ah selamat aku ucapkan," ujarku.

Dira terlihat ragu untuk menyeringai, mungkin ia sedang memikirkan tentang kemiskinan mas Firdaus. 

"Dan kau!" Sengaja aku mengantungkan perkataanku sambil menatap Dira dari atas hingga bawah.

"Seharusnya aku sadar bahwa kotor masa lalumu tidak dapat dibersihkan," sindirku sinis.

Ya, dulu Dira hanya seorang wanita malam yang menghabiskan separuh hidupnya di tempat-tempat terlarang. Awalnya ia dipaksa untuk bekerja di sana, namun, seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dan pada akhirnya ia bertemu dengan aku.

"Kurang ajar sekali kau Amel," teriak Dira kembali. Ia mencoba memaparku lagi, namun, mama mencegahnya dan menghempaskan tangan Dira kasar.

"Jika kau berani menyakiti dia maka saya tidak akan segan-segan untuk membunuhmu."


Jika kau berani menyakiti dia maka saya tidak akan segan-segan untuk membunuhmu."

Dira terkejut mendengar bentakan mama. Ia menatapku sinis, seolah-olah akulah yang salah di sini.

""Amel, berikan aku kesempatan, sekali saja," pinta mas Firdaus terdengar memohon.

"Sudahlah mas, bukankah kamu mencintaiku, jadi lupakan wanita ini," ujar Dira.

"Diam kau!" bentak suamiku.

Aku langsung pergi meninggalkan mereka, sudahlah aku sudah tidak sanggup dengan semua ini. 'Tak pernah terlintas di otakku bahwa rumah tangga yang baru beberapa tahun kami arungi harus kandas di tengah jalan.

Ini semua salahku, seharusnya aku sadar bahwa Dira memang sudah dibesarkan dilingkungan yang kotor, sulit untuk mengubah pola pikirnya, tetapi aku malah begitu yakin padanya.

Setelah memutar knop pada daun pintu, akhirnya aku masuk ke dalam kamar, benar-benar hampa. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah keputusanku sudah benar? Menjanda di usia muda? 

Ah, sepertinya tidak ada yang salah dari apa yang aku putuskan, bukankah jika tuhan mematahkan hati seseorang, maka Tuhan memiliki banyak cara untuk menyatukan hati hambanya kembali.

"Mel," hampir saja aku tersentak kaget saat seseorang memanggil namaku sambil menepuk bahuku pelan.

"Firdaus sudah pergi." Hanya tiga kata yang mama ucapkan, namun kata-kata itu mampu membuat runtuhnya air mataku dari pertahannya.

"Ma, apakah aku salah?" tanyaku lirih membuat mama mertuaku langsung menggelengkan kepalanya cepat.

Satu tangannya mengusap air mataku dan tangannya yang lain menggenggam tanganku kuat.

"Kamu tidak salah," ujar Mama.

"Tapi Ma, aku merasa sudah menjadi orang jahat karena telah mempermalukan suami dan sahabatku," kataku lagi dengan isakan yang mulai lolos dari mulut.

"Mereka yang jahat, mangapa kamu harus menyesal Sayang, seharusnya sekarang kamu memikirkan cara untuk membuat pelac** dan penghianat itu menyesal," ujar Mama.

Aku menatap wanita paruh baya itu lamat-lamat, ia tersenyum begitu tulus ke arahku bahkan sangat tulus.

"Mengapa Mama begitu menyayangi aku?" tanyaku membuat tubuh wanita itu menegang.

Ya, selama ini aku merasa sedikit aneh dengan kasih sayang yang mama berikan padaku.

"Eum, kamu belum makan 'kan?" tanya mama mencoba mengalihkan pembicaraan.

Aku menggelengkan kepalaku cepat dan wanita itu langsung berdiri.

"Mama ambil makanan dulu," ujarnya.

Aku kembali terdiam beberapa saat, besok aku akan mengelola perusahaan yang dulunya ditangani oleh mas Firdaus dan salah satu karyawan di perusahaan itu adalah Dira. Akankah aku sanggup terus bertemu dengannya, atau aku harus memecatnya saja?

****

Aku menghela napas panjang saat mobil yang aku kendarai berhasil terparkir di parkiran kantor, banyak karyawan yang mulai berkumpul di sana.

Hari ini adalah peresmian kantor yang memang sudah sah menjadi tanggung jawabku. 

Setalah keluar dari mobil, kakiku melangkah ragu ke arah gedung besar pencakar langit tersebut.

Dari kejauhan retinaku menangkap sebuah objek yang begitu familiar, ya, itu mama yang sedang berdiri bersama karyawan-karyawan kantor.

Saat melihat tubuhku, mama langsung melambaikan tangannya seolah-olah memberikan isyarat agar aku mendekat.

Dira berdiri tidak jauh dari tempat mama berdiri, ia terlihat kikuk.

Ah, aku lupa menjelaskan bahwa aku Piatu, mama kandungku telah meninggal enam tahun yang lalu dengan cara misterius, entahlah aku sudah mengikhlaskannya.

"Sayang, mulai sekarang kamu akan memegang tanggung jawab Kantor ini," kata Mama sambil merangkul pundakku lembut.

"Terimakasih, ma," Jawabku.

"Yasudah mama pergi dulu," setelah mengatakan hal itu, mama langsung meninggal aku diantara beberapa karyawan.

"Yang sabar, ya buk. Sampah murahan susah didaur ulang," ujar seorang wanita yang belum aku ketahui namanya.

Aku tahu mereka sedang menyindir Dira.

"Tuh 'kan Buk, gara-gara gila harta yang dapatnya cuma zonk. Ha ha ha, sekarang dia harus nafkahi hidungnya dan suami orang yang dia sebut. Nambah kerjaan aja," timpal yang lainnya lagi.

"Diam!" bentak Dira keras. Aku menatapnya sinis.

"Kalian bubar saja," kataku dan langsung dipatuhi oleh semua karyawan. 

"Sekarang kau punya pilihan Dira. Terus bekerja di kantorku dan menerima cibiran karyawan? Atau mengundurkan diri dari sini dan mengakui kekalahanmu." Mata Dira membelak sempurna mendengarkan ucapanku. 


"Sekarang kau punya pilihan Dira. Terus bekerja di kantorku dan menerima cibiran karyawan? Atau mengundurkan diri dari sini dan mengakui kekalahanmu." Mata Dira membelak sempurna mendengarkan ucapanku. 

Dira tersenyum menyeringai sambil mencoba menyentuh wajahku pelan namun dengan cepat aku langsung menepiskan tangan kotornya itu.

"Tanganmu terlalu kotor," sinisku yang langsung membuat wajah Dira terlihat masam.

Kedua tangannya terkepal kuat, seolah-olah mencoba menyalurkan kekesalannya itu.

"Jika aku keluar dari kantor ini, maka aku kalah, jadi aku akan terus di sini," kata Dira sambil tersenyum iblis.

"Ok baiklah, kau ternyata sudah tidak memiliki harga diri. Kantor ini milikku Sekarang, jadi aku berhak untuk menentukan nasibmu." 

Aku memutari tubuh wanita itu sambil menyentuh rambut hitamnya dan bermain-main dengan benda itu.

"Ah, kau tenang saja, aku tidak akan memecatmu, tapi jabatanmu sebagai asisten pribadi Firdaus aku turunkan menjadi OG alias office girl. Apakah kau siap?" tanyaku.

"Jangan kurang ajar kau Amel," teriak Dira lantang membuat para karyawan yang sedang bekerja berlari ke arah kami.

"Eh pelakor gatel, setidaknya jika sudah merebut suami orang kau harus bersikap sedikit sopan, jangan buat kami semakin gemas ingin menamparmu," ujar seorang wanita yang berdiri sambil berkacak pinggang.

Inilah alasan mengapa aku tidak memecat Dira. Aku ingin membuat Dira menyesali perbuatannya dan menderita dengan ucapan-ucapan pedas para karyawan.

Sejahat apapun istri pertama, tetap saja yang dihujat habis-habisan adalah pelakor. Ah, lagi pula aku tidak jahat bukan?

Aku hanya ingin memberikan penghianat-penghianat itu pelajaran agar setiap detik berjalannya waktu mereka akan menyesali perbuatan keji tersebut.

"Diam kau, urusi saja dirimu sendiri!" teriak Dira lagi dengan menunjuk wanita yang sempat mengatainya dengan jari telunjuk.

Dira benar-benar terlihat marah. Bahkan matanya sudah terlihat sedikit memerah 

"Tapi aku punya mulut," jawaban wanita itu dengan nada mengejek yang mampu mengundang tawa jenaka para karyawan lainnya.

"Bangs**, memangnya kau siapa hah? Hanya staf biasa, jadi jangan sok berkuasa," cibir Dira pada wanita yang memakai rok span selutut.

Entahlah, aku suka dengan keberanian wanita tersebut, ia terlihat begitu santai dan biasa saja saat bertengkar, padahal hidung Dira sudah kembang kempis mengeluarkan napas.

"Mulai sekarang wanita itu saya angkat menjadi asisten pribadi saya menggantikan sahabat saya, ah maksudnya musuh dalam selimut," kataku membuat semua orang termasuk wanita yang memakai rok span itu terkejut bukan main.

"Mana bisa begitu? Kau tidak boleh seenaknya kepadaku Amel. Mentang-mentang kau sudah menjadi boss," jawab Dira tidak terima.

"Kenapa aku tidak bisa melakukan itu padamu, hah? Bukankah kau sudah memperlakukan aku seenak jidatmu, lantas apa yang aku harapkan lagi?" tanyaku mebuat wanita itu terdiam beberapa saat.

"Sekarang peralatan kerjamu bukan lagi berkas-berkas penting melainkan sapu, pel, ember dan kain lap. Itupun jika kau mau," ucapanku mengundang amarah besar bagi Dira. 

Ia melayangkan tamparan ke arahku, dan lagi-lagi aku dapat menepisnya.

"Ingat Dira Soraya, hari ini firdaus memilihmu karena sudah tidak ada pilihan lain, lihat saja beberapa bulan kedelapan, ia akan mengkhianatimu seperti dia menghianati aku, jadi bersiap-siaplah."

Bahkan, sudah tidak ada lagi iming-iming mas dalam panggilanku untuk Suamiku. 

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama