Cerpen rumah tangga Petaka kepulangan sepupu

#cerbung

Aku segera menarik mukena yang tergantung ketika mendengar suara ketukan pintu karena tidak aku temukan jilbab instant yang biasa aku gunakan.

Aku membuka pintu, sebelumnya aku mengintip siapa yang datang, ternyata Bang Ahnan--sepupuku.

Aku tinggal di rumah Pamanku, sedari tamat sekolah dasar. Ayahku sudah tiada sedang ibuku di kampung tinggal bersama Kakak perempuanku dengan suaminya.

"Bang Ahnan? Masuk ...." Aku mempersilahkannya masuk ke rumahnya sendiri.

"Ibuk ikut Bapak pelatihan ke luar kota." Aku memberitahu Bang Ahnan kepergian kedua orang tuanya, karena Pamanku seorang guru di sebuah SMP, dan beberapa hari yang lalu pergi pelatihan. Jangan heran jika aku memanggil Ibuk dan Bapak kepada orang tuanya Bang Ahnan karena merekalah yang meminta.

Aku masuk ke kamarku lalu menguncinya, karena aku sedang berada dengan laki-laki yang bukan mahramku di rumah.

Bang Ahnan sendiri baru pulang dari luar kota, karena dulu kuliah di luar kota dan dapat kerjaan juga di sana. Hari ini Bang Ahnan pulang mungkin rindu jumpa orang tuanya, sayangnya orang tuanya juga sedang pergi.

Bang Ahnan benar-benar menjaga jaraknya denganku, terkesan tidak suka dengan keberadaanku. Tapi tidak terlalu di perlihatkannya, namun aku tahu.

Dulu aku sempat di beritahu oleh Bibiku bahwa aku mau di jodohkan dengan anaknya, Bang Ahnan. Aku tidak tahu Bang Ahnan di beritahu atau tidak mengenai hal perjodohan ini.

Aku merasa dia juga tahu itu sebabnya mungkin dia menjauhiku, tidak ingin terlalu dekat denganku, berbicara pun hanya sekedarnya saja.

"Firza! Za!" Itu suara Bang Ahnan sembari menggedor pintu kamarku.

"Kenapa Bang?" tanyaku dari dalam kamar dengan tidak membuka pintu.

"Tutup pintu depan aku mau keluar."

Aku segera membuka pintu kamar setelah memastikan Bang Ahnan sudah di luar rumah, aku mengunci pintu lalu masuk ke dalam kamar lagi.

*** 

Saat malam hari Bang Ahnan pulang dengan 3 orang temannya, sebelumnya Bang Ahnan mengirim pesan untuk membuka pintu.

Aku menunggu di dalam kamar, pintu sudah aku kunci. Mengisi kekosongan aku mengecek ponselku. Tidak ada apa-apa di sana notif dari berbagai aplikasi yang aku miliki tidak bermunculan. Hanya ada pesan dari operator yang menawarkan kuota murah pembayaran via pulsa.

Suara tawa bang Ahnan dan temannya yang berada di ruang tamu terdengar olehku, entah membahas apa ke empat manusia itu.

Tidak ada yang menarik dari benda pipihku itu, aku mengambil laptopku. Lumayan ramai notifikasi-notifikasi dari laptopku. Aku menulis di salah satu aplikasi online, aku memuat karyaku di sana. Hanya ada beberapa yang menyukainya tapi aku tetap senang.

Baru beberapa bulan yang lalu aku baru tamat SMA aku tidak melanjutkan kuliah, aku memilih meniti karier di dunia ke penulisan.

Tidak terdengar lagi suara bincang-bincang di ruang tamu dan tadi aku sempat mendengar suara motor berlalu dari halaman rumah.

Aku ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil karena sedari ada teman Bang Ahnan aku menahan hajatku itu.

Menuju ke kamar mandi aku melewati kamar Bang Ahnan terdengar suara barang terjatuh, dan Bang Ahnan terdengar menggeram frustasi.

Aku memilih cuek saja dan segera menuntaskan hajatku. Setelah selesai aku segera ke kamar. Aku terkejut ketika mendapati Bang Ahnan berada di ambang pintu kamarnya, terlihat seperti sengaja menunggui aku. 

Bang Ahnan menatap ke arahku, aku di buat takut dan bergidik ngeri melihatnya, "Kenapa Bang?"

Bang Ahnan tidak menjawab pertanyaanku malah dia menarik tanganku dengan paksa masuk ke kamarnya.

Terkejut, takut dan bingung bersatu di dalam diriku, lebih dominan ke arah takut sebenarnya. Hendak apa Bang Ahnan kepadaku.

"Bang kenapa Bang? Awas aku mau keluar!" teriakku takut dengan suara yang parau.

"Firza, bantu aku." Itulah kata yang terucap dari Bang Ahnan setelahnya aku di hempaskannya ke kasur.

"Biarkan aku menjadi bajingan malam ini!"

Tidak!

Aku tidak mau ini terjadi, aku berusaha lepas dari himpitan badan Bang Ahnan yang mulai menguasaiku. 

Jamahan-jamahannya mulai aku rasai, aku memukul, menerjang-nerjang, hanya angin yang aku terjang.

Bang Ahnan seperti kesurupan dalam menodai aku, sepupu kandungnya. Aku lemah merasa tak berdaya di bawah lelaki dewasa seperti Bang Ahnan, tubuhnya yang lebih besar, mana mungkin gadis kecil dan lemah sepertiku bisa melawannya.

Sekarang kenyataan yang menghampiri diriku adalah bahwa aku sudah tidak suci lagi, aku sudah ternoda oleh sepupuku. Bang Ahnan seperti tidak puas dalam merenggut punyaku, hal 'itu' terus di lakukannya berulang-ulang hingga aku merasa tidak sadarkan diri.

Aku terbangun ketika mendengar ayam subuh hari berkokok, aku berada di kamar Bang Ahnan. Mengingat kejadian tadi malam membuat hatiku sakit membayangkan tubuhku yang sudah di jamah rata oleh bajingan yang di sampingku saat ini.

Aku menendang punggung lelaki yang telah tega menodaiku, Bang Ahnan menggeliat terbangun. Namun sebelum dirinya benar-benar bangun aku memungut bajuku dan kembali ke kamar.

Bagian bawahku terasa ngilu, bagaimana tidak! Bajingan itu benar-benar melakukannya secara paksa, aku muak dengan apa yang terjadi pada diriku.

Aku mengambil handukku di gantungan pintu kamar dan berjalan tertatih menuju satu-satunya kamar mandi di rumah ini.

Aku membersihkan diriku, sekali-kali mengusap permukaan kulitku dengan kasar bahkan memukul-mukul diriku sendiri teringat akan mulut jahanam itu menjelajahi aku.

Aku keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk, biasanya aku selalu membawa baju ganti ke kamar mandi.

Di meja makan sudah ada Bang Ahnan dengan handuk yang di sampirkan di bahunya, netra kami beradu. Dirinya menatap lekat ke arahku yang hanya mengenakan handuk berwarna marron yang kontras di kulit putihku, aku harap nafsu bejatnya tidak timbul kembali.

Aku melewatinya begitu saja enggan sekali menatap wajah tampan, bahkan aku merasa jijik kepadanya.

"Za, maafkan Abang Za!" ucap Bang Ahnan yang sedikit keras ketika aku sudah melintasinya.

Kenapa tidak berteriak sekalian di subuh hari ini, kenapa harus ada embel-embel 'Abang' dalam pengucapannya biasanya hanya 'Aku'

Aku memekakkan telingaku terus berjalan meninggalkan dirinya yang mungkin masih melihat ke arahku.

*** 

BACA JUGA : 

Seharian aku mengurung diri di dalam kamar, tak sudi rasanya bertemu dengan pria yang menodaiku itu.

"Firza! Makan Za. Ini Abang bawain makanan." 

Bang Ahnan mengetuk pintu kamarku, dengan membawakan makanan. 

"Pergi!" teriakku kepadanya, belum pernah sebelumnya aku berteriak keras seperti kepadanya.

"Iya Abang pergi Za, tapi kamu makan ya."

Aku benci perhatianmu! Aku jijik padamu Bang! Aku juga membenci diriku yang sudah ternoda ini!

Setelah beberapa lama aku membuka pintu kamar hendak mengambil makanan yang di bawa Bang Ahnan, karena aku memang merasa lapar.

Bang Ahnan berdiri tidak jauh dari kamarku, ternyata dia masih berdiri di luar pintuku. Aku mengambil plastik hitam yang di lantai, lalu melihat ke arah Bang Ahnan yang juga melihatku. "Kenapa masih di situ?!" tanyaku ketus lalu menutup pintu dengan kuat. Masa bodoh dengan kekagetannya.

Aku memakan bakso yang di bawa Bang Ahnan, tak lama kemudian aku merasa haus dan kepedasan. Aku memutuskan pergi ke dapur. Namun saat membuka pintu sebotol air yang berasal dari dalam kulkas berada di depanku. Aku pun tak lagi melihat keberadaan Bang Ahnan.

Sesudah makan tak berselang lama suara Bang Ahnan di depan pintu kembali terdengar. "Za, kita perlu bicara Za."

"Bicara apa? Pasal semalam? Ayo bicaralah!" ucapku dengan meninggikan suara dari dalam kamar.

Aku duduk di balik pintu kamar sama halnya Bang Ahnan yang berada di luar.

"Firza kita harus menikah Za, Abang harus bertanggung jawab kepadamu," ucap Bang Ahnan.

"Kamu gak mencintai aku Bang, buat apa kamu memaksakan diri?" tanyaku dengan dada yang terasa sakit. "Aku tahu kamu tidak menyukaiku Bang, tapi kenapa Abang melakukan hal itu kepadaku?"

"Itu semua gara-gara teman Abang Za!"

"Oh! Jadi Abang menyalahkan orang lain atas kebejatan yang sudah Abang lakukan?"

"Za kamu harus dengar penjelasan Abang, itu semua karena obat p*rangsang yang teman Abang kasih ke kopi waktu kami minum di ruang tamu itu Za." Bang Ahnan menjelaskan kenapa dirinya melakukan hal itu.

"Oke, tapi yang pasti aku tetap tidak akan mau menikah denganmu Bang!"

"Jika kamu gak mau Abang akan adukan semuanya kepada Ibuk dan Bapak Za."

"Silahkan!" ucapku dengan menantangnya. Mana mungkin dirinya mengadu perbuatan itu pada orang tuanya yang mengecap bahwa dirinya laki-laki baik.

"Setelah Ibuk sama Bapak pulang dapat di pastikan kita akan menikah setelahnya, ingat itu Za!"

Hari ini kepulangan orang tuanya Bang Ahnan, saat mendengar pintu di ketuk aku bergegas untuk membuka. Namun, aku kalah cepat ternyata Bang Ahnan yang sudah membukanya.

Bang Ahnan melihat ke arahku dengan tatapan yang tidak dapat aku artikan, jangan bilang jika dirinya akan mengatakan kejadian beberapa hari yang lalu. 

Aku malu! Sekali lagi aku katakan jika aku malu! Malu akan kepada orang tua Bang Ahnan, kepada Ibuku, apalagi kepada Rabb-ku aku malu akan diri ini yang sudah tidak suci lagi, aku benci, ingin marah kenapa harus aku yang mengalami hal menyakitkan seperti ini.

Bang Ahnan menyalami orang tuanya melakukan seperti layaknya orang temu rindu, Bang Ahnan mencium pipi Ibunya. Hal yang aku kagumi dari dirinya dia sangat menyayangi ibunya memperlakukan ibunya dengan sangat baik.

Aku beranjak ke kamar, memberi waktu kepada keluarga tersebut untuk bercengkerama setelah perpisahan yang cukup lama. 

*** 

Setelah cukup lama aku berdiam diri di kamar, terdengar suara Bapak meninggi bernada marah. Pikiranku kalut, hatiku cemas. Apa Bang Ahnan sudah mengatakan hal itu? 

Aku mencoba menguping, meski hal ini pantang bagi diriku. Namun, aku sungguh penasaran dengan apa yang terjadi.

“Itu semua karena Andri Pak, Andri yang mencampurkan obat sialan itu!” Suara Bang Ahnan ikut meninggi hal yang jarang bahkan tidak pernah di lakukannya pada orang tuanya.

“Aku akan menikahi Firza! Tapi gadis kampung itu sok-sok-an menolak!” 

Tidak dapat di percaya Bang Ahnan menyebutku gadis kampung, tapi kenapa dia tega memperk*sa gadis kampung sepertiku?

“Kau akan tetap menikah, membayar dosa pada gadis baik-baik seperti Firza. Buk, temui Firza!”

Aku segera menjauh dari pintu karena Ibu Bang Ahnan akan menghampiriku, menerima setiap permintaannya nanti apa pun itu. Wanita itu sudah aku anggap sebagai Ibu keduaku. 

Benar saja Ibu masuk ke kamarku yang sebelumnya sudah aku buka kuncinya. Ibu menghampiriku dengan mata berair. Dia duduk di atas kasur di samping tempat aku duduk, lalu menggenggam tanganku. 

Aku lihat matanya memerah, sejurus kemudian tangisnya pecah, sambil berkata maaf kepadaku berulang-ulang kali. Aku bingung harus memberikan reaksi apa kepadanya, akhirnya aku juga ikut menangis. Ah, aku menangisi apa? Apa aku menangisi diriku sendiri, menyedihkan.

“Firza ... Ibu mohon Nak, menikahlah dengan Bang Ahnan ya sayang ... jangan menolak ini permintaan Ibu pada Firza. Kalian nanti akan saling mencintai jika sudah menikah.”

Aku membuang muka dari wanita yang aku anggap ibu ini, lalu anggukan pelan dari kepalaku. Menolak? Tentu saja percuma, aku lemah di hadapan Ibuku ini.

Senyum terbit dari wajah cantiknya walaupun sudah berumur, “Soal Ibu kamu biar kami yang urus, yang terpenting menikah, menikahlah dengan Ahnan.”

Ibu memelukku dan menangis tergugu di atas bahuku. Harusnya aku yang menangis sedemikian rupa, tapi aku tidak lupa bahwa beberapa hari yang lalu air mataku hampir kering menangisi nasib. Siapa yang mau menerima nasib buruk ini, jika tahu pasti aku menghindar, mungkin Tuhan sudah menguatkan bahuku agar kuat menahan nasib malang ini.

*** 

Saat makan malam tiba kami makan dalam satu meja, makan dengan khidmat. Bukan, lebih tepatnya makan dalam keadaan bisu sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku risih dengan tatapan Bang Ahnan kepadaku, tatapan yang terus di lakukannya. Curi-curi pandang, sungguh aku geram. Aku menggenggam erat garpu yang ada di tangan ingin rasanya aku menusuk-nusuk matanya.

Sesudah makan aku mencuci piring bekas makan, saat aku sedang mencuci piring Bang Ahnan datang. “Biar Abang bantu ya Za.” Bang Ahnan membilas piring yang sudah aku sabuni, aku ingin mencegahnya namun enggan berbicara kepadanya.

“Barang kamu ada yang ketinggalan di kamar, nanti Abang Antar.”

Barang, barang apa? Aku tidak memusingkan apa itu yang ada di pikiranku saat ini adalah cepat menyudahi mencuci piring ini, aku risih berada dekat dengan Bang Ahnan, bahkan terkesan takut. Memori kala malam itu hadir lagi, sialan memang!

“Menyebalkan!” Tanpa sadar aku berucap cukup keras.

“Abang menyebalkan Za?” tanya Bang Ahnan.

“Iya!” ujarku lalu berlalu karena sudah mencuci piring tinggal di bilas oleh Bang Ahnan saja.

Di dalam kamar aku guling kanan guling kiri di atas kasur, resah akan apa yang akan terjadi. Apa yang akan aku lakukan jika nanti aku menikah dengan Bang Ahnan, apa aku harus berdamai dengan hatiku untuk menerima dirinya dan belajar mencintainya?

Di tengah resah melanda hati dan pikiran, suara Bang Ahnan meminta buka pintu. Mungkin mau ngantar barang aku yang ketinggalan katanya tadi, aku pun penasaran barang apa yang ketinggalan.

Aku membuka pintu, hanya sedikit saja pintu yang aku buka. Bang Ahnan menyodorkan sesuatu, celana dalam.

Aku hampir saja memekik, pasalnya celana dalamku yang berwarna biru tertinggal dan malah dirinya yang mengantar, aku malu sekaligus kesal.

“Selamat malam calon istri,” ujar Bang Ahnan.

Aku harap telingaku salah pendengaran, Bang Ahnan mengucapkan selamat malam kepadaku dengan senyumnya yang sempat menawan hati, membelenggu di pikiran menyiksa jiwa yang pernah ingin memiliki senyum itu seutuhnya.

Namun sekarang beda lagi, aku muak aku benci dengan semua itu. Aku menginginkan Bang Ahnan yang dulu, yang tidak menganggapku ada, bersikap dingin padaku, bahkan tidak menyukaiku.

Ke mana dirinya yang dulu, aku lebih menyukai yang dulu daripada yang sekarang, aku katakan sekali lagi aku muak! Sungguh.


Pagi hari saat langit masih sedikit gelap namun sebentar lagi matahari pagi pasti akan muncul. Kebiasaanku setiap paginya sesudah subuh langsung menyapu rumah, lalu setelahnya menyapu teras depan.

Sesudah menyapu aku menyirami bunga-bunga yang menghiasi teras dan juga ada di beberapa polybag, aku sendiri yang menanamnya. 

Aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil pupuk untuk tanaman, sekembalinya ke teras aku di kejutkan dengan sosok Ibu dan Mbak Siska—Kakak perempuanku.

Aku memeluk Ibuku melepas rindu karena bertemu pada lebaran tahun lalu dan sekarang baru bertemu lagi, ada apa kedatangan mereka kemari? 

“Firza ... sabar ya Nak, ini ujian. Kamu harus kuat,” ujar Ibu.

Sekarang aku mengerti kenapa mereka datang kemari, orang tua Bang Ahnan sudah menceritakan semuanya lewat handphone pastinya.

Aku memeluk Mbak Siska, “Mbak ....” Aku memeluk erat Kakakku itu rindu sekali rasanya. “Bang Herdi nggak ikut?” Aku menanyakan keberadaan Bang Herdi—Kakak iparku suami Mbak Siska.

“Kerja Dek, lusa baru ke sini,” ujar Mbak Siska.

Aku mengajak mereka berdua masuk lalu bertemu dengan Ibu Bang Ahnan.

“Di mana Ahnan Wati?” tanya Ibuku kepada Wati—Ibunya Bang Ahnan.

“A-ada di kamarnya Mbak ....”

Ibu aku dudukkan di kursi ruang tamu, mengusap-usap punggungnya. Ibu pasti mau memarahi lelaki yang menodaiku itu. 

“Mbak Mirna sudah datang ya ...?” Bapak menghampiri kami yang sedang duduk.

“Alfan! Anakmu sudah keterlaluan sama anakku, aku menitipkan anakku padamu tapi apa yang terjadi pada Firza! Kapan menikahkan mereka?” 

“Mbak kita sudah pesan cattering untuk pernikahan nanti, Ahnan akan bertanggung jawab Mbak. Pernikahan akan di segerakan secepatnya, Mbak sabar dulu. Kami tidak akan membiarkan Firza sedih, Firza sudah aku anggap anak. Dulu mereka memang hendak aku jodohkan memang.”

*** 

Aku tidak menyangka dua hari setelah kedatangan Ibuku hari ini aku dan Bang Ahnan akan menikah. Sanak-saudara dari kampung sudah tiba. 

Tetangga hanya ada beberapa saja yang di undang, Bang Ahnan hanya mengundang beberapa temannya termasuk 2 orang temannya yang datang ke rumah malam itu. Sedangkan yang satunya lagi, si Andri tidak di undangnya.

Metta sepupuku di kampung tentunya juga sepupu Bang Ahnan, menatap sinis ke arahku. Aku tidak heran akan tatapan gadis itu kepadaku. Pasalnya, Metta terang-terangan menunjukkan rasa sukanya kepada Bang Ahnan.

Metta menyukai Bang Ahnan, aku yakin gadis itu pasti memendam resa kesal mungkin iri kepadaku. Dari dulu Metta berusaha mencari perhatian Bang Ahnan jika ada perkumpulan keluarga, namun tanggapan tak perduli yang di dapatinya.

Ikrar janji pernikahan sudah terucap, hari ini aku sudah menjadi istri orang di usia yang masih di bilang muda. Namun hendak di kata apa jika sudah terjadi.

Aku meraih tangan Bang Ahnan, kali keduanya aku kontak fisik dengannya. Aku cium sekilas punggung tangannya dan melepaskannya segera.

Perasaanku tidak menentu, entah raut apa yang terpampang di wajahku, senangkah? Atau malah bersedih?

Pernikahan sederhana dengan di hadiri hanya beberapa orang, acara selesai sebelum pukul dua belas siang.

Acara selesai maka para tamu pulang, kerabat-kerabat dari kampung juga pulang ketika sore harinya. Ibu beserta Mbak Siska dan suaminya juga pulang menumpang dengan saudara yang membawa mobil.

Rumah kembali lenggang, sepulangnya Ibuku aku kembali teringat pesannya, ‘Jadilah istri yang baik, patuhi perintahnya. Dan bukalah hati menerima Ahnan menjadi suamimu.’

Aku masuk ke kamar namun aku terkejut di dalam kamar sudah ada Bang Ahnan berbaring di kasur dengan memeluk guling kesayanganku.

“Abang kenapa di sini?” 

“Kamu lupa kita ‘kan sudah nikah Firza ....”

Aku berusaha sabar bukan itu yang aku maksud, dengan tenang aku kembali berujar. “Aku gak lupa, tapi kenapa Abang di kamar aku? Abang ‘kan punya kamar sendiri.”

Bang Ahnan bangkit dari posisi berbaringnya menjadi duduk, “Kita baru nikah masa iya kamu udah mengajak pisah ranjang?”

Lebih baik aku diam saja, daripada menanggapinya. Aku menarik handuk yang tergantung lalu memilih piama tidur.

*** 

Malam hari tiba, aku benar-benar gelisah. Apa iya aku harus tidur dan satu ranjang dengan Bang Ahnan. 

Tidak ada lagi yang namanya malam pertama sesudah menikah, karena malam itu sudah di lakukan secara paksa oleh Bang Ahnan.

Aku memilih tidur cepat agar tidak terjadi drama lagi nantinya dengan Bang Ahnan. 

Pintu kamarku terbuka, dengan membuka sebelah mata aku memastikan jika Bang Ahnan yang masuk.

Degup jantungku tidak karuan, suhu tubuhku terasa aneh. Mana bisa tidur jika begini ceritanya.

Kasur di sampingku bergerak, pertanda Bang Ahnan menaiki kasur semakin menjadi-jadi saja debaran jantungku.

Grep!

Apa ini? Bang Ahnan memelukku dari belakang, karena aku memunggunginya. “Pura-pura tidur ya?” 

Apa kelihatan sekali jika aku pura-pura? Aku berusaha melepaskan pelukannya. “Jangan melarangku Za, hanya memeluk tidak lebih. Percayalah ....” Bang Ahnan berbisik tepat di dekat telingaku.


Apa kelihatan sekali jika aku pura-pura? Aku berusaha melepaskan pelukannya. “Jangan melarangku Za, hanya memeluk tidak lebih. Percayalah ....” Bang Ahnan berbisik tepat di dekat telingaku.

Aku bangkit dari posisiku, “Aku mau ke kamar mandi,” ujarku berbohong hanya agar menghindari diri dari Bang Ahnan.

Lama aku berdiam diri di dalam kamar mandi tapi aku teringat jika tidak boleh berlama-lama dalam kamar mandi. Aku memutuskan untuk duduk di meja makan, sambil mengetuk-ngetuk jari ke meja yang menghasilkan bunyi ‘Tuk-tuk-tuk’ 

Aku menunggu Bang Ahnan tidur, ketika sudah agak lama barulah aku masuk ke dalam kamar. Namun, yang aku temui adalah Bang Ahnan dengan kakinya di angkat ke kaki lainnya sambil bersender di atas bantal terlihat memainkan ponselnya.

Haish! Aku kira sudah tidur, jika sudah begini yang aku lakukan adalah membentang selimut yang cukup tebal di atas keramik dan mengambil bantal dan guling. Aku memilih tidur di bawah saja, daripada seranjang dengan Bang Ahnan.

“Loh Za? Kenapa di bawah? Abang juga ikut tidur di bawah.” Bang Ahnan ikut berbaring di sampingku.

“Ishh Abang apaan sih! Kok ikut-ikutan?” tanyaku kesal.

“Tidur di atas, Abang gak akan berbuat hal ‘itu’ ayo cepat pindah!” 

Dengan di bantu Bang Ahnan aku menaiki kembali barang yang ada di lantai sebelumnya. Bang Ahnan memunggungi aku, aku pun juga begitu. Aku mengintip apa Bang Ahnan sudah tidur apa belum.

Tampaknya sudah, tapi ada apa dengan mataku yang tak mau kunjung terpejam juga. Aku memilin tali serutan guling yang terlepas. Aku menghadap ke arah Bang Ahnan lalu memunggunginya lagi, begitu saja terus aku lakukan.

“Tidur saja Firza, Abang gak bakal ngapa-ngapain kamu dan gak peluk kamu. Jadi tidur saja jangan resah begitu.”

Deg.

Ternyata Bang Ahnan belum tidur juga, aku menyugestikan diriku sendiri agar segera tidur. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dengan gerakan cepat, cara ini pernah aku baca di sebuah artikel jika kesusahan tidur.

Mataku mulai terasa berat, aku menguap setelahnya aku bisa tertidur, tidur dalam keadaan was-was lebih tepatnya.

*** 

Aku terbangun subuh hari, tanpa alarm aku dapat terbangun karena sudah terbiasa. Jika sudah membiasakan bangun pagi maka tidak akan sulit untuk bangun. 

Aku terkejut ketika jarakku dan Bang Ahnan dekat, sangat dekat. Jika bukan subuh hari pasti aku akan berteriak ketika menyadari tangannya berada dekat dengan dadaku. Aku menyingkirkan tangan berurat itu dengan menepisnya kuat.

Bang Ahnan sudah berbohong, katanya tidak akan memelukku tapi apa sekarang. Saat aku hendak beranjak turun tiba-tiba kakiku di pegang Bang Ahnan.

Ternyata dia juga sudah bangun, bukan kesengajaan dia memelukku tapi memang sengaja. “Bang apa sih! Lepas gak!” ujarku tegas.

Aneh sekali kami berdua main tarik-tarikan kakiku, Bang Ahnan dengan matanya yang masih terpejam memegang erat kakiku. Aku berpura-pura mengaduh kesakitan, setelahnya kakiku terlepas dari cengkeraman.

Aneh sekali perilaku Bang Ahnan, aku segera ke kamar mandi untuk berwudu. Saat keluar dari kamar mandi aku di kagetkan karena Bang Ahnan sudah ada di depan pintu.

“Sholat bareng ya Za, Abang mau jadi imam kamu, oke.” 

*** 

Aku mengecek jam di handphone ternyata sudah jam 5 lewat, itu artinya sudah datang waktu subuh mungkin sudah lewat. Dari rumah tidak kedengaran azan karena masjid cukup jauh.

Bang Ahnan datang dengan menyisir rambutnya yang basah ke arah belakang menggunakan jarinya, aku memperhatikan adegan itu tanpa berkedip. Harus aku akui jika Bang Ahnan sangat tampan, tapi aku terlanjur kecewa kepadanya.

“Abang ganteng, iya ‘kan Firza!” 

Aku memalingkan wajahku karena ketahuan memperhatikannya, tapi kenapa dengan percaya dirinya Bang Ahnan berkata seperti itu.

Bang Ahnan sudah siap dengan kain sarung dan baju kokonya, tak ketinggalan kopiah hitam. Aku berdiri tak jauh dari Bang Ahnan. Kami berdua melakukan sholat subuh dengan Bang Ahnan yang menjadi imamku. 

Andai, andai saja kejadian itu tidak terjadi pasti ini semua akan terasa jauh lebih indah. Rasa marah masih berkecamuk di dadaku, tak lupa terselip rasa benciku untuknya. Namun sekarang mau di kata apa, Bang Ahnan sudah menjadi suamiku.

Sesudah sholat kami berdoa masing-masing melangitkan permintaan kepada Sang pencipta. Aku merasa sangat berdosa ketika hatiku sedikit terbesit menyalahkan Allah atas apa yang menimpaku. Jika aki memang di takdirkan berjodoh dengan Bang Ahnan kenapa jalannya harus sedemikian buruk.

Aku mencium punggung tangan Bang Ahnan dengan takzim. Tanganku di genggam oleh Bang Ahnan, netra kami berdua beradu, saling pandang dalam diam.

“Maaf ...,” ujar Bang Ahnan yang hampir tidak bersuara. Berat sekali suaranya, tenggorokanku mendadak sakit mendengarnya.

Aku harus memberikannya maaf, sedang Tuhan saja memberi maaf dan ampunan pada hambanya sekali pun dosa sangat berat, namun jika nyawa masih melekat di raga dan memohon ampun pada Rabb yang maha pengampun pasti akan di ampuni.

Tapi aku ini manusia biasa, manusia lemah. Sakit hati masih menyendera, mana mungkin aku bisa lupa begitu saja.

Aku mau pergi dari hadapan Bang Ahnan, aku tidak bisa berlama-lama di posisi seperti ini, namun sebelum itu terjadi aku sudah di tahan oleh Bang Ahnan, dia bisa menangkap gerak-gerikku.

“Sulit itu pasti bagimu, Abang minta maaf. Karena Abang kamu pasti tersiksa bukan?”

‘Tersiksa? Iya aku sungguh tersiksa dengan semua ini. Aku tersiksa ketika mati-matian harus menerima dirimu sebagai suamiku.’ Aku membatin.

“Aku sudah memaafkanmu Bang.”

Perkataan bohong yang meluncur dari mulutku, sekaligus tindakan bodoh yang aku lakukan. Lelaki itu pasti beranggapan bahwa mudah sekali minta maaf kepadaku.

“Kebohonganmu membuat Abang jadi sedikit lega, semoga kamu lekas memaafkan Abang dengan ikhlas.”

Bang Ahnan melipat sejadahnya meninggalkanku yang bergumul dengan pertengkaran dengan diriku sendiri, di satu sisi aku ingin memaafkannya dengan ikhlas tapi sisi jahat dari diriku membenci dirinya.

Aku melakukan kebiasaanku seperti biasanya, selesai ini maka melakukan hal lain lagi. Aku sedang memasak sarapan sedang Ibu sedang menjemur baju yang sudah aku putar di mesin tadi pagi. 

Bang Ahnan berada di kamarnya, aku tidak tahu aktivitas apa yang di lakukannya. Bapak sedang memberi makan ayam kampung peliharaannya, kandang ayamnya terletak sedikit jauh dari belakang rumah.

Aku menyajikan makanan yang sudah aku masak, hanya tumis kangkung dengan tempe goreng asin, dan sambal balado telur rebus.

Semua orang sudah berkumpul, kami memang makan selalu berbarengan. Makan dalam keadaan diam pantang jika makan sambil berbicara, jika hanya keperluan saja di perbolehkan. Apa pun itu jika tidak penting tidak akan  ada yang berbicara.

Selesai makan aku mengumpulkan semua piring dan hendak langsung di cuci saja agar tidak menumpuk, tapi niat itu aku urungkan ketika Bang Ahnan membuka percakapan.

“Buk, Pak, Ahnan hari ini akan kembali ke tempat kerja, Firza akan Ahnan bawa.”

Sekarang dia suamiku, mau tidak mau, suka tidak suka aku harus ikut dengannya. 

Ibu menoleh ke arahku, “Jaga Firza baik-baik, jangan melukai hatinya. Jika kamu melukainya sama saja kamu melukai Ibu, paham!” ujar Ibu.

Bang Ahnan mengangguk, “Za, ayo berkemas sekarang.” Bang Ahnan memberiku perintah.

Aku melirik ke arah piring yang sudah hendak aku cuci, “Tapi in ....” 

“Biar Ibu nanti saja, sekarang berkemaslah. Dengarkan kata Abangmu,” sela Bapak.

 Aku menurut saja, aku segera ke kamar di ikuti Bang Ahnan. Aku mencari tas yang berukuran besar aku simpan di dalam lemari bagian bawah. Ketemu! Segera aku memasukkan potongan-potongan baju. 

Bang Ahnan membantu sebisanya saja, karena mungkin kebingungan apa yang harus di bantunya. Terlihat Bang Ahnan ke arah lemariku, aku sedang melipat baju-baju untuk di masukkan ke dalam tas tadi.

“Ini juga di bawa ‘kan?” tanya Bang Ahnan seraya menyerahkan segumpal pakaian dalam milikku. Aku menerimanya dengan kasar, kenapa dia hanya membantu mengambil bagian ini saja, menyebalkan!

“Yang ini biar aku saja, kenapa Abang yang ambil?!” ujarku ketus.

“Nih ada yang ketinggalan tadi sangkut.” 

Bang Ahnan memberikan benda yang sama milikku, aku hampir frustasi karena dirinya. Aku mendengar Bang Ahnan cekikikan kecil, apa dia menertawaiku? 

*** 

Aku dan Bang Ahnan akan berangkat, barang-barangku sudah di masukkan ke mobil. Mobil ini di beli oleh Bang Ahnan sendiri hasil kerjanya sendiri. 

Kami berdua berpamitan kepada Ibu dan Bapak, Ibu mencium pipiku berkali-kali. Sungguh, aku merasa bukan menjadi anak menantu atau apa aku merasa di perlakukan seperti anak kandung. 

Aku dan Bang Ahnan sudah mulai meninggalkan rumah, aku melambaikan tangan ke Ibu dan Bapak yang aku tinggal, aku pasti merindukan mereka.

Aku mencuri pandang ke arah Bang Ahnan dengan berpura-pura melihat bangku belakang, Bang Ahnan sibuk menyetir.

“Kalo mau pandang Abang lama-lama juga boleh kok Za, udah halal juga ‘kan?”

Apa ini? Aku ketahuan lagi. Aarrghh!

Bang Ahnan menepikan mobil ke pinggir jalan depan Alfamart, “Mau titip sesuatu?” tanya Bang Ahnan kepadaku, aku menjawab minta di belikan permen saja.

Bang Ahnan masuk ke dalam Alfamart, sedangkan aku menunggu di mobil saja. 

Tak berselang lama Bang Ahnan dengan seorang laki-laki, Bang Ahnan menarik kerah laki-laki itu keluar dari dalam.

Mereka berdua tampak berkelahi, hal itu mengundang perhatian orang-orang sekitar. Tidak ada yang mau melerai mereka berdua. Karena kebanyakan para wanita yang berada di sekeliling.

Setelahnya datang seorang ojek online terlihat dari jaketnya, hendak memisahkan mereka berdua. Tapi dirinya malah dapat bogeman di wajahnya karena ulah lelaki yang bersama Bang Ahnan.

Ojol tadi segera menyingkir, mereka berdua sekarang adu mulut dan main tunjuk-tunjukkan.

“Gara-gara kau Andri, aku jadi memperk*sa Firza malam itu! Brengs*k kau! 

Aku dengan segenap keberanian turun dari mobil menghampiri kedua manusia yang sedang bertengkar itu.

“Sekarang kalian berdua sudah nikah ‘kan?” 

Bang Ahnan hendak memukul orang itu lagi, tapi aku segera menahannya dengan cara memeluknya. “Bang sudah Bang, ayo kita pergi!”

Orang yang berkelahi dengan Bang Ahnan tadi sudah pergi dengan berjalan sedikit sempoyongan. Aku memungut barang belian yang terjatuh lalu menggenggam lengan Bang Ahnan membawanya ke arah mobil.

Sudut bibir Bang Ahnan mengeluarkan sedikit darah, sedangkan di dalam mobil tidak ada persediaan P3K, kebetulan di samping Alfamart ada apotek, aku segera menuju ke sana. Bang Ahnan kali ini yang menunggu di dalam mobil.

Aku membeli yang butuh saja, seperti kapas dan obat merah. Orang-orang melihatku dengan tatapan menginterogasi, karena aku ada hubungan dengan Bang Ahnan yang terlibat perkelahian tadi. 

Aku segera kembali ke mobil setelah mendapatkan apa yang aku butuh ‘kan, dengan tergesa demi menghindari tatapan orang-orang.

Aku mulai membersihkan darah yang mulai mengering di sudut bibir Bang Ahnan, Bang Ahnan hanya memperhatikanku sesekali meringis perih.

Setelah selesai membersihkan lukanya baru aki bertanya kepada Bang Ahnan siapa laki-laki tadi.

“Dia Andri orang yang memasukkan obat perangs*ng ke dalam minumanku malam itu.”

Jika aku tahu dari awal pasti aku ikut menghajar lelaki brengs*k  itu. 

Mobil mulai melaju lagi, kami berdua saling diam. Tidak ada percakapan lagi, Bang Ahnan mulai menunjukkan sifat cueknya lagi, mungkin itu jauh lebih baik.

Perjalanan dari kota tempat tinggalku, ke kota tempat Bang Ahnan bekerja menghabiskan waktu 12 jam lebih, melawati 500 kilo meter lebih. Makanya kami berangkat pagi-pagi, karena jauhnya perjalanan.

“Tidur saja Za, perjalanan kita masih jauh,” ujar Bang Ahnan.

Ah, masih peduli rupanya dia padaku. Aku memperbaiki tempat dudukku karena rasa tak nyaman mulai menyerang. Benar kata Bang Ahnan lebih baik aku tidur, tapi kasihan dia menyetir sendiri tidak ada temannya.

Aku membuka bungkusan permen yang tadi sempat di beli Bang Ahnan. Bang Ahnan melirik ke arahku yang memakan permen. “Buka satu untuk Abang boleh?” 

Aku membuka satu bungkus permen lagi lalu menyerahkan ke Bang Ahnan. Tapi bukannya menerima Bang Ahnan membuka mulutnya memberi isyarat agar menyuapnya. Kumasukkan permen itu ke dalam mulutnya tapi jariku di gigitnya. 

Sontak aku menjerit sakit, dan menampar lengan Bang Ahnan. Salah siapa yang menjahiliku, tanganku bekas menamparnya saja terasa 

Kami singgah untuk sholat di masjid yang kami temui, aku mengqadha sholat Zuhur sampai Isya,  karena aku sedang safar (bepergian).

Setelahnya kami berangkat lagi, Bang Ahnan bilang perjalanan masih sangat jauh. Selepas dari masjid terdapat rumah makan dan kami memang lapar jadi harus singgah lagi. 

Di dalam rumah makan kebanyakan laki-laki aku menjadi tidak nyaman sendiri, Bang Ahnan menyadari hal itu dari raut wajahku yang resah.

“Makannya jangan lama-lama biar cepat pergi,” ujar Bang Ahnan.

Berlama-lama? Bahkan aku merasa ingin pergi sekarang saja mengabaikan perut yang lapar. Tapi aku berusaha menurunkan ego, aku duduk sedikit bersembunyi di balik tubuh Bang Ahnan. 

Aku malu di lihat oleh laki-laki yang juga sedang makan di sana, pakaian mereka aneh, serba hitam juga terdapat tato di badan mereka membuat hal itu semakin horor aku lihat.

“Kenapa tidak di habiskan?” tanya Bang Ahnan ketika melihat nasiku masih tersisa cukup banyak. 

“Kenyang.” 

Setelah membayar kami bergegas kembali ke mobil. Mobil di pacu deras karena jalanan yang lenggang. Mobil kami memasuki jalanan yang sepi rumah penduduknya, bisa di katakan masih banyak hutannya.

“Di sini sering ada pembegalan, jadi kamu banyak-banyak berdoa,” ujar Bang Ahnan di sela-sela menyetir.

Aku melotot setelah mendengar hal itu, aku merapalkan doa-doa sebanyak yang aku bisa. Di jalanan yang sepi ini kami bertemu seorang wanita tua bungkuk badannya.

“Bang tolong nenek itu, kasih tumpangan,” ujarku.

“Itu cuman modus Firza.”

Bisa-bisanya Bang Ahnan berkata seperti itu mana mungkin wanita itu berniat melakukan kejahatan, aku melihat ke arah belakang wanita tua tadi sudah kami lewati. 

Aku menatap sinis ke arah Bang Ahnan, kenapa dirinya tidak memiliki rasa kemanusiaan kepada orang lemah seperti itu.

“Nanti pasti ada lagi orang-orang seperti itu. Lagian di sini tidak ada rumah kenapa dia bisa ada di jalanan seperti ini. Bukannya Abang gak kasihan.”

“Kalo benar dia bukan orang jahat, berarti Abang sudah suudzon.”  

Tak lama kemudian kami berjumpa lagi dengan sepasang Kakek dan Nenek yang sedang berjalan tertatih.

“Tuh lihat ‘kan ada lagi orang yang kayak yang di sana tadi,” ujar Bang Ahnan.

“Memang apa yang mereka lakukan?” tanyaku penasaran.

“Dulu ada gosip jika di jalan ini ada yang di begal, lehernya di gorok. Mobilnya di bawa kabur. Mereka melakukannya berkelompok. Memakaikan kedok kepada lansia-lansia seperti yang kita temui tadi.” Bang Ahnan menjelaskan.

Miris sekali gosip itu, jika ada yang benar-benar kesusahan kasihan sekali karena gosip itu.

*** 

Aku merasa ada yang menepuk-nepuk pipiku, aku membuka mata. Ah, ternyata aku tertidur. Bang Ahnan wajahnya sangat dekat denganku. Aku mendorong wajahnya, dan bertanya sekarang di mana.

Ternyata sudah sampai di kontrakkan Bang Ahnan. “Mau turun sendiri? Atau kalo mau bisa Abang gendong,” ujar Bang Ahnan.

Aku menenangkan diri mencari perasaan enak setelah terbangun dari tidur, “Turun sendiri saja, aku bukan anak kecil pake di gendong segala.”

“Kamu kayak Shiva, ‘Aku bukan anak kecil paman ....’ tahu ‘kan kartun itu?” Bang Ahnan meniru suara Shiva.

Hampir saja aku tertawa mendengar guyonan Bang Ahnan barusan. 

Kami masuk ke dalam kontrakan yang cukup luas, Bang Ahnan tidak membiarkan aku membawa barang-barang milikku, karena dialah yang membawa semuanya masuk.

Waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam, aku bingung sebenarnya mau mandi karena badanku yang lengket tapi aku takut kedinginan.

“Kalo mau mandi ada shower air panas di kamar mandi,” ujar Bang Ahnan.

Kenapa dia selalu tahu setiap permasalahanku? 

Di kontrakan ini kamar mandinya bersatu dengan kamar, aku mencari handuk yang masih berada di dalam tas lalu kemudian masuk ke kamar mandi.

Bagus! Bagus sekali Firza! Aku lupa membawa baju ganti. Sekarang aku sudah selesai mandi dan apa harus keluar dengan handuk yang pendek ini. Karena aku juga salah bawa handuk, handuk yang aku pakai untuk mengeringkan rambutku jadi ukurannya jauh lebih kecil dari handuk yang biasa melilit badanku, kebetulan warnanya sama.

Aku keluar kamar mandi, toh sekarang Bang Ahnan sudah menjadi suamiku. Aku harap dia sudah tidur, harusnya dia kelelahan karena jauhnya perjalanan yang di tempuh.

Ah, aku kurang beruntung Bang Ahnan sedang duduk bersandar di atas ranjang dengan memeriksa handphonenya.

Bodo amat! Aku segera mencari bajuku, lebih sialnya lagi bajuku belum di keluarkan sedang tas bajuku berada di dekatnya.

“Firza, kamu niat banget ya mau goda-in Abang,” ujar Bang Ahnan menatapku lekat. 

“Siapa yang mau menggoda?” tanyaku ketus.

“Tapi kamu menggoda banget Za, pake handuk mini itu,” ujar Bang Ahnan dengan nada jahil juga senyum nakalnya.

Mataku mendelik mendengar penuturan Bang Ahnan, aku sudah menemukan semua kebutuhanku tinggal ganti saja di dalam kamar mandi.

“Mau ganti di mana? Kenapa gak ganti di sini saja,” ujar Bang Ahnan, aku khawatir akan dirinya yang mulai sedikit miring.

“Ishh! Abang kenapa sih? Aneh banget tahu!” 

Aku masuk ke kamar mandi dengan perasaan dongkol di tambah aku mendengar tawa Bang Ahnan. Menyebalkan sekali kamu Bang!

Sesudah berganti baju aku ikut berbaring di samping Bang Ahnan yang matanya sudah terpejam, aku menarik selimut yang di terimpit oleh badan Bang Ahnan.

“Bang ... minta selimut aku dingin.”

Bang Ahnan membuka matanya lalu beringsut mendekatiku. “Abang peluk aja kalo dingin ....”

Aku menggeliat dalam pelukan Bang Ahnan, tapi dia malah memperkuat pelukannya, aku kalah tenaga dengannya. “Bang aku gak suka di paksa!” 

Barulah Bang Ahnan melepas pelukannya dan menyelimuti aku, dia menarik bantalnya ke samping bantalku. 

“Firza, kalo kamu ada dengar jendela di ketok-ketok jangan di buka ya,” ujar Bang Ahnan dengan sedikit berbisik.

Aku melotot mendengarnya, mana mungkin juga aku seberani itu membuka jendela karena ada yang mengetok. “Memangnya kenapa?”

“Sudah diam. Tidur saja,” ujar Bang Ahnan.

*** 

Aku terbangun ketika pasokan oksigen terasa habis, aku menemukan Bang Ahnan duduk di sampingku, dengan setelah mau sholat.

Ternyata Bang Ahnan memencet hidungku itulah kenapa aku merasakan sesak, apa tidak ada cara lain?

“Udah subuh ya Bang?” 

“Sholat gih kalo Abang sudah, tadi ke masjid dekat sini?” ujar Bang Ahnan.

Bang Ahnan sudah sholat subuh dan sekarang sudah ada di rumah, jam berapa sekarang? Aku memeriksa ponselku itu melihat jam, aku meraba-raba di bawah bantal tidur. Sudah pukul setengah enam lewat, berarti aku kesiangan.

“Abang kenapa gak banguni aku?” Aku memarahi Bang Ahnan.

“Sebelum berangkat Abang sudah banguni kamu, kamunya Cuma heem-heem aja.”

Aku segera ke kamar mandi dan melaksanakan sholat subuh yang kesiangan ini, aku merasa sangat berdosa ketika telat melakukan kewajiban sebagai muslim dan aku sudah melalaikan kewajibanku. Mataku terasa berat karena mengantuk dan merasa belum tidur puas.

*** 

BACA JUGA : 

“Bang ini kita mau makan apa? Gak ada bahan yang bisa di masak.” Aku mengadu kepada Bang Ahnan.

Bang Ahnan tampak berpikir seraya memegang perutnya, “Pagi ini beli makanan jadi aja, nanti sepulang dari kantor Abang beli bahan masakan.”

Bang Ahnan meraih kunci mobilnya, aku menunggu duduk di kursi kayu di teras kontrakan. Terlihat ada dua orang Ibu-ibu memperhatikanku sambil berbisik-bisik. Ada apa denganku? Ada yang salah? Aku memilih cuek saja, bodo amat dengan pikiran dan anggapan mereka.

Terlihat jelas sekali mereka membicarakanku, aku mulai merasa tidak nyaman. Nyatanya Ibu-ibu tadi masih betah mengoceh dengan sesekali mencuri pandang ke arahku. Apa-apaan dengan tatapan sinis itu? Aku memilih masuk saja daripada terus di perhatikan oleh dua wanita berdaster itu.

Bang Ahnan sudah tiba dengan menenteng plastik berwarna hitam, “Yang ada Cuma gado-gado sama lontong sayur, kamu sukanya sama gado-gado jadi Abang beli itu buat kamu, nih.” 

Aku menerima gado-gado tersebut, dan meletakkannya di atas meja. Aku ke dapur mengambil 2 piring dan 2 sendok.

Kami makan dengan duduk di lantai dan terdapat meja kecil yang menjadi tempat meletakkan piring makan.

“Suka gado-gadonya?” tanya Bang Ahnan.

“Suka,” jawabku

“Kalo sama Abang?” tanya Bang Ahnan lagi, aku melipat dahi kebingungan dengan pertanyaan yang  di lontarkannya barusan.

“Gak jadi, gak usah di jawab,” ujar Bang Ahnan.

Aku melirik ke arah lontong sayur punya Bang Ahnan, karena dia suka itu. “Mau?” tawar Bang Ahnan. Aku mengangguk malu-malu karena aku memang kepengen melihat lontong sayur itu.

Aku memasukkan potongan lontong ke dalam mulut. Ah, enak sekali rasanya, aku pengen minta lagi tapi aku malu.

Aku mengantar Bang Ahnan di depan pintu karena Bang Ahnan hendak pergi ke kantor. 

“Jangan ke mana-mana diam di  dalam kontrakan saja, kamu belum tahu betul seluk beluk tempat tinggal di sini,” ujar Bang Ahnan sambil memasang sepatu.

Dari dulu aku selalu betah berdiam diri di rumah, karena hakikat perempuan itu harusnya memang senang di rumah. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan Rabb-nya, adalah di dalam rumah. 

“Iya, lagian kalo keluar mau ke mana juga?”

“Ahnan! Udah pulang. Eh? Siapa itu?” 

Aku melihat ke arah kontrakan sebelah terdapat seorang laki-laki dengan pakaian formalnya. Terlihat seperti hendak pergi bekerja juga.

“Istri aku Man!” sahut Bang Ahnan.

“Gak percaya aku Nan!” ujar orang yang bernama Firman itu.

“Gak percaya? Ni lihat ....” Bang Ahnan mengecup pipiku sekilas. Aku membatu di tempat, perasaan kikuk menyerangku. Belum lagi jantungku yang berpacu kuat, kenapa Bang Ahnan menciumku tiba-tiba.

“Masih gak percaya?” tanya Bang Ahnan kepada temannya.

“Wah parah nikah diam-diam aku gak di kasih tahu lagi, eh berapa umurnya?” tanya Firman.

“Baru tamat SMA juga,” jawab Bang Ahnan.

“Ih pedo kau Ahnan! Kok bisa nikah sama yang masih ABG?” cerocos Firman.

“Enak aja, aku bukan pedo! Panjang ceritanya kalo di ceritain. Ayok berangkat!” 

Aku menyalami tangan Bang Ahnan, lalu masuk dan mengunci pintu. Teman Bang Ahnan Firman tadi, ternyata berangkat kerja dengan mobil Bang Ahnan. 

Saat aku sedang berkutat dengan laptopku di dalam kamar, ada yang mengetok-ngetok jendela kamar. Terkejut, tentu saja aku terkejut. Siapa gerangan yang mengetok jendela di siang hari begini. Hantu tidak mungkin, aku mengambil kursi meja rias lalu mengintip siapa yang berada di luar jendela.

Laki-laki dengan rambut kribo baju lusuh dan celana semrawutan. Di lihat dari ciri-cirinya seperti orang gila. Setelah mengetuk sebentar orang tersebut pergi ke kontrakan lain dan melakukan hal yang sama, mengetok jendela. Ternyata ini yang di bilang Bang Ahnan tadi malam.

*** 

Hari sudah sore dan sudah dekat waktu pulangnya Bang Ahnan. Benar saja pintu depan ada yang mengetok. Aku segera berjalan ke pintu depan, namun aku mengintip dari balik tirai siapa yang datang takutnya bukan Bang Ahnan.

Lagi-lagi aku terkejut karena orang gila tadi yang datang, dia mengetok-ngetok pintu dan menerjang-nerjangnya seperti orang gila, ya sepertinya dia memang gila.

Aku mundur beberapa langkah dan terduduk di pojok, aku takut jika pintu itu di dobrak orang itu. Aku berharap Bang Ahnan segera pulang dengan cepat. 

“Hei!!” teriak orang dari luar.

Orang gila tadi sepertinya lari, setelah ada yang meneriakinya.

Kali ini suara Bang Ahnan dapat aku tangkap di pendengaran, ya tidak salah lagi itu suara Bang Ahnan. Aku memeriksa lagi di balik tirai ternyata benar, aku bergegas memutar kunci. Berarti tadi orang yang berteriak adalah Bang Ahnan.

“Bang! Apa tadi itu orang gila? Bang kenapa dia seperti itu aku takut!” 

Entah sadar atau tidak nyatanya sekarang aku memeluk Bang Ahnan, mencari perlindungan di badannya yang tegap. 

“Za, kalo mau peluk-pelukan di dalam aja. Jangan di luar, masuk dulu ....”

Aku memukul dada Bang Ahnan pelan, kesal karena ucapannya. Apa dia tidak tahu aku sedang ketakutan? Ini malah menjahiliku. 

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama