Di sebuah kerajaan megah dahulu sekali, hiduplah keluarga raja beserta para rakyatnya yang sangat berbahagia. Mereka memakan daging sapi sebanyak tiga ember tiap harinya, mengobrol dengan tersenyum, memanjakan badan ketika matahari senja, berceloteh gembira menikmati sejuknya udara di pagi hari, dan lain-lain.
Namun dibalik semua kebahagiaan tersebut, ada satu kesedihan terkelam yang masih berusaha ditutup-tutupi. Di istana itu terdapat ruangan kecil di bawah tanah. Terbaringlah seorang perempuan cantik di sana dengan kasur empuknya. Matanya terpejam, tidak ada nafas sama sekali.
Ketika hidup dia memiliki sifat jahat. Sikapnya buruk sehingga membuat para Malaikat marah. Mereka memutuskan mengambil jiwanya yang kotor itu untuk dibuang ke tempat jauh yang tak dikenal. Para malaikat melakukan pensucian.
Tapi sampai detik ini si wanita belum tersadar juga. Raja dan Ratu terus berharap sang anak dapat kembali menghirup udara segar.
***
Yati adalah seorang bocah kecil berusia sembilan tahun. Dia hidup di desa kecil di ujung kota. Dia anak tunggal, namun ibu dan ayahnya sama sekali tak memperlakukannya sebagai kesayangan.
Hari-harinya diisi oleh siksaan dan tindasan. Dia dianggap tak lebih baik dari najis.
Suatu hari dia kebanyakan memasukkan garam ke sepanci sop. Berakhir dengan sang Ayah menyiksanya habis-habisan menggunakan slepetan. Lalu dia dibawa ke ruang kecil bawah tangga dan berdiam selama seminggu tanpa makan dan minum di sana.
Satu-satunya hal yang dia inginkan di dunia ini adalah pergi. Pergi dari tempat yang tersiksa ini, dan jika mati adalah solusi pergi, dia tak akan keberatan untuk mendapatkannya.
Dua bulan kemudian sang Ibu melahirkan seorang bayi laki-laki yang telah lama dikandungnya. Yati sangat menyayangi bayi itu dengan sepenuh hati. Dia mendongengi si bayi ketika waktu tidur, menyuapinya ketika makan siang, dan mencium keningnya setiap saat. Tapi dia sedih dan khawatir takut bayi itu bernasib sama dengannya suatu saat.
Di lain sisi sang Ibu juga menyayanginya. Tapi Ayah tidak. Dia terus bergumam tidak jelas dan mengatakan bayi itu makhluk buruk rupa yang lebih baik dimusnahkan saja.
Sebab ini hubungan Yati dengan sang ibu membaik. Mereka bertiga tidur bareng sambil menyanyikan lagu-lagu dongeng kuno yang mengantukkan.
Siang hari itu terasa panas. Yati menjemur pakaian dengan perasaan was-was karena sang Ayah memperhatikannya sambil merokok. Sekali-dua kali Yati menatapnya. Ayahnya itu tengah mabuk, tangan kirinya memegang sebotol bir rasa anggur. Setiap kali dia meminumnya kepalanya selalu bergetar.
Dan kemudian Ayah datang mendekat ke arah sang anak dengan langkah kaki sempoyongan. Tangan Yati tiba-tiba tertarik, dan dia dibawa masuk ke dalam rumah. Dia terus berusaha melepaskan genggamannya namun hasilnya sia-sia.
Sang Ayah membawanya ke kamar. Di sana dia memaksa Yati untuk membuka baju. Yati menolaknya keras, membuat beberapa kain bajunya tersobek.
“Ayo, buka dasar anak terkutuk!”
“Tidak, Ayah, jangan!!!” kata Yati. Selanjutnya Yati berteriak kencang sekali.
Karena suara tersebut sang Ibu masuk ke kamar. Wajahnya ternganga melihat apa yang terjadi. “Dasar kamu lelaki bajingan! Apa yang tengah kamu perbuat, hah?” Dia menarik kerah baju sang suami, dan keluar.
Dalam kamar Yati dia mendengar sumpah serapah dari kedua orang itu. Dia menutupi kupingnya degan bantal. Dia mengerutkan alis memikirkan apa yang ingin Ayahnya perbuat tadi. Dia terlalu kecil dan terlalu muda untuk mengerti. Dan sambil terus berpikir lama-lama dia tertidur.
Matanya disilaukan oleh cahaya yang datang dari arah seberang. Dia terpaksa terbangun. Dia mengusap matanya berkali-kali supaya bisa melihat dengan jelas.
Cahaya itu lama-lama memudar dan menyisakan sebuah pintu kecil berwarna cokelat. Yati terbingung, dia lalu pelan-pelan menjauh dari kasurnya dan menghampiri pintu itu.
Yati terdiam di ambangnya. Tangannya menyentuh dagu, “Ini apa ya? Kenapa ada pintu di sini?”
Ragu-ragu kakinya melangkah kembali dan tanpa sadar dia sudah disedot masuk oleh pintu itu. Ada sensani menganehkan sebelum badannya mendarat di tanah yang lunak. Malam hari menggelapkan penglihatannya. Dia melihat sekeliling. Rumahnya itu tertampak tak jauh dari sana. Dan dia teringat letak tanah ini.
Ini cuma tanah kosong dengan pohon-pohon kering yang berada lima belas meter dari rumahnya.
Lalu dia menemukan cahaya lagi. Cahaya itu lebih kusam, dan ada satu terowongan di baliknya. Dia terbingung, sebelumnya itu hanyalah lubang besar yang ditutupi batu-batu.
Yati memasuki terowongan itu. Itu adalah terowongan yang panjang dan menakutkan. Tubuhnya merinding seketika. Dia sudah berjalan sejauh puluhan meter dan belum menemukan apa-apa.
Sampai akhirnya dia tiba di ruangan luas yang memundar. Dia terpaku memandanginya. Dan dia berjalan berkeliling sambil berkata, “Hello, ada orang di sini?”
Beberapa waktu kemudian disaat dia memutuksan untuk kembali, tak lama dia melihat siluet bayangan yang berjalan dari arah kosong ruangan lain.
Langkah-langkahnya memperlihatkan siapa bayangan itu. Dia adalah makhluk aneh semacam monster dengan satu mata di kepalanya. Kulitnya seperti pohon, giginya tajam bertaring semua. Dan dia tersenyum.
Yati memundurkan kaki dan berusaha kabur.
Namun sebelum itu makhluk itu berkata, “Hay, sobat kecil, jangan takut. Aku ini baik. Baaaik sekali. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sini kemarilah.” Dia mengulurkan tangannya.
Yati dengan tampang takut menerima uluran itu.
“Baik, anak pintar, kau sungguh anak pintar. Ohhh, sudah lama sekali aku menunggu momen ini. Perkenalkan, nama aku Elf. Dan kau pasti Yati.”
Yati mengangguk.
“Hah. Benar kan kubilang, tapi tak usah dipikirkan, semua kerajaan juga tahu.”
Mata Yati menyipit. “Kerajaan?”
“Yeahh, apa kau tidak tahu?”
Yati menggeleng.
Elf menepuk jidatnya. “Oh bodohnya aku tak memberitahukan hal ini. Kau ini seorang yang istimewa.”
“Aku? Aku orang istimewa? Istimewa apanya, aku hanya anak dari seorang pemabuk yang suka marah-marah.”
Elf memutarinya. “Oh, mereka itu, benar-benar manusia tak tahu malu. Mana mungkin mereka memperlakukanmu seperti itu.” Elf kembali diam di hadapan Yati. “Nah, aku ditugaskan untuk bertemu denganmu. Aku disuruh membawamu ke tempat asalmu. Masalahnya waktunya mepet, masamu akan berakhir besok.”
“Apa maksudmu, aku tak mengerti.”
“Haduuuh, gini. Ehmmm,” Elf memikir sambil memandang cemas ruangan di sebelahnya. “Pokoknya apa kau ingin kembali ke tempat asalmu?”
Tanpa pikir panjang Yati langsung mengangguk.
“Nah, kalo begitu kau datang besok pada pukul setengah dua belas malam.”
“Apa kau serius?”
“Ya.”
Yati mengerutkan alis. “Sebentar, apa sebenarnya kau ini?”
“Jangan tanyakan yang itu terdahulu, waktumu benar-benar mepet. Bahkan sekarang. Ingat, besok kau datang ke sini dan bawa cairan darah yang masih suci.”
“Untuk apa?” tanya Yati dengan nyaring.
“Sssttt, jangan keras-keras. Untuk kumasukkan ke dalam lubang itu.” Elf menunjuk sebuah lubang yang terletak di tengah-tengah ruangan. “Dengan begitu kau akan kembali ke dunia aslimu. Ahhh, sudah, datanglah besok dengan tepat waktu sebelum jam dua belas, atau kau akan selamanya berada di sini.”
Tak lama terdengar suara gemuruh makhluk berlari dari arah ruangan yang dipandang Elf tadi.
Elf menatap Yati dengan tatapan cemas. Dan berteriak, “Lari!!!”
Yati berlari sekuat tenaga menembus terowongan itu. Di belakangnya adalah seekor banteng berkaki enam. Matanya merah menyala dan tanduknya keras bagaikan batu. Yati berlari lebih cepat lagi.
Di kejauhan Elf mengangkat tongkatnya. Dari tongkat itu terpancar sinar berwarna biru. Dia butuh waktu untuk melakukan ini. Dan sinarnya mengenai bokong si banteng dan ia terjerembab jatuh dengan keras.
Yati tak menyadari ini, maka dia terus berlari dan berlari sampai keluar dari terowongan dan menyentuh pintu itu. Dia terpental jatuh mengenai ujung kasur. Kepalanya terpusing dan dia membenarkan posisi badannya.
Pintu kamar terbuka, menampilkan kedua orang tuanya yang tampak panik. Mereka menghampirinya. Ibu berkata, “Ya ampun, habis kemana saja kamu, Ibu nyariin dari tadi.”
Sang Ayah menimpali dengan teriakan, “Ya, dasar perempuan yang menyusahkan!”
Yati menunjuk ke arah pintu itu. “Bu, Yah, lihat di sana, ada pintu aneh.”
Mereka berpaling dan tidak menemukan apapun. Sang Ayah menggeleng. “Lihat anak ini, sudah menyusahkan mengkhayal terus lagi. Akhhh.” Dia melemparinya bantal kasur dan keluar dengan mulut yang menyumpah-nyumpah.
Ibu menutup pintu kamar dari luar. “Tidur,” ucapnya dan pintu tertutup rapat.
Yati melanjutkan malam itu dengan senang sambil bertanya-tanya. Darah siapa yang patut dikorbankan? Dan dia teringat si bayi.
***
Keesokannya, pukul 11.30 malam.
Sepertinya ini hari sial untuknya. Si bayi tidak ditidurkan di kamarnya melainkan kamar kedua orang tuanya. Kadang hal itu memang terjadi. Perlahan-lahan dia menyusuri lantai kayu yang bergemeratak. Mengambil lalu mengendong si bayi.
Dia kembali lagi dan menutup kamar menggunakan kaki. Tanpa dia sadar sang Ayah bangun dan menyadari hilangnya si bayi. Dia terbangun akibat suara tutup pintu yang terlalu kencang.
Di kamarnya dia melihat pintu aneh itu lagi. Dia mengambil pisau di depan kaca riasnya. Sebelum melangkah dia memandang si bayi. “Tenang sobat, ini tak akan lama. Aku hanya ingin darahmu sedikit saja. Maafkan aku, tapi aku sudah tak kuat lagi hidup di sini.” Yati masuk.
Terowongan tak terasa menakutkan lagi seperti kemarin. Dia terdiam sebentar melihat mayat monster sapi di lantai terowongan.
Di ruangan bundar itu dia bertemu Elf yang tampaknya telah lama menunggu. “Akhirnya, kau datang juga,” ucapnya penuh riang.
“Kau yang membunuh sapi itu?”
“Tentu saja,” jawab Elf penuh percaya diri. “Nah, darah siapa yang akan kau pakai?”
Yati menyodorkan si bayi.
“Huuhhhh, darah bayi, kau sungguh berani kawan.”
“Tapi tunggu, berapa banyak darah yang akan digunakan?”
“Aku hanya membutuhkan tiga tetes darah suci.”
Yati berpikir sejenak. “Baiklah.” Lalu dia mengeluarkan sebilah pisau.
Namun Elf berbisik dengan suara rendah.
“Apa?”
“Lihat itu, di belakangmu. Tampaknya dia Ayahmu.”
Fitri memutar badan. Elf benar. Pria itu di sana sambil menggenggam erat sebuah pistol. “Kau benar-benar anak yang terkutuk,” katanya. “Sudah kuduga, suatu saat kau pasti akan kabur.” Dia mengarahkan pistol itu ke arahnya.
Yati menoleh dengan wajah takut. Jantungnya meronta keras sekali. “Elf, pakailah kekuatan sihirmu. Lenyapkan saja dia.”
Elf menjawab cepat, “Tak bisa sobat, sihirku tak bisa melenyapkan seorang dari dunia ini.”
“Bicara dengan siapa dasar kau anak idiot!” tegas sang Ayah.
“Elf, apa yang harus kulakukan!” Yati makin panik.
“Diamlah! Sekarang kau letakkan bayi itu,” kata Ayah. “Letakkan sekarang juga!”
Yati bimbang, dia sedang berada di sebuah ambang dilema. Keringatnya mengucur drastis, dan akhirnya dia pasrah. Dia meletakkan bayi itu. Dan dia menjauh dengan tangan yang terangkat. Pistol itu masih mengarah kepadanya.
“Kau memang tak layak hidup! Wanita yang menyusahkan, tak tahu diri. Menurutmu siapa yang mengurusmu hingga saat ini? Hah? Sudah, aku benar-benar muak denganmu… Tapi sebelum itu,” Ayah beralih mengarahkan pistolnya kepada si bayi, “akan kuselesikan dia terlebih dahulu. Suatu saat dia akan sama menyusahkannya denganmu.”
“Jangan!”
Yati melihat gerakan jari Ayah yang mulai menekan. Dengan sigap dia menerjang ke kiri, ke arah si bayi. Dan dia mendengar letusan pistol yang kemudian menghantam perutnya.
Yati terkapar di lantai dengan tak berdaya.
Dari belakang Ayah, sang Ibu mengangkat sebuah tang dan menempeleng kepala suaminya sampai dia tak sadarkan diri. Ibu lalu berjongkok di hadapan Yati. “Sayang, oh, tidak.”
Nafas Yati semakin sesak, dan dia tak bisa berkata-kata lagi. Dia sudah mati. Si bayi menangis.
Sementara itu, darahnya terus mengalir. Mengalir hingga menyentuh lubang kecil di tengah ruangan tersebut.
***
Yati terbangun. Dan ketika dia mendongakkan kepala, di depannya sudah ada puluhan orang yang tengah memandangnya. Orang-orang itu tampak mewah dengan pakaian ala-ala kerajaan.
Semua orang di sana memujanya, dan menyebut selamat datang kembali dengan kata-kata, “Tuan Putri.”
20 menit berlalu dan semua orang keluar dari ruangan. Yang terakhir adalah sang Raja dan sang Ratu yang mencium keningnya berkali-kali. Ratu menagis tersedu-sedu.
Tak lama Elf datang.
Yati masih tak percaya. “Apa yang terjadi Elf? Tolong jelaskan.”
Elf duduk di ujung kasur. “Kau sudah pulang. Malaikat mengizinkanmu. Darah itu masuk ke lubang. Mereka pastikan bahwa darah yang engkau miliki adalah darah suci. Mereka memasukkanmu ke dunia itu selama sembilan tahun dengan jiwa yang baru. Jiwa yang berpeluang untuk menjadi suci atau sebaliknya. Dan kau memilih yang pertama.”
“Dari mana mereka tahu aku memiliki darah yang suci?.”
Elf hampir terbahak. “Kau telah mengorbankan dirimu demi bayi itu. Itu adalah perbuatan yang sangat baaaik, Tuan Putri. Kau lah memang orang baik. ”
“Tapi kalo begitu kau mencuranginya.”
“Maksudmu?”
“Ya, kau menyuruhku mengambil darah suci yang lain.”
Elf tersenyum. “Soal itu aku tak bisa menjelaskan, Tuan Putri, aku hanya disuruh. Yang jelas kedua orang tuamu adalah manusia yang istimewa. Mereka hanya khawatir.”
Hening sejenak. Elf kemudian menjulurkan tangannya. “Tampak kau sudah cukup beristirahat. Apa kau mau berdansa denganku? Di luar mereka tengah mengadakan pesta yang luar biasa megah. Untuk mensyukuri kedatanganmu kembali.”
Dan betapa lucunya, ketika Yati balas menjulur dia baru tersadar. Itu bukanlah tangannya, tidak, tangannya tak seputih itu.
Kini dia berada di badan aslinya...