Fitri tentu setuju dengan keluarganya yang mengajak dia pergi berwisata ke pantai dalam rangka libur panjang tahun baru. Dan sekarang semuanya sudah siap dengan berada di dalam mobil.
Mobil kini dipenuhi oleh barang-barang yang menyenangkan seperti snack, makanan, tikar, bantal, kasur lipat, dan lain-lain. Mereka tahu ini bakal jadi perjalanan yang amat penting.
Fitri juga tidak bisa menolaknya. Karena ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, sesuatu yang selama ini dia hanya simpan. Dan sulit baginya untuk diungkapkan. Pernikahan.
Kali ini pikirannya berkata bahwa cukup sudah.
Mobil menyala, membuat komponennya seperti ac, ban, lampu, mesin mobil, pada ikut berfungsi dengan suara-suaranya yang aneh. Gas ditekan dan perjalanan pun dimulai.
Suasana hening dalam tiga puluh menit pertama. Mereka masih pada sibuk dengan gadgetnya masing-masing, kecuali sang supir-adalah Papanya Fitri sendiri-yang tengah membanting setir ke kanan dan ke kiri. Abangnya yang bernama Fajri, yang hanya terpaut umur dua tahun lebih tua darinya, memilih duduk di belakang. Sementara itu Mama duduk di samping sang suami, seperti biasa.
Jalan tol yang penuh nyala-nyala lampu kendaraan terlihat. Kecepatan tetap di 40 kilometer per jam, tapi entah bagaimana, terasa sama saja.
Papa mengalihkan pembicaraan tentang bisnis, lalu ke proyek kuliah yang sedang dikerjakan kedua anaknya. Mereka memang belum lulus. Fitri sendiri baru berumur dua puluh dua tahun.
Malam itu sunyi dan gelap. Gerbang demi gerbang mereka lalui begitu tak terasa dan menyenangkan. Lalu Papa membanting setir mobilnya, keluar dari jalan tol.
Fitri memajukan badan, dan bertanya, “Pa? Kapan kira-kira kita akan sampai?”
Papa menjawab dengan nada letih, “Besok pagi. Mungkin”
Fitri kembali menghempaskan badannya ke belakang. Tak lama dia teringat perihal apa yang mau dia sampaikan. Sebenarnya dia tak yakin kalau kedua orang tuanya bakal setuju, tapi apapun itu dia harus memberitahu mereka. Dan dia berharap sebuah hadiah seperti di balik tirai dalam acara-acara televisi.
Fitri mengatupkan kaki, memajukan badannya sampai menampak wajah Mama yang agak lelah dan mengantuk. Di kiri, Papa tenang dengan matanya yang terus berjuang agar tidak tertutup.
“Ehmmm… Ma… Mama.”
Mama menoleh kepadanya dengan malas. “Ada apa?”
“Jadi gini,” Fitri mulai melakukan kebiasaannya, yaitu menggigit jari kuku tangan. “Fitri mau ngomong sesuatu.”
“Mau ngomong apa?” Mama membenarkan posisi tubuhnya lebih tegak. “Ngomong aja.”
Hening sesaat, Fitri melanjutkan, “Ini penting-”
Papa mengubah gigi mobilnya ke depan. “Ya ngomong aja toh Fit. Gak usah tergagap begitu. Kek ngomong sama siapa.”
Jalanan di kedua sisi tampak sangat gelap. Tak ada cahaya baik di jalan ataupun dari mobil lain. Di luar, suasana hitam seutuhnya. Bahkan Fitri tanpa sengaja beberapa kali sempat melihat kelelawar atau burung hantu yang sedang bersarang di pohon-pohonnya.
Fitri berusaha menghilangkan rasa takut dan cemas, dan dia mengeluarkan suara. Suara serak seperti burung elang yang sudah tidak makan selama tiga hari, “Ak-aku,” dia menundukkan kepala, “aku mau nikah.”
Kedua orang di depannya itu syok dan langsung menatapnya dengan seksama. Mobil tadi sempat direm ketika dia mengucap kalimat tersebut.
“Apa kamu bilang?” Mata Papa tak berkedip.
Fitri memandang. “Aku mau menikah.” Kali ini kata-katanya jauh lebih tegar dan yakin.
Papa malah tertawa, menganggap ini semua sebuah lelucon. Mama kemudian berkata sambil bergeleng, “Nggak, Fit.. Apa-apaan? Umurmu masih belum cukup, dan kamu juga masih kuliah. Mau diapakan masa depanmu nanti?”
“Bu… tolong lah, kali ini aja Fitri diizinkan. Fitri udah cinta mati sama dia. Fitri gak mau menunda-nunda. Kalo soal kuliah, itu nanti bisa Fitri jalani bareng-bareng.”
“Enak saja kamu ngomong begitu, emangnya gampang jadi istri. Kamu tuh harus fokus.”
“Ya, betul, pikirin baik-baik,” timpal Papa. “Jelas Papa gak bakal mengizinkannya, sia-sia saja kuliah kamu.”
“Okey,” kata Fitri, “kenapa kalian juga ikut campur dan ngatur hidup Fitri segala sih. Fitri udah besar Mah, Pah. Fitri bisa memilih keputusan Fitri sendiri.”
Di belakang, abangnya menunjukkan pendapatnya, “Kalo aku setuju-setuju aja sih, Pa. Fitri benar, dia sudah besar.”
“Nggak, kamu belum bisa. Kalo Papa sama Mama gak setuju, ya nggak setuju. Titik.” Semua terdiam sebelum Papa akhirnya berkata, “Lagi pula kamu pacaran? Pacaran sama siapa kamu?” Dia menoleh ke Mama. “Mah, apa mama gak ingat pesan Papa waktu dulu. Anak kita gak boleh pacaran sama sekali.”
Mama membalas, “Kok Mama? Mama saja baru tahu sekarang.” Dia beralih memandang Fitri. “Kenapa kamu gak bilang sama Papa sama Mama. Siapa pacar kamu itu?”
“Untuk apa?”
Mama menghela nafas, “Mungkin, untuk Mama hajar nantinya. Berani dia meracuni anakku ini.”
“Kenapa Mama bilang begitu?”
“Katakan saja, Sayang. Siapa namanya?”
Fitri hampir tak menatap ketika dia berucap, “Namanya-” Perkataannya tiba-tiba terhenti oleh letusan keras dari luar. Mobil pun berhenti. “Apa itu?”
Semua membisu. Lalu Papa keluar untuk mengecek apa yang terjadi. Tak lama dia kembali dan berkata, “Ban mobil kita bocor.”
Mama menutup mulutnya. “Ya ampun. Terus gimana? Di sini gak mungkin ada bengkel.”
Papa menoleh ke sekitar sejenak. “Bukan masalah, Papa bawa ban serep. Kalian turun dulu, Papa akan mengganti bannya.”
Semua turun. Jalanan itu ternyata penuh dengan batu-batu kerikil kecil yang lancip. Fitri bisa merasakan di kakinya, dan sakit ternyata walaupun sudah dilapisi sandal. Dia menengadah, langit saat itu benar-benar gelap, tidak ada penerangan sama sekali kecuali dari cahaya bulan putih dan lampu sorot mobilnya yang memudar.
Di samping kiri tempat mobil diparkir, terdapat sebuah rumah tua yang terbengkalai. Catnya pada mengelupas dan lantainya kotor karena jatuhan dedaunan. Mereka duduk di teras, mengamati Papa yang tengah sibuk mendongkrak ban belakang mobil.
Fitri menampak sang Mama beranjak ke samping rumah. “Mau ke mana, Ma?”
“Kencing,” jawabnya.
Fitri melirik Fajri, lalu ikut Mama dengan bulu tangan yang merinding. Dia memasuki ruangan yang amat gelap. Dia menunggu Mama keluar habis itu menahannya sampai berhenti.
“Kenapa?” tanya Mama.
Fitri mencodongkan mulutnya ke arah kuping Mama. “Ma, Mama harus merestui pernikahan aku.”
Mama menahan nafas gelisah. “Nggak, Mama gak bakal setuju. Kamu itu masih kecil, jangan aneh-aneh deh.” Mama berjalan lagi, tapi tangannya langsung ditarik Fitri. “Apa sih kamu, lepasin.”
“Mama harus janji dulu. Mama bakal ngerestuin perkawinan aku.”
“Kenapa Mama harus begitu?”
Fitri sejenak menunduk menatap lantai. “Karena kalo nggak, Fitri akan membongkar semuanya. Termasuk… termasuk perselingkuhan yang Mama lakukan.”
Mata Mama tiba-tiba melotot. “Jangan main-main kamu ya. Kamu ngancem Mama? Hah?”
“Terserah Mama, ini semua bergantung pada Mama. Mama yang memutuskan.”
Mereka saling lotot-melotot selama beberapa menit sebelum akhirnya terpecah oleh suara klakson mobilnya Papa. Di sana Fajri telah duduk di dalam mobil. Tampak dia juga ikut membantu Papa mengganti ban.
Di balik setir Papa menoleh. “Aman semua? Bannya sudah aman.”
Mobil kembali melanjutkan perjalanan. Seiring berjalannya waktu, malam yang gelap dan sepi mulai tersingkir akibat baliknya mobil ke jalan tol. Kesepian tergantikan para pengemudi yang saling kejar-mengejar jalur.
Fitri berniat memulai topik yang tadi. Dia tak tahan seperti ini terus, dia butuh kepastian dari mereka. Maka dia menegakkan tubuh, lebih dekat dan lebih maju daripada yang sebelumnya.
“Pa, Papa mau tahu sesuatu?”
Papa membalas melirik, mengasih setengah fokusnya kepada sang anak. Fitri bisa melihat ekspresi Mama yang was-was. Keringat membasahi lipstik merahnya yang tebal.
“Fitri mau kasih tahu Papa suatu hal.” Sesekali dia menoleh ke arah Mama, menunggu tindakan dan keputusan yang akan dia beri. Tapi Fitri sudah menuggu lebih dari setengah menit dan Papa terus penasaran. Akhirnya dia memberitahu, “Sebenarnya, kalo Papa mau tahu…. sebenarnya, Mama itu-”
“Tunggu dulu!” Mama merentangkan kedua tangannya di hadapan Fitri. “Tung-tunggu, Fitri. Baiklah, biar Mama yang memberitahu.”
Papa jadi bingung dan bertanya-tanya. Fitri melipat tangannya lalu menyender.
Mama menarik nafas dalam-dalam, kemudian berbiacara dengan tatapan serius ke arah Papa. “Jadi, sebenarnya, Pa… Anakmu ini, Fitri. Dia hamil.”
“Hah?” Papa teriak syok.
Fitri terduduk tegap. “Maksud Mama?”
Mama memegang tangan papa secara halus. “Mama tahu, Pa, ini berat. Mama juga sakit, tapi itu yang terjadi.”
“Pa, pa, jangan dengerin-”
“Diam kamu!” Papa memberontak begitu kencang sehingga suasana menjadi hening. “Dasar anak kurang ajar!”
“Ya ampun, Pa. Aku gak sama sekali.”
“Selama ini kamu- kamu-ini-ini gak-gak mungkin.” Papa berusaha berbicara namun dia terlalu berlebihan, dan tangan kirinya memegang dada. “Kamu bukan anak saya lagi!”
“Pa, ini gak benar-”
“Dasar pelacur!”
“Papa ya ampun ini sama sekali-”
“Wanita gak punya harga diri.”
“Pa, dengerin dulu perkataan Fitri.”
“Jangan memanggil saya Papa lagi. Hati saya sudah terlanjur sakit.”
Dan tiba-tiba Papa terpanik dan memfokuskan perhatiannya ke jalan di depannya. Setirnya dibuat ke kiri dan ke kanan sementara pedal di bawahnya dia injak berkali-kali.
Papa berteriak minta tolong dan Mama bertanya apa yang terjadi. Suasana makin panik dan tegang. Lalu kemudian Papa membanting setir ke kiri, keluar dari jalur. Pohon besar di hadapannya berdiri kokoh berwarna cokelat setelah tanjakan yang cukup curam.
Sebelum menabraknya, tubuh Fitri tertarik ke belakang. Dan selanjutnya yang bisa dia rasakan hanyalah kegelapan.
Fitri tersadar tubuhnya ditepuk dan ditarik oleh kedua tangan yang kuat. Dia membuka matanya. Posisi mobil kini terbalik. Dia bisa merasakan kucuran darah merah yang mengalir di pelipis dan seluruh tubuhnya. Telinganya tidak bisa mendengar apapun untuk sesaat. Para orang di luar itu terus menariknya sampai dia berhasil keluar. Kepalanya pusing waktu orang-orang itu berusaha membantunya berdiri.
Kakinya terlemas dan badannya ditopang seseorang. Pendengarannya berfungsi kembali dan dia hampir terkaget mendengar suasana dan kekacauan yang terjadi. Orang-orang berbaju orange saling berlari menarik korban dari dalam mobil. Jelas itu Papa dan Mama.
Dia melihat lebih jelas, mereka dibungkus dengan terpal orange lalu ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam mobil ambulans. Mereka jadi mayat.
Fitri menelengkan kepala ke atas. Menatap seseorang itu. Fajri. Dia tersenyum melalui wajahnya yang tertutup banjiran darah. Dia memeluknya.
Fitri melepas, menatap, kemudian berkata, “Apa yang terjadi? Kau yang membuat semua ini?”
Fajri mengangguk singkat. “Aku yang diam-diam membuat remnya blong saat pergantian ban tadi.”
“Kenapa?” lirih Fitri.
“Aku sudah yakin mereka tak akan pernah merestui hubungan kita.” Dia tersenyum, walaupun tak kelihatan seperti itu. “Kau tahu, tindakan kita sebenarnya idiot menanyai hal itu. Tapi tak apa, yang terpenting sekarang adalah tidak ada yang mampu memisahkan kita lagi.”
Mereka berpelukan semakin mesra. Dan mulut mereka menyatu, menyatu di tengah kekacauan yang membahagiakan.