Tahun 2089

Seorang lelaki berbaju gelap duduk di sebuah meja tempat makan. Kepalanya yang plontos diusap setelah melepas topi. Orang itu memiliki alis tipis putih dan mata warna biru sebesar bola bekel. Badannya tidak gendut, tetapi besar. Dia tengah menunggu seseorang. Lencana kuning yang terpasang di dada kirinya berkilau seperti matahari terbit.

Tak lama datang seorang lelaki dengan baju yang sama dari arah meja pemesanan. Tangannya membawakan nampan berisi kopi dan sepiring kentang tipis yang cuma mampu membuat perut kenyang dalam beberapa menit. Dia menaruh nampan itu di atas meja, lalu duduk di hadapan lelaki berkepala plontos tersebut. 

Dia tampak lebih muda dengan rambutnya yang gelap dan bergelombang. Topinya diikat di samping gesper. Dia berkata, “Cuaca di luar dingin, hah?” dia mengulurkan segelas kopi kepada temannya, dan mulai memakan kentang gorengnya yang panas.

“Yeahhh. cuaca memang selalu seperti itu. Tak ada yang bisa diubah kecuali kau punya cukup banyak penangkal awan.” Pria berkepala plontos menyeruput kopinya dengan nikmat.

Hening sesaat. Dan tv yang tergantung tak jauh dari mereka menyala penuh misteri. Itu adalah siaran berita sore hari. Presenter, dengan background cuaca gelap, berkata soal kasus-kasus yang terjadi di kota itu.

POSTINGAN POPULER:

“Tidak pernah tenang, hah Joni?” kata si pemakan kentang.

“Tak akan pernah.” Joni menggeleng. “Bagaimana pagimu hari ini, Folsen?”

“Tidak buruk. Akhirnya aku kembali bisa mencatat kecepatan para pengendara lagi, setelah menangkap anak-anak mabuk di gang sempit. Kau tahu, kota ini membutuhkan lebih banyak polisi.”

Joni menyeruput dan meniup-niup kopinya yang masih panas, menyengir mendengar perkataan itu. “Yeahhh, tapi orang-orang di gedung mewah itu punya tangan yang pendek. Tidak mau bahkan untuk membayar pengangkut sampah. Warga pada mending memilih menjadi pencuri.”

Folsen sudah menghabiskan setengah kentangnya. “Bagaimana denganmu, apa kau pernah bertemu dengan penjahat-penjahat itu? Ceritakan yang paling parah.”

Joni hampir tertawa mendengar pertanyaan dari anak muda ini. “Aku sudah bekerja jadi polisi ini selama tiga puluh tahun, Folsen. Dan aku tidak bisa memilih mana yang paling buruk di antara semuanya. Kau akan merasakannya nanti.”

Folsen menarik nafas, tidak suka jika diperlakukan seakan-akan dia tak  punya pengalaman sama sekali. “Joni, boleh kutanya kau sesuatu?”

“Tanyalah.”

“Tapi kau harus yakini aku, bahwa kau tak akan tersinggung.”

Joni merentangkan kedua tangannya ke samping. “Aku adalah orang tersantai di dunia ini.”

Hening sesaat, sebelum berbicara Folsen memajukan badan. “Berapa umurmu sekarang?”

“Itu saja? Tak masalah, anak muda sepertimu memang banyak rasa penasarannya. Lima puluh tiga.”

“Bukan, yang ingin kutanyakan sebenarnya adalah, bagaimana orang sepertimu di umur yang sekarang ini, belum menikah dan tak punya anak sama sekali. Maksudku, sebelum aku memiliki istri juga anak, aku punya riwayat cerai satu kali. Dan kau masih memanggilku anak muda.”

Joni tak langsung menjawab. Sejenak Folsen cemas dia akan marah, tapi kemudian dia membuka mulut, “Dengar, nak. Kau tidak boleh membandingkan dirimu dengan orang lain, apalagi di dunia yang seperti ini sekarang.”

“Tapi apa alasanmu berbuat begitu?”

Joni menarik nafasnya panjang-panjang. “Aku percaya,” suaranya lemah dan bergetar, “dunia ini tak cukup baik untuk bisa diselamatkan. Orang-orang zaman dulu mungkin mengharapkan dunia di masa depan adalah dunia di mana ada belalai yang bergerak atau mobil yang bisa terbang dengan kedua sayap berkepak-kepak. Tapi tidak, tak ada yang berkembang, malah jauh lebih buruk. Jangan berekspetasi terlalu banyak, aku menyarankan.

POSTINGAN POPULER:

Aku berpikir, bagaimana ada seorang yang,” dia menjeda kalimatnya, sebelum melanjutkannya dengan nada yang semakin menggetar, “yang begitu tega melahirkan seorang anak ke dunia yang amat kejam ini, dunia yang hanya ada dua hal. Penderitaan dan keserakahan. Jangan buta di zaman ini, aku bisa melihatnya. Anak-anak di usia belasan tahun yang membunuh orang-orang di pinggir jalan. Orang yang berputus asa merampas dan menjarah uang di bank-bank. Yang jelek dan buruk rupa saling merebutkan wanita cantik untuk diperkosa. Tak ada yang memiliki harapan sedikitpun. Yang miskin membenci yang kaya, begitu juga sebaliknya. Sudah terlalu banyak dosa di sini.

“Dan aku, aku hanya tidak mau jadi bagian pemberi dosa itu. Aku tak mau melahirkan anak ke dunia ini. Karena aku takut dia akan menderita. Aku takut ketika aku tengah bertugas, tiba-tiba aku melihat anakku jadi salah satu dari anak-anak pembunuh itu. Dan jika dia terlalu suci untuk melakukannya, aku tak mau dia jadi korban-” Dia memberhentikan kalimatnya dan menyender. Menyeruput kopinya kembali.

“Tak peduli dengan itu, lihatlah, kau sudah tua, apa kau tidak membayangkan bagaimana nasibmu di penghujung hidup nanti? Kesepian?”

“Kau tak mengerti, Folson.”

Folson menggebrak meja, tak terlalu kencang. “Hey, orangtua, jangan pernah meremehkanku.”

“Dan kau sepatutnya tak mengajariku. Tapi kau akan mengerti Folson, dalam waktu dekat. Aku percaya dengan kemampuanmu. Aku hanya mau berpesan kepadamu, ajari anakmu sebaik mungkin, senangi dia, dan jauhkan dia dari penderitaan dan kekejaman dunia ini.”

Folson menatapnya sinis, seperti mengacuhkan saran tersebut. Dan terdengar suara masuk dari talkie-talkie yang terlampir di pundak Joni.

Dia mendekatkan ke mulutnya. “Ada apa?”

“Periksa jalan Louis di sudut toko kaset. Ada tindakan kriminal di sana.”

“Tindakan macam apa kalau boleh tahu.”

“Siapapun ini, kau tak dibayar untuk bertanya. Angkat pantatmu dan segeralah pergi ke TKP!” 

Dia melampirkan kembali benda itu, dan berdiri. “Sepertinya ini akan menjadi pertama kalinya aku bekerja dengamu, anak muda.”

Folsen ikut bangkit. “Akan kutunjukkan siapa diriku.”

Mereka masuk ke dalam mobil. Cuaca dingin, dengan salju keras yang terus mendera. Petir dan kilat-kilat menyambar dari berbagai penjuru, dan warna langit semakin gelap. Joni menyetir ke arah tujuan dengan lampu sirine menyala yang mampu menyingkirkan mobil siapapun di depannya. Kecuali jika ada mobil pejabat dengan platnya yang beda sendiri.

Setelah sampai mereka turun. Terlihat di sana ada sekumpulan orang-orang bermantel hitam yang tampak penasaran. Joni menerobosnya, dan dia terpaku. Folson mengikut, lalu menutup mulutnya sampai hampir memuntah.

Mereka tengah melihat mayat mati. Diperkirakan umurnya baru belasan  tahun dari kulit dan tinggi badannya. Wajahnya hancur tak berbentuk, dihiasi oleh darah-darah yang membeku. Matanya copot satu, dan menggelinding ke turunan sebelum diinjak orang iseng. Tangannya terpisah beberapa meter dari yang seharusnya. Mantel di badannya robek, menampilkan perut kurusnya yang terlilit usus, macam kabel rental. 

Kepalanya copot, dan di pipinya sebuah tulisan terbaca: PERGILAH KE NERAKA, dengan irisan pisau yang tajam.

Folsen masih berusaha menahan, “Ohhh, kawan, apa itu, mustahil! Ya ampun apa yang dia lakukan terhadapnya.”

Tapi Joni hanya menekan pinggang dengan tatapan serius. Dia sudah melihat yang seperti ini berkali-kali. Seorang polisi lain menghampirinya. “Pak, ini terjadi beberapa menit yang lalu. Dia dihabisi oleh pemuda-pemuda bandel itu. Mereka berkendara cepat sebelum bisa dikejar.”

“Kau tahu penyebabnya?”

“Entah, mungkin hanya masalah sepele kayak wanita dan semacamnya. Tapi jelas dia anak yang malang. Orangtuanya pergi meninggalkannya, dan dia sendirian di rumah dengan segala depresi yang dimilikinya. Tetangga sebelah yang memberinya makan. Tampak dia tak disukai oleh teman-teman seumurannya.”

“Baiklah, terima kasih, kirim tim forensik ke sini.”

“Siap, pak.” Polisi itu pergi. 

Joni berbalik, partner kerjanya, Folsen, sedang menekan perutnya di kab mobil. Dia mendekat. “Bagaimana, anak muda?”

Folsen menghadapnya dengan tampang urak-urakkan. “Kacau, benar-benar kacau. Sekarang aku berharap mau keluar dari pekerjaan ini.”

Joni menatap aspal yang licin. “Apa kata-kataku tadi masih belum cukup logis?”

“Ya, aku jadi lumayan mengerti. Ahhh, tuhan.” Lambungnya terus-terusan membuatnya “Uek” berkali-kali. “Menurutmu, ini bisa diselamatkan?”

POSTINGAN POPULER:

“Apanya?”

“Dunia yang kau bicarakan.”

“Oh, sangat sulit… kecuali…”

Mereka terdiam. 

“Kecuali apa?”

“Kecuali cukup banyak orang-orang seperti kita. Orang-orang baik yang peduli dan penuh simpati. Tampak mustahil berharap begitu.” Dia mendongak, memandangi langit yang gelap. “Jika aku berada di dunia di mana ada awan cerah, dahulu sekali. Aku akan membeli banyak toa dan memperingatkan orang-orang baik agar bertahan.”

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama