#cerpen
Yuantoro, lelaki yang sudah dua bulan menyandang status sebagai suamiku. Sah secara agama dan negara. Namun, hubungan kami tak selayaknya hubungan suami istri pada umumnya. Aneh tapi nyata, dinginnya frezzer saja kalah sama hubungan kami. Mungkin karena dijodokan, sehingga tak ada cinta apalagi nganu-nganu. Halah!
Di awal pernikahan aku sudah berusaha untuk akrab, tapi tanggapan dia anyep, dingin mirip es kado. Lama-lama aku bosan sendiri untuk sok manis, sok imut, dan sok-sokan yang lain. Dia diam, aku juga diam. Dia tak acuh, aku pun cuek bebek. Prinsipnya 'gue pake cara lo, gimana sikap lo, begitu pun dengan gue'. Impas, kan?
Tugasku sama seperti istri pada umumnya. Beberes rumah, cuci setrika, dan masak. Aku bingung, tugas istri dan pekerjaan pembantu,kok, tidak ada bedanya, ya?
Pagi ini sudah kusiapkan sarapan nasi goreng andalanku. Entahlah, dia bosan apa tidak dengan menu itu-itu saja. Namun, ini menu terpraktis dan mudah. Tak perlu bikin bumbu, tinggal robek bumbu kemasan. Tuang dalam penggorengan tambah nasi, lalu goreng. Jadilah, nasi goreng kolaborasiku dengan bumbu pabrik. Rasa dijamin maknyus.
Mas Yuan, begitu biasanya aku memanggil, sudah duduk menghadapi sepiring nasi goreng andalanku plus telor mata kebo. Tampak bibirnya komat kamit. Mungkin sedang membaca doa sebelum makan. Eh, tapi raut wajahnya seperti sedang kesal.
Setelah merapal doa nyaris lima menit, akhirnya disuap nasi ke mulutnya. Namun, kenapa dia makan dengan mata terpejam.
"Kok, makannya sambil mejem mata, lagi diresapin rasanya, ya?" tanyaku sok pede. Dia membuka matanya sambil mendelik ke arahku.
"Berisik, aku lagi bayangin nasi padang!"
Laaah?
*******
Malam ini Mas Yuan mengajakku makan malam bersama atasan barunya. Ceritanya acara ramah tamah dan perkenalan. Semua karyawan yang sudah menikah diminta membawa pasangannya.
"Dandan yang agak cakepan dikit, biar pantes dibawa ke acara kantor. Jangan pantesnya cuma diajak layat doang!"
Entar dulu, maksud kata-kata dia tadi apa, ya? Sepertinya aku belum pernah diajak layat sama dia? Ah, bodo amatlah. Aku segera berdandan seperti perintahnya. Mau dirias seperti apapun, dasarnya cantik, ya, tetap cantik. Tak perlu menor, nanti malah dikira badut sewaan.
Aku memilih baju yang simple. Dres sebawah lutut dengan lengan pendek. Krah tidak terlalu lebar atau ke bawah. Cantik, elegan dan sopan. Memuji diri sendiri kadang kala juga perlu supaya pede.
Aku kembali menatap cermin. Penampilan maksimal dengan riasan minimalis. Perfect. Kata mantan-mantan pacarku, aku cantik sekali. Namun, itu dulu waktu masih pacaran. Setelah putus, aku dibilang jelek. Akh ... sudahlah, let's gone be by gone.
Sepanjang perjalanan Mas Yuan tidak sedikit pun memandangku apalagi memuji. Padahal ingin sekali dipuji olehnya. Setidaknya bilang, kek, aku ini manis atau baju yang aku pakai terlihat pas di bodyku. Dasar laki-laki tiang listrik. Pantesan dua bulan ini aku dianggurin. Punya laki ngirit banget bicaranya.
Kami tiba di sebuah restoran seafood, tempat acara diadakan. Tampak ramai tamu undangan yang sudah hadir. Mungkin kami datang sedikit terlambat.
Mas Yuan bertegur sapa dengan rekan-rekan kerjanya tanpa memperkenalkan siapa aku. Kebangetan.
"Mas, kamu nggak ngenalin aku sama teman-teman kamu?" protesku. Dia terlihat tak acuh.
"Buat apa? Penting juga nggak," sahutnya cuek.
"Ya, biar mereka tahu kalo aku ini istrimu."
"Pingin banget diakuin jadi istriku. Besok tulis gede-gede di kertas 'saya istri Yuan' dan kamu tempelin di punggungmu. Biar semua orang tau tanpa harus kukenalin," sahutnya masih dengan sikap bodo amat.
Oke, Boy, aku pakai caramu! Dasar manusia menyebalkan. Aku berjalan sedikit di belakang Mas Yuan.
"Mbak Talit, ya?" Seorang wanita berambut panjang menyapaku. Aku tersenyum ramah menanggapi sapaannya. Padahal aku lupa siapa dia, tapi tak apalah sok kenal sedikit.
"Apa kabar, Mbak?" Wanita itu mengulurkan tangannya dan kusambut dengan hangat.
"Alhamdulillah, sehat," jawabku formal. Wanita itu sedikit mendekatkan diri.
"Mbak Talit pasti lupa sama aku?" tebaknya sambil nyengir.
"Kok, tau? Eh ... maksudku, dulu lupa, sekarang nggak inget," sahutku ngeles. Wanita itu tertawa sambil menutup mulutnya.
"Aku Anin, Mbak, adiknya Bang Okto. Inget?"
Bola mataku membulat efek terkejut. "Oktorian?" tanyaku seperti tak percaya.
Anin tersenyum, lalu mengangguk
mantap
."Anin? Kamu cantik sekali. Lho, kamu kerja di Bumi Persada juga?"
Dia tertawa renyah. "Ssstt ... aku nemenin Bang Okto. Tuh, manusianya!"
Anin menunjuk dengan dagunya. Kulihat pria yang pernah menjadi mantanku sedang berbincang dengan Mas Yuan. Ternyata mereka rekan kerja.
Otak julidku bekerja dengan cepat. Perlu drama sedikit untuk memberi beruang kutub pelajaran.
"Aku temuin Bang Okto dulu, ya. Kangen ma dia, lama nggak ketemu," pamitku pada Anin. Gadis itu mengangguk pelan.
"Iya, tapi nanti ke sini lagi, Mbak. Aku nggak ada temennya."
Kuacungkan jempol. Aku berjalan dengan anggun menghampiri Mas Yuan dan Bang Okto. Senyum semanis gulali kusunggingkan.
"Assalamualaikum, Bang," sapaku ramah. Bang Okto menoleh dengan raut terkejut. Mulutnya sedikit terbuka.
"Talit?" desisnya seperti tak percaya. Aku memainkan alisku. Mas Yuan terlihat bengong melihatku dan Bang Okto bergantian.
"Kamu apa kabar? Kok, ada di sini? Kamu sama siapa?" Hiiish, ini bertanya apa interogasi, sih?
"Kabarku baik sekali. Aku nemenin kawan. Bang Okto apa kabar? Tambah ganteng aja." Sengaja kulirik manusia di sampingku. Tampak raut wajah kurang suka. Bodo amat.
"Kabarku kayak gini-gini aja. Nggak nyangka kita ketemu di sini. Kamu juga tambah cantik. Oh ya, Lit, kenalin ini temenku. Namanya Yuan."
Kuulurkan tangan ke arah Mas Yuan dengan senyum geli. Lelaki itu mendelik galak. Ditepisnya tanganku pelan.
"Udah kenal," sahutnya jutek. Aku pingin ketawa ngakak melihat wajah cengo Mas Yuan.
"Lho, kalian udah kenal? Baguslah. Yuk, kita ngobrol bareng di meja sana," ajak Bang Okto. Aku mengangguk setuju, sedang Mas Yuan mengembuskan napas kasar. Sokooooor! Hatiku bersorak gembira, bahagianya melebihi dapat lotre berhadiah alat masak. Bukan apa, aku tidak punya hobi urusan dapur.
Aku melambaikan tangan ke arah Anin supaya mendekat. Dia berjalan menghampiri. Bang Okto mengenalkan Mas Yuan kepada adiknya tersebut. Tampak Mas Yuan enggan untuk berkenalan. Kami berempat memilih meja di sudut ruangan.
Bang Okto duduk berdampingan dengan Anin berhadapan dengan aku dan Mas Yuan. Kulihat Bang Okto sering melihat ke arahku. Lama-lama risih juga. Berkali-kali menghela napas berat.
"Hei, Yu, kamu terlihat gelisah. Oh ya, kata temen-temen kamu nikah diam-diam. Kenapa nggak ngundang-ngundang, sih?" kata Bang Okto membuka obrolan. Pertanyaan bagus.
"Nggak papa, acara keluarga aja," sahutnya datar.
"Kok, nggak kamu ajak? Seiyanya bisa kamu kenalin dengan teman-teman kantor. Aku juga penasaran, wanita seperti apa yang bisa membuatmu move on." Ucapan Bang Okto sukses membuatku nyaris tersedak air liurku sendiri. Sumpah, aku penasaran dengan jawaban Mas Yuan.
Lelaki tersebut terseny tipis sebelum menjawab, "Istriku itu orangnya kecentilan. Matanya suka jelalatan, jadi malas bawa dia kemana-mana."
Aku terbatuk mendengar jawaban ngawur itu. Kuinjak kakinya sekuat tenaga. Ujung hak sepatuku mampu membuat Mas Yuan berteriak sambil sedikit mengangkat kakinya.
"Aduuuh ....!" jeritnya. Aku tersenyum puas. Sementara Bang Okto dan Anin melongok ke bawah meja, melihat apa yang terjadi.
"Ada apa, Yu?"
"Tikus kurang ajar lewat," sahut Mas Yuan cuek.
"Masa, sih, di tempat kayak gini ada tikusnya," gumam Bang Okto seperti ragu.
"Bang Okto udah nikah?" tanyaku mengalihkan obrolan urusan tikus menikus tadi. Lelaki dengan lesung pipi saat tersenyum itu menggeleng pelan.
"Susah nyari yang kayak kamu. Kamu sendiri, udah nikah belum?" Belum sempat aku menjawab, terdengar suara deheman dari sampingku. Kayaknya kode, tuh!
"Emang ada yang mau sama aku, Bang?" Pancinganku semoga tepat sasaran. Lagi-lagi lelaki di sampingku terbatuk sumbang.
"Perasaan dulu yang ngantri banyak, Lit. Apalagi sekarang kamu tambah cantik, cuma lelaki bodoh yang menolak kamu. Kalo nggak kita balikan lagi, yuk!"
"Setuju!" seru Anin penuh semangat.
Aku tertawa mendengar kata-kata Bang Okto. Sementara Mas Yuan terlihat mulai kesal. Belum sempat aku menyahut, seseorang datang menghampiri.
"Hai, Okto, Yuan, kalian di sini? Aku nyariin dari tadi. Ikut gabung, ya?" Aku menoleh ke arah sumber suara.
Astaghfirullah! Itu Herlan, teman Mas Yuan yang kemarin datang ke pernikahanku. Dia sahabat kental Mas Yuan.
"Hai, Talit, apa kabar?" sapa Herlan ramah sembari mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangannya. Senyum terpaksa terbersit di bibirku.
"Kabarku baik, Mas," sahutku kaku. Bang Okto terlihat heran, sedangkan Mas Yuan tersenyum bahagia.
"Kamu kenal Talit juga, Lan?" tanya Bang Okto dengan raut heran.
"Lha, ya kenal. Dia kan istrinya si Yuan," sahut Herlan tanpa merasa berdosa. Bang Okto melongo, sepertinya shock.
Aku? Pingin menghilang dari muka bumi. Apalagi saat melihat senyum kemenangan fi sudut bibir Mas Yuan. Apes!