Si Pencuri Handal

Si Pencuri Handal

Sejenak aku mengeluarkan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan itu punya bosku. Entah mengapa lelaki gendut itu menitipnya padaku. Tapi dari wajahnya yang kulihat terakhir dia tampak buru-buru.
Aku memasukkan jam tangan kembali ke kantung belakang. Namun di luar dari itu semua, sebagai karyawannya aku cukup senang ketika mendengar kita ber-empat disuruh makan-makan di sebuah restoran yang cukup mahal. 

Aku dan ketiga teman satu kantorku-Barbara, Ryan, Firman-melangkah masih memakai kemeja kotak-kotak milik perusahaan. Aku yang sejak dulu setuju jika ini ide buruk, tetap memakainya. Bos akan marah besar jika mendengar pendapatku. Pekerjaanku ini sangat rapuh, bayi pun juga bisa.
Oh ya, kecuali bayiku. Aku sedih kalo memikirkannya. Makhluk kecil berusia enam bulan itu menderita penyakit langka. Harus kuakui aku bertahan karena istriku.
Aku berjalan di paling belakang. Lampu-lampu mahal berkilauan di penjuru restoran. Orang berkacamata dan tidak merokok mengobrol membahas keuntungan investasi.
Temanku, Ryan, yang paling lama kukenal dan muda dibanding dua lainnya, membisikkan sebuah lelucon. Dan aku tertawa terbahak-bahak. Ryan masih muda, usianya baru 18 tahun. Dia adalah tetanggaku. Bapaknya juga sahabatku, sayang dia tak bertahan cukup lama.
Sedangkan Firman, macam biasa, mengisap rokok kreteknya dengan santai. Di antara kami ber-empat dia anak yang paling baru di perusahaan. Dia melamar dua bulan lalu. Tapi waktu yang singkat itu tak membuatnya sulit beradaptasi, bahkan menguasai. 
Satu hal yang unik seorang Firman: Jari tangannya sisa sembilan. Tak ada yang tahu mengenai satunya lagi kemana. Orang-orang bergosip dia sengaja melakukannya guna menyicip darah segar disaat mabuk.


Setelah makanan dipesan oleh Ryan, kami diantar ke sebuah ruangan tertutup. Letaknya yang paling ujung. Kami masuk. Si pelayan lalu berkata, “Selamat Menikmati”, yang menurut Firman cuma minta tip tambahan.
Ruangan tersebut lumayan luas buat empat orang. Di samping pintu terdapat lemari besar untuk menyimpan barang-barang. Di seberang ada jendela geser berkaca bening. Walau begitu luarnya sama sekali tak kelihatan karena gelap. Kami duduk di bangku, yang mengitari meja makan berbentuk persegi panjang dengan taplak bercorak indah.
Barbara, wajahnya masam seperti biasa. Dia mengomel, “Eh, Firman, kau tahu ini ruangan tertutup, tidak? Matiin rokok sialanmu!”
Ya, bisa dibilang Firman menurut kalo hanya dibilangin sama Barbara. Dia membuang rokoknya ke tong sampah terdekat. 
Barbara yang ter-senior di antara kami. Orang-orang di kantor amat menghormatinya. Perilakunya kadang suka membuat orang lain mengira bahwa dia adalah lelaki. Usia Barbara sudah kepala empat, namun dia belum juga mempunyai anak. Hubungannya dengan sang suami yang penggila narkoba sangat tidak baik.
Menurut cerita, Barbara pribadi yang berprestasi di akademis. Sayang sekali orangtuanya malah menuntut dia agar menikah di usia yang relatif muda.
“Jangan marah-marah, sayang,” Firman menghembuskan asap terakhir. Kata-kata yang dia ucapkan tak pernah tak menjengkelkan.
“Sayang kepalamu!” Barbara duduk menjaga jarak.
“Kamu nggak ngerokok lagi, Bar?” tanyaku penuh penasaran. Ah ya, namaku Arief.
Barbara menggeleng. “Males, Rief. Malah bikin tambah stress.”
“Dia melarangmu?” gantian Firman yang bertanya.
“Nggak.”
Ryan, yang sedari tadi diam saja, menyelonjorkan kedua tangannya di meja. “Gimana kalo aku? Boro-boro ngerokok, minum sirop aja kadang diomelin Emak. Lagipun, duitku mungkin tak bakal cukup. Orang gaji juga segini-segini aja.”
Firman menoyor jidat Ryan. “Kau banyak menggerutu, anak muda. Hidupmu tak ada apa-apanya dibandingkan aku.”
“Orang tua selalu ngomong begitu.”
“Apa kau bilang!?”
“Nggak.” Ryan memalingkan wajah.
Sepuluh menit berlalu tapi makanan belum juga tiba. Hausku mencapai ke tulang. “Kok lama ya.”
“Jika aku adalah bos di tempat makan menjengkelkan ini, aku akan memelintir kepala mereka satu-satu,” ucap Firman.
Barbara tidak senang. “Sok jagoan kau.”
“Memang benar.” Tanpa sengaja tatapan Firman terkunci kepadaku. “Ah, Rief, gimana sambil nunggu kau bermain sulap dulu.”
“Nah, bener tuh.” Barbara memajukan badan. Ryan tampak bersemangat.
Di kursi aku terdiam gagap, mengangkat bahu. Aku berkarier di kesenian sulap waktu berumur 20an. Berakhir putus asa karena tak ada dukungan dari siapapun. “Ehmmm, gak, aku udah lama gak main-”
“Alah, jangan alesan dong,” Firman memprotes, “kita butuh hiburan di sini!” 
Terdiam sebentar, aku menyerah, dan mengeluarkan koin yang ada di dompetku. Aku menaruh koin tersebut di telapak tangan kiri, dan dengan keahlian kedua tangan, aku menepuk-nepuk seperti orang yang membersihkan telapak tangan. Dan … tada! Aku memperlihatkannya, koin itu hilang.
Mereka bertepuk tangan. Firman kembali bersender, “Jadi, di mana kau menyembunyikannya?”
Aku tersenyum.
“Ya, ya, hanya tuhan yang tahu … omong kosong.”
Hening menguasai. Tiba-tiba Firman bangkit dari senderan. “Oh ya, ada hal yang mau kukasih tahu ke kalian.” Matanya berbinar-binar.
“Apa itu?” aku bertanya santai.
“Beneran, kalian harus lihat ini, kalian harus lihat ini! Kalian tak akan percaya. Demi apapun!”
Semua menunggu. Aku khawatir Ryan membayangkan seekor tikus. Tapi tidak, perlahan-lahan Firman mengeluarkan sesuatu, dan menaruhnya di tengah-tengah meja.
Sebuah berlian. Ukurannya bahkan lebih besar dibanding batu akik Pak Haji Somat. Cahayanya bersinar-sinar berwarna biru bagaikan kumpulan kristal di istana. Aku tak sanggup lagi berbicara.
Pelan-pelan aku menengok kepada Firman dengan mata yang masih melotot. “Dari mana kau mendapatkan benda ini?”
Seolah hal yang biasa, Firman melipat tangannya di depan dada. Senyumnya penuh kebanggaan. “Luar biasa, kan? Gini-gini nenekku juga  seorang miliuner dulunya. Aku pun kaget waktu orang berjas rapi itu mengetuk pintu rumahku tadi pagi.”
Mulut Ryan menganga. “Boleh aku memegangnya?”
“Tentu. Tapi awas, jangan merusak. Harganya lebih dari 5 miliar.”
“Lima apa?” teriakan Barbara mengagetkanku.
Firman mengeja ulang hampir tak memakai suara. 
Muka Ryan terkagum menatap berlian. Mendadak Barbara merebut dan melakukan hal yang sama. Aku diberi kesempatan memegangnya. Warna biru berlian tersebut menggambarkan sesuatu yang tak terbayangkan. 

“Gimana?” Firman mengulur meminta bendanya kembali, namun disambar duluan sama Ryan. Rasa penasarannya belum terpecahkan.
“Ini luar biasa. Aku gak percaya.” Ryan bergeleng-geleng tiada henti.
Di bangkunya, Firman merasa puas. Aku tidak mengira bahwa cowok berantakan kayak dia memiliki seorang nenek yang kaya-raya.
Ketika semua pandangan tertuju pada berlian, pintu terbuka lebar. Seorang perempuan berbaju putih, dengan piring yang banyak di kedua tangannya, menyambangi.
Barbara pergi ke jendela sebentar.
Bermacam makanan dihidangkan di atas meja. Semua terlihat lezat. Namun, ada satu kesedihan yang malah membuatku menderita di sini. Keluargaku. Andai aku bisa mengajak mereka ke sini, melihat mereka makan hidangan semewah ini. 
“Bisa saya bungkus makanannya, gak?” Aku ragu akan pertanyaanku. Tapi si pelayan mengangguk. Aku lega bisa menikmati hidangan tanpa beban. 
Setelah selesai melakukan pekerjaannya, si pelayan menutup pintu, berkata, “Selamat menikmati,” dengan senyuman, dan keluar.
Aku memandangi semua makanan di depanku. Barbara sudah kembali dan melahap sepuasnya. Aku ikut.
Namun ada satu yang tak makan selagi kami makan. Dia tampak bingung. Firman.
“Kenapa, Man?” tanyaku.
Firman membuka dan mengangkat-angkat piring sebelum menghadap Ryan yang tengah mencuci tangan di air kobokan. “Mana berlianku?”
Ryan terdiam sejanak, kemudian mengangkat bahu. “Gak tahu. Bukannya tad-tadi.”
“Di mana berlianku!?”
“Tadi aku taruh di meja sini.” Dia menunjuk tiga puluh senti ke depan yang  di mana sekarang hanyalah taplak meja kosong. “Kau mengambilnya, kan?”
“Ambil? Aku nggak ngambil sama sekali!” Firman tertawa sedikit. “Tolong, jangan main-main. Aku serius.”
“Ya, aku naruh tepat di depan sini barusan, nunggu makanan pada dihidangkan. Aku gak ngambil lagi, aku ingat betul.”
“Tunggu-tunggu.” Barbara mengangkat kedua tangannya yang berserakan nasi. “Jadi, berliannya hilang?”
Hening. Lalu, semua mencari ke segala penjuru ruang. Firman teriak, “Tutup pintunya sekarang juga! Jangan biarin orang lain masuk! Aku gak mau tahu! Aku gak percaya sama kalian!”
Aku menutupnya. “Berlian itu gak mungkin jauh.”
Barbara berkata, “Ya, pasti Ryan salah naruh.”
Ryan menolak, “Nggak, aku ingat betul, Barbara.”
“Sudahlah, kita cari saja yang benar.” Bersama-sama, kita mencari dengan kepala menunduk.
Tiga puluh menit selanjutnya semua menyerah. Tak ada yang ditemukan. Firman mememeras rambutnya keras-keras. “Ini mustahil. Gak mungkin. Maksudku, mana bisa?”
“Nggak ada,” aku yang terakhir menegakkan badan. “Sama sekali gak ada.”
Kami saling tatap satu sama lain. Firman lalu duduk di atas meja, menghadap ke Ryan. “Ayo ngaku!”
“Apa?”
“Kau kan yang mencuri?”
“Ngg-”
“Ayolah, Nak. Di ruangan ini cuman kita ber-empat. Kau harus tahu, nyari duit tak segampang itu.”
“Tenang, Man!” Barbara memisahkan. Aku mendekat.
“Baiklah jika kau menuduhku, periksa aku sekarang juga! Periksa saja! Kau gak akan menemui apa-apa.”
“Menurutmu aku sebodoh itu, Yan?” Firman kesal. “Aku tahu strategimu! Kamu tadi pasti di luar melihatku memainkan berliannya. Dan, oh ya, kau yang memesan makanannya. Kau yang mengobrol dengan pelayannya. Pasti, pasti kau merencanakan sesuatu. Pasti pelayan tadi yang mengambil berlianku, dan itu hasil dari persengkongkolan kalian!”
Aku menarik tubuh Firman. “Man, itu gak mungkin.” Memang Ryan masa mudanya adalah anak yang cukup aktif di lingkungan. Tapi dia tak pernah berbuat jahat, apalagi mencuri. Paling-paling dia mengambil buah jambu di pohon-pohon tetangga. “Gak mungkin Ryan berbuat begitu. Pikirlah baik-baik!”
Firman menghela nafas. “Lalu di mana berlianku?!”
Barbara berkata, “Gimana kalo memang pelayan itu yang mengambil?”
“Tidak, kurasa tidak.”
Ryan menyetujui pendapatku, “Ya, aku melihat terus tangannya yang menaruh-naruh makanan. Sama sekali tidak ke berlian.”
Mata Barbara menatap curiga. Firman berucap, “Apa? Menurutmu aku main-main? Menurutmu wajahku terlihat main-main? Hah?”
Barbara beralih objek. Namun, Firman mengarahkan padangannya ke arahku, dan maju mendekat seperti harimau yang kelaparan. 
“Apa lagi ini?” Kakiku berjalan mundur hingga menyentuh tembok di belakang.
“Tidak begini caranya, Rief. Hentikan permainan sulapmu, ini bukan waktunya.”
“Aku gak paham yang kamu bicarakan. Aku gak ngambil berlian itu!”
“Aku tahu soal anakmu yang penyakitan. Tapi percayalah, bukan begini caranya. Kau bisa memintaku baik-baik.”
“Sumpah demi apapun, aku tidak mencurinya!”
Firman melirik Ryan. “Bagaimana? Kau yang mengenalnya cukup lama.”
Ryan terdiam. Aku mendesak, “Ayo katakan! Katakan aku tidak mencurinya!”
Setelah sekian lama Ryan pun berkata, “Aku tak ingin menuduh. Tap-tapi, aku tahu dia pernah ketahuan mengambil motor orang.”
Aku mengingat-ingat. Lihatlah, bahkan aku harus mengingat kejadian sebesar itu. “Hey, itu masa lalu. Lama sekali, sekarang aku tidak lagi.”
Firman menyuruhku diam. “Tidak bukan berarti bukan. Dan apa yang pemilik motor itu lakukan?”
Ryan menjawab, “Memaafkannya, kebetulan masih satu kampung.” 
Firman tersenyum menakutkan. “Mungkin aku bisa berperilaku seperti pemilik motor itu, kalau kau mengakuinya sekarang.”
“Nggak! Aku gak ngelakuin apapun.”
Firman langsung mengecek seluruh isi celana dan bajuku. Aku membiarkannya, kasih dia puas. “Kan, aku sudah bilang.”
Tapi Firman malah mengambil sebilah pisau dari meja, mencekekku dan mengarahkan pisaunya ke leherku. “Aku sedang tak main-main. Berikan sekarang juga! Stop soal sulap menjengkelkanmu ini!”
“Gila kau!” Aku lalu menarik pisau tersebut lebih dekat. “Jika kau ingin membunuhku, bunuh aku sekarang, bunuh! Tapi ingat, kau akan menyesal, karena aku tak mengambilnya.” 
Hening kembali.
Detik-detik yang menegangkan berlalu. Dan akhirnya Firman berhenti. “Aku percaya denganmu.”
Aku meluruskan badanku kembali, merapikan bajuku dengan wajah penuh kekesalan. “Jika bukan aku, bukan juga Ryan.”
Semua memindahkan pandangan secara bersamaan kepada Barbara. Dia khawatir.
“Tidak, menurutku Ryan belum aman,” kata Firman. “Tapi di sini yang paling mencurigakan memang kau, Barbara.”
“Aku?” Barbara menunjuk dirinya sendiri dengan heran. “Kenapa aku?”
“Semua tahu tentang keluargamu!” Aku melangkah ke arahnya.
Ryan menimpali, “Ya, hubungan antara kau dan suamimu.”
“Mungkin sebatang rokok tak merubah apapun. Tapi berlian semahal itu, bisa berbuat banyak,” lanjut Firman.
Entah mengapa emosiku jadi naik. “Kau telah membuang kesempatanku untuk menikmati semua makanan ini. Sekarang sudah keburu dingin. Permainananmu telah usai, Bar.”
Firman menekan pinggang. “Kau pasti resah dengan tingkah laku suamimu. Kau berniat kabur, dan aku bisa memastikan rencana itu telah kau pikirkan sejak lama. Namun kau tidak tahu bagaimana caranya. Bagaimana kau bisa berkehidupan nanti. Dan kau melihat berlian milikku, semua rencana yang matang-matang ada di kepalamu bakal ter-eksekusikan dengannya. Yang melakukan ini benar-benar pencuri handal.”
“Dan kau sudah cukup bosan bekerja di perusahaan. Bayangkan, hampir sepuluh tahun,” kata Ryan.
Barbara membela diri, “Tolong, semua yang kalian katakan tentangku ini tak masuk akal. Itu tak membuktikan apapun.”
Firman mengangguk-angguk. “Oh, ya? Sungguh? Kau menantangku? Baik, lalu apa yang kau lakukan pergi ke jendela itu disaat pelayan menyajikan?”
“Membuang ludah!”
“Kau membuangnya?”
“Meludah bukan hal yang tiba-tiba,” aku berkata, “atas dasar apa?”
“Aku batuk-batuk hari ini.” Barbara putus asa.
“Oh ya? Aku tidak menyangka itu.” Tampang Firman makin menyeramkan. “Di mana kau membuangnya, sayang?” Dia kemudian memandangku dan Ryan bergantian. “Jaga dia.”
Aku duduk dekat Barbara sementara Firman menuju jendela. Tak lama dia memutar badan, aku berkata, “Gimana?”
Firman menggeleng. Penasaran, aku ikut melihat ke luar lewat jendela. Tak ada apapun memang, cuman kumpulan semak belukar.
Dan tiba-tiba, waktu aku membalikkan badan, semuanya gelap. “Hey, apa-apaan ini? Siapa yang mematikan lampu?” Aku tidak bisa melihat apapun saat ini, seluruhnya hitam. Yang bisa kulakukan hanya mengunci jendela. 
Kami saling berteriak menyebut nama, mengibas-ibaskan tangan seperti orang buta yang mau menyebrang. “Yan, di mana kamu?”
“Aku di sini.” Suaranya terdengar jauh. 
“Jang-jangan lepasin Barbara, jangan sampai-”
Dan dalam keheningan aku mendengar suara pintu berayun sebelum menutup dengan keras. Aku meraih-raih ke asal suara tapi tak merasa apapun. 
Kami semua panik.
“Cari saklarnya!” Ryan berkata.
“Tidak, itu bukan aku!” sebuah suara yang mustahil terdengar. Aku menduga ada yang salah dengan kupingku.
Aku menemukan saklarnya, yang terletak di balik lemari. Lampu menyala kembali. Sinarnya menyilaukan mataku sejenak.
Jantungku berdetup kencang. Aku memfokuskan penglihatan, memandang ke seluruh ruangan. Aku menemukan Ryan yang takut gemetaran di sudut. Juga, tak disangka, aku melihat Barbara yang masih menyender di tempat semula.
Tapi aku tak menemukan Firman. Nadaku bergetar rendah waktu berucap, “Bisa katakan apa yang terjadi?”
Barbara menggeleng. “Kita ditipu.”
“Untuk apa dia lari?” Ryan bertanya.
“Kalian terlalu bodoh buat mengerti!”
“Mak-maksudmu?” Aku terbata. Dan cepat pikiranku mengerti, memproses segala yang terjadi di ruangan. Aku mendorong-dorong pintu.
Ekspresi Barbara mencemaskan. “Percuma, pintunya dikunci sama dia. Sebelum aku menyadari.”
Aku menyender ke pintu dengan resah.
“Arief, apa kau tidak merasa sesuatu? Kehilangan?”
“Apa?”
“Cek dompetmu!”
Aku mengecek dompet. Aku tak tahu maksud Barbara sampai aku melihatnya sendiri. Ya, jam tangan pemberian bos. Menghilang. “Bag-bagaimana mungkin.”
“Dia mengambilnya?”
“Y-ya.”
Semua kaki bergetar, bahkan untuk jalan selangkah pun sulit rasanya.
“Pasti dia mencurinya pas lampu digelapkan. Astaga, itu berlian palsu. Berlian palsu yang mahal, dia yang mengambilnya ketika pelayan menyajikan,” lanjut Barbara. “Dugaanku dia sering memakai berlian itu untuk menipu dan mencuri. Aku yakin dia melihat kau memasukkan jam tangan bos ke dalam dompetmu suatu waktu. Lain kali beli celana baru, jangan yang longgar! Sial, ini tipuan. Dialah si pencuri handal! Dari tadi dia mencari orang untuk disalahkan agar bisa mengalih perhatian!”
Pintu dibuka. Aku berbalik dan mendapati si pelayan.
“Aku menangkapnya,” kata si pelayan.
“Tap-” 
“Ya, kau bisa lihat.”
Aku melangkah ke luar. Di lantai dekat kolam aku menemukan Firman yang tengkurap lemas dari tangan-tangan pelayan lain. Mereka menahannya hingga dia tidak bisa bergerak.
Si pelayan yang membuka pintu meneruskan, “Jujur, aku sangat terpukau sama berlian itu, bahkan sebelum aku melangkah masuk. Lalu aku melihat orang ini mengantongi berliannya ketika aku menyajikan. Aku kecewa. Di luar, aku tak langsung pergi, temanku mengajak aku ngobrol. Dan setelah selesai, tanpa sengaja aku mendengar percakapan kalian. Ruangan ini tak kedap suara. 
“Orang ini marah-marah minta berliannya dikembalikan. Aku langsung curiga, karena aku tahu sekali dia mengantonginya. Aku memanggil teman-temanku, dan benar saja, dia lari terbirit-birit seperti pencuri yang dikejar warga. Dia pintar, hanya kebetulan yang menyelamatkanmu.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian aku mengambil jam tangan bos yang ujungnya kelihatan di saku belakang Firman. Aku menengok ke Ryan. “Kau tahu berapa harga jam tangan ini?”
Ryan menggeleng. “Lima miliar?”
Aku kecewa, tahu Ryan tak akan kaget. “Delapan ratus juta,” jawabku dengan wajah biasa.
BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama