Kontras

Si Ayah berjalan mondar-mandir di ruang tamunya yang cukup mewah. Lampu-lampu kuning mencerahkan. Teleponnya yang sedari tadi dia tempelkan di kuping membuatnya makin resah. 

Anaknya yang paling kecil, Vito, menepuk-nepuk lengan Si Ayah.

“Apa, sih?” gusar Ayah.

Vito menyodor-nyodorkan gelas susunya yang kosong.

“Ntar, ntar! Ayah lagi sibuk, udah kamu belajar bikin sendiri aja sana!”

Menyerah, Vito balik ke kamarnya. Telepon Si Ayah terus berdering, belum juga diangkat. Lalu pintu depan terbuka, memperlihatkan gadis cantik berumur enam belas tahun. Tampangnya acak-acakkan.

Si Ayah geram. Dia melempar teleponnya ke sofa, dan mendekatkan diri ke anak pertamanya itu. “Selly! Sini kamu!”

Selly memutar badan. 

“Habis dari mana?” Si Ayah menekan pinggang.

Selly terdiam saja.

POSTINGAN POPULER:

“Jawab pertanyaan Ayah! Lihat, jam berapa ini?!” Dia memperlihatkan jam tangannya sendiri yang menunjuk pukul sebelas malam. “Kamu udah gila, ya? Kapan mau berubah? Kamu masih mau terus begini?”

Selly tak acuh, dia berniat melangkah ke dalam kamar, namun tangannya  duluan ditarik. “Lepasin, Yah!”

“Kamu tuh kalo dibilangin selalu aja ngeyel. Nilai sekolah terus turun! Ayah ini ninggalin rumah, kerja, buat kamu! Dan gini sikap kamu ke Ayah. Hah?”

Selly melepas genggaman erat Ayahnya, dan menatap lamat-lamat. “Ayah tau gak? Ayah tuh berisik, cuma bisa ngomel. Oh, aku tau, sejak Ibu meninggal, Ayah hancur. Cuman Ibu yang dapat memahami aku.”

“Stop ngomongin Ibu kamu terus!”

“Emang bener, dari dulu Ayah cuman nyari kesalahan-kesalahan doang.”

Lama-kelamaan wajah Si Ayah memerah. Dan dengan kemarahan yang menguasai, dia menggampar pipi sang anak. “Dasar kamu anak gak tahu terimakasih!”

Silly melirik sinis Sang Ayah, lalu berjalan masuk ke kamarnya. 

Si Ayah terpaku di tempat. Nafasnya kembang-kempis. Dan datanglah  ketiga anaknya yang berusia delapan, sembilan, dan sebelas tahun sambil memegang gelas susu dengan ekspresi mematung.

Dia memandang mereka. “Besok Ayah beliin susunya, ama toko-tokonya sekalian. Sekarang, tidur sana!”

Mereka lari terbirit-birit menaiki tangga. Sementara itu, teleponnya terdengar suara sesopan resepsionis, “Halo?”

***

Keluarga itu tampak sederhana. Mereka makan ber-lima lesehan di ruang tamunya yang bertembok kayu. Si Bapak yang seharian kerja mencari duit dengan berjualan ketoprak bahagia sekali bisa melihat anak-anaknya menikmati makanan.

Mereka kemudian mengobrol tentang sekolah, kehidupan, minat, dll. Dan itu bikin Si Bapak tambah senang. Malam ini adalah malam-malam seperti sebelumnya. Tawa riang menemani. Senyuman-senyuman mereka membangkitkan rasa semangat untuk menjalani hidup kembali di hari esok.

Setelah selesai, sang istri mengajaknya ke ranjang. Tidur di dekapannya merasa bahwa penderitaan macam apapun tak akan terasa.

Pagi hari yang cukup sepi. Si Bapak mulai berjualan keliling kampung. Belum seorang pun yang membeli dagangannya, namun dia tetap semangat. Hari-hari begini sudah biasa dia jalani. Dan entah mengapa dia  sama sekali tak takut.

Dan orang-orang berbondong menyamperi gerobaknya ketika hari sudah siang, membeli beberapa bungkus ketoprak. Dia tahu ini akan datang. 

Sorenya dia terus berjualan. Karena Si Bapak menyukai tantangan, dia mencari lingkungan baru. Dia masuk ke daerah perumahan, berakhir dengan diusir satpam. Tidak kapok, dia masuk lagi ke perumahan lain. Di sana dia diterima baik. 

Dia berjualan di dekat toko minum yang hanya buka waktu hari gelap. Tak ada yang minat dengan dagangannya. Dia mengecek hasil jualan, tidak kayak kemarin, tapi dia tetap bersyukur setidaknya bisa membuat keluarganya tak kelaparan.   

Dia memperhatikan anak-anak muda masuk ke toko di depannya tersebut. Penasaran, dia ikut masuk, meninggalkan gerobaknya di tempat.

Di sana, dia ditawari beragam minuman, tapi dia malah memesan air putih saja. 

Setengah jam di sana, dia mulai menyukai tempat itu, bukan karena apa-apanya, tapi karena musiknya. Alunan lagu klasik yang belum pernah dia dengar, memanjakan kupingnya yang tak tahu apa-apa ini.

Merasa cukup bosan, dia keluar. Ketika ingin pulang dia melihat seorang perempuan yang berjalan sempoyangan. Jelas, dia bukan anak kecil. Si Bapak mengunjungi anak itu karena kasihan. 

“Hey, kamu kenapa?”

Anak muda tersebut memakai baju ketat berwarna hitam dengan tanpa lengan. Dia mencueki si penjual ketoprak.

“Eh, kamu-kamu gakpapa, kan? Kamu gak kelihatan sehat. Mau saya anterin pulang? Perlu saya pesenin ojek? Kamu jangan sendirian gini, bahaya.”

Si anak muda ini berhenti melangkah, menghadap kepadanya. “Pertama, saya gak kenal Bapak. Kedua-”

Si Bapak berhenti mendengarkan, matanya tak sengaja melihat bungkusan obat di dalam kantung si anak muda yang sedikit terbuka.

“-jadi, berhenti Bapak ngurusin saya!”

Si Bapak terbata. “Kamu- itu apa?” Dia menunjuk ke benda tersebut.

Anak muda ini menyadari apa yang Si Bapak maksud. Dan dia berlari kencang tanpa arah.

“Hey! Ke mana kamu?!” Si Bapak menggeleng resah, dan lanjut mendorong gerobaknya menuju rumah.

Makan malam kali ini dengan lima bungkus nasi warteg yang Si Bapak beli sebelum pulang. Anak-anak bercerita keluh kesahnya, dan dia mendengarkannya begitu baik.

Selesai, dia menyuruh ke-tiga anaknya agar tidur. Mereka satu per satu dicium jidat oleh Si Bapak.  

Memastikan mereka pada tidur di kamar masing-masing, Bapak selanjutnya berkata sama sang istri yang sedang membereskan piring. “Kamu tahu gak, tadi Bapak habis ke bar-”

Mata istrinya melebar. “Kamu minum lagi?”

“Nggak, tenang aja, aku udah berhenti kok. Aku cuman.”

“Cuman apa?”

“Suka sama musiknya.”

Si istri menatap curiga.

“Beneran, aku nggak boong. Tapi bukan itu yang pingin aku bicarain.”

Si Bapak, sepanjang malam membicarakan dan memikirkan soal anak yang tadi berjalan sempoyongan itu.

***

Jantung Si Ayah berdetup kencang. Dia tak sabar mau segera dipromosikan sama si bos. Tak lama kemudian namanya dipanggil. Keluar teman satu kantornya. Si Ayah bertanya, “Gimana?”

“Masuk sana.”

Dia masuk. Lelaki berbadan gendut dan berkumis panjang tersebut menyilakannya duduk.

“Jadi gimana, Bos?” tanya Si Ayah memakai wajah berseri-seri. Inilah dari dulu yang dia impikan. Tak akan ada lagi beban.

Bos terdiam tak bersuara, mengetuk jari-jarinya ke meja. Dan, usai menarik nafas dalam-dalam, dia berkata, “Kamu dipecat.”

“Hah? Apa-apaan ini? Maksudku, kenapa?” Si Ayah bangkit berdiri.

“Saya yang seharusnya bertanya kenapa … Kenapa kamu ngambil uang perusahaan, kenapa kamu korupsi?”

“Hah. Aku gak ngelakuin itu, aku nggak-”

“Tidak, semua sudah ada buktinya.”

Si Ayah menoleh ke jendela seberang. Temannya yang tadi tersenyum. “Sialan,” gusarnya dalam hati.

“Sekarang, tinggal dua pilihan yang ada di tanganmu. Saya masih memiliki belas kasihan. Pilih keluar, beresin barang-barang kamu. Atau saya laporin polisi. Untuk menindak lanjuti semua ini.”

Si Ayah terpatung tak bisa berkata apapun. 

“Gimana?” Bos mengangkat kakinya ke meja dengan santai.

Ini adalah hari kedua terburuk di sepanjang hidupnya. Tentu saja dia bakal kalah jika melawan. 

Inginnya dia memutar stir mobil yang dia pegang ke arah jurang. Mengakhiri penderitaan ini. 

Dia berkendara tak bertuju sampai tak terasa malam tiba. Tak mau tambah pusing, dia memutuskan untuk tidak pulang terlebih dahulu. 

Si Ayah melihat toko minuman yang bernyala-nyala di sampingnya. Dia masuk ke sana. Dia mengelap seluruh bekas air matanya, berjalan dan memesan minuman. Habis itu dia mengangkat gelasnya sambil mencari tempat duduk. 

Dia menemukan seorang dengan baju yang tak biasa di tempat seperti ini. Namun Si Ayah tetap butuh tempat duduk. Langkahnya lemas ke arah sana. 

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya.

Orang itu tersenyum ramah. “Oh ya, silakan.”

Si Ayah duduk, meminum minumannya. Karena canggung mereka sempat saling tatap, dan langsung membuang muka. 

Tapi Si Bapak memulai duluan, “Hey, boleh tahu siapa namamu?”

Tak ada alasan untuk tidak memberi tahu namanya. Dia sangat membutuhkan teman saat ini. “Rizal.”

“Hmmm, saya Rohman.” Mereka bersalaman. “Kau kelihatan lusuh.”

“Yang benar?”

“Ya, boleh kutanya. Ada apa?”

Si Ayah membuang nafas dengan kasar. “Aku baru saja dipecat,”

“Ohhh. Aku turut sedih.”

“Ya. Seseorang mengkhianatiku.”

“Tak apa, kawan. Tak apa.”

Tak tahu kenapa hati Si Ayah merasa lebih tenang.

“Kau sudah ber-istri, punya anak? Eh, maksudku, boleh aku bertanya  begini?”

“Ya, gak masalah. Aku punya empat anak.”

“Lalu, kenapa sedih?”

“Apanya?”

Si Bapak bergeleng-geleng. “Ng-ngak papa kok.”

Si Ayah mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya. Seorang wanita cantik. 

“Itu istrimu?”

“Yeah.”

“Cantik, ya?”

“Banget. Gak bisa dipungkiri. Kadang ketika aku mendengar namanya, aku kesal, marah, sedih, tapi lebih ke kesal. Kesal kenapa dia ninggalin aku. Namun di balik itu semua pemicunya adalah rasa kangen. Ingin aku ketemu lagi sama dia.”

Si Bapak menepuk-nepuk pundaknya. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kematian itu bagian dari alam. Kau tidak bisa melawannya.”

“Tak segampang itu, sih.” Dia kembali mengantongi foto tersebut. “Gimana dengan kamu? Dari mana asalmu? Pekerjaaan?”

“Oh, aku cuman tukang ketoprak.”

“Tukang ketoprak? Tapi, bagai-”

“Aku hanya suka sama musiknya.”

“Oh. Kau juga sudah berkeluarga?”

“Yap. Tiga anak.”

“Apa kau bahagia?”

“Sangat.”

“Satu hal yang kusenangi. Aku baru saja dapat kabar, anakku yang pertama mendapatkan beasiswa di universitas ternama di inggris. Aku tak menyangka sama sekali, dia banyak pendiemnya.”

POSTINGAN POPULER:

“Wow. Selamat.”

“Sama-sama. Nah, itu dia.” Si Bapak menunjuk ke arah seorang perempuan yang telah dia lihat sebelumnya.

“Apa?”

“Anak itu.”

Si Ayah memandang lebih jelas. Dan hatinya bergetar tiada henti. Selly. Untuk apa dia ke sini?

“Kasihan dia.”

Si Ayah mengerutkan alis mendengar ucapan Si Bapak. “Kasihan gimana?”

Si Bapak memajukan badan, membisik dengan suara rendah. “Kemarin malam, aku bertemu dia sedang berjalan di ujung sana.”

“Lalu?”

“Aku curiga, dia berjalan sempoyongan. Pas aku dekatin, ternyata.”

Dia berhenti di tengah kalimat, membuat Si Ayah makin penasaran. “Ternyata apa?”

“Dia memakai narkoba.”

Si Ayah menyender ke kursi belakang. Seolah tak ada bunyi apapun selain kalimat tersebut yang berulang-ulang di kepalanya. Matanya terbuka lebar. Dan, diam-diam setetes air mata jatuh.

“Ya, Rizal. Aku juga tak percaya anak seumuran dia memakai barang tersebut,” Si Bapak melanjutkan. “Aku merasa kasihan. Aku tahu ini bukan salahnya, pasti. Dia cuman anak polos yang belum tahu soal apapun. Mungkin di lingkungannya dia merasa kurang diterima. Harus ada seseorang yang mengertinya, yang mampu dia percaya. Harus. Aku berniat menolongnya.”

Dia menyadari suara tangisan di depannya. Si Ayah menangis tersedu-sedu. “Rizal, kamu kenapa? Apa aku salah bicara?”

“Tidak, kau benar. Kau seratus persen benar. Ini semua salahku. Aku menderita, kita semua menderita. Ak-aku selama ini mengejar sesuatu yang salah. Kenapa aku begitu bodoh hanya untuk menyadari ini? Aku benar-benar bodoh.” Dia berkata menggunakan nada naik-turun, tak bisa menahan rasa yang ada di dalam pikiran. 

Memori-memori tentang dipecatnya dia, hari waktu istrinya meninggal, ketika dia tak henti-hentinya menabok dan memukul anak-anaknya, terus berputar dan berputar.

Lagi-lagi Si Bapak menepuk lengan Si Ayah untuk menenangkan. “Selalu ada masalah. Kau tak bisa menghindari itu. Tinggal seberapa kuat kau menghadapinya.” Dia menoleh bergantian, dan selang beberapa menit, dia bangkit berdiri.

“Mau ngapain?”

“Aku mau mengajak ngobrol anak itu.”

Ketika hendak melangkah tangannya merasa ditarik. Si Ayah berkata, “Nggak usah, biar aku saja.”

Si Bapak terbingung. Dia duduk kembali, memperhatikan Si Ayah berjalan ke anak tersebut. “Hey, kau mengenalnya?”

Si Ayah tepat berada di belakang sang anak, yang asyik menikmati minum. Dia lalu menepuk pundaknya, membuatnya menoleh. Seketika muka Selly langsung berubah. “A-ayah?”

Hening terjadi. Semua mengalihkan perhatian kepada mereka.

Dan Si Ayah memeluk Selly, melontarkan seluruh sisa air matanya di pundak sang anak. Dia tak peduli akan mata orang-orang, dia terus memeluknya, makin lama, dan makin erat.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama