Lebih Dari Kematian

Mungkin para tetangga kawasan sana bakal kaget melihat Tono, seorang pria buncit berumur lima puluh tahun, sedang menciumi kening istrinya.

Dia kemudian tersenyum sembari mengelus-elus perut sang istri yang semakin membesar. 

Setelahnya Tono kembali meluruskan badan. “Yaudah, aku pergi dulu ya.”

“Kamu yakin? Malam-malam gini mau narik?”

“Iya, Yang. Insomniaku juga kayaknya kambuh lagi. Gakpapa, kamu gak usah khawatir. Istirahat saja sana.”

Sekali lagi si istri mengambil tangan sang suami, menciumnya. Dengan ragu dia berjalan masuk ke arah pintu dan menutupnya secara perlahan.

Tono membalik badan, menuruni undakan tangga singkat menuju mobilnya yang terparkir. 

Di balik kemudi dia merasa resah. Sungguh membosankan sebenarnya melihat muka perempuan itu. Jika saja aku bisa kabur dan mencari istri baru untuk ketiga kalinya, batin Tono dalam hati.

Dia mensarter mesin mobil, berkendara ditemankan oleh tengah malam yang gelap. Cat mobil kuningnya tentu mudah dikenali di sepanjang jalan yang sangat sepi itu. Sesekali di balik kaca Tono mengintip aktivitas orang-orang yang seperti kelelawar.

Wajah-wajah mereka terlihat lelah. Di trotoar, ada seorang lelaki memakai kemeja biru, dia membawa tas hitam sambil berjalan kayak orang setengah sadar. Tono menebak di pikirannya pasti tak sabar ingin tidur memeluk sang istri yang sudah menunggu di kamar dengan gairah berbara-bara. Kecuali jika dia tengah hamil.

Tono menyalakan radio. Matanya kini memperhatikan perempuan muda setengah telanjang yang berada di sisi jalan lebih gelap. Jalannya sempoyongan ingin mencapai halte bus. Jelas wanita itu mabuk. Tono hanya berharap dia tak mendapat teman sebangku yang penuh hawa nafsu, atau sang ibu yang telah lama diam di halaman rumah dengan sapu lidinya.

Tono, meraih sebotol air mineral, dan menenggaknya. Jelas pekerjaan ini butuh banyak cairan. Dia menurunkan tekanan pada pedal gas, berharap ada orang waras yang mencari-cari taksi di daerah situ.

Radio melantunkan lagu favoritnya. Tono tak terlalu menyenangi lagu, tapi dia menyukai yang klasik. Gesekan bercampur melodi kuno dengan diiringi suara yang tidak difasilitasi oleh alat rekaman yang berkualitas, sungguh membuat hati ini gemetar.

Tak lama setelahnya dia mendengar suara panggil dari arah belakang. “Taksi!” Hanya suara tersebut yang mampu mengalahkan keindahan alunan musik ini. Dia mematikan radio.

Perlahan, Tono memundurkan taksi sampai ke pinggir jalan dan menemukan lelaki bertopi (dengan tubuh normal). Syukurlah. Orang itu mendekat dan membengkokkan badan menatap Tono. 

“Bapak bisa mengantarku?”

POSTINGAN POPULER:

Tono mengerutkan alis, melihat lebih jelas. Oh, hanya anak muda 23 tahun yang tersesat tampaknya. “Kemana aja, saya akan antarkan.” Tapi uangmu harus dimuka untuk bisa menabung biaya persalinan anakku nanti, lanjutnya di pikiran.

Si anak muda masuk, duduk di samping pak supir. Tono menjalankan mobil. “Jadi mau kemana kau ini?”

“Lurus, biar saya yang ngarahin.” Dari ekspresinya anak muda itu macam habis dikejar anjing yang marah karena dikasih pantat.

Tono mengangguk saja. Dia berkendara dengan berhati-hati, semulus badan istrinya lima bulan lalu. Orang-orang di berbagai tempat mulai pada  menghilang, tersisa muka-muka kriminal. Biarlah mereka beraktivitas. Oh, dunia ini memang kejam. Menurutnya jika tidak ada penjahat, semua akan membosankan seperti dalam film-film pendek yang dibikin anak SMA.

Tono menyadari lama dia tak berbicara dengan penumpangnya. Di samping, Si anak muda terdiam sembari mengendus jendela. Tono bukanlah tipe orang yang menyukai suasana ini. Persetan dengan kesopanan dan rating rendah.

“Hmmm, hei.” Si anak muda menengok usai dipanggil. “Kau habis pulang kerja?”

Sejenak, dia berpikir. “Ya.” Sebuah “ya” yang tidak tulus.

“Di mana kerjamu?”

Si anak muda melipat kedua tangannya di depan dada. “Pabrik.”

“Owh … pasti capek ya.”

Anak itu hanya mengangguk ringan, kemudian mengangkat tangan menunjuk jalan yang membelok ke kiri. 

Tono menurut. Dia mencoba melirik Si anak muda lagi. Dan dia teringat akan seseorang. “Nak, pernahkah aku bertemu denganmu? Di mana gitu?”

Si anak muda mengangkat bahu. “Mungkin.”

“Ya, ya. Kau tahu.” Tono meraup dompet di kantung celana dan memperlihatkan foto keluarganya ke anak itu. “Lihat, ini istriku. Cantik, kan?”

Memang, istrinya cantik. Tak ada yang bisa menyangkalnya. Namun entah mengapa si anak muda malah menggeram. Cepat, Tono memasukkan fotonya kembali. Dasar anak muda. 

“Yah, aku cuma mau bilang, istriku sedang mengandung sekarang. Dan aku berharap anakku akan sepertimu kalau sudah besar. Aku suka sama energi dan tekadmu, kurasa.”

“Pak, supir,” Si anak muda tiba-tiba menghadapnya, membuat Tono agak terkejut. “Bagaimana pendapatmu soal kenyataan pahit?”

Tono hampir tertawa mendengar pertanyaan tersebut. Dan dia langsung mengerti. “Yang kau bicarakan ini adalah hal yang lebih menyakitkan daripada pisau setajam apapun. Aku tak mampu mengingatnya. 

“Tapi, ayolah, tak usah kau terlalu memusingkan itu. Namun selebihnya, itu hanya kotoran yang wajar. Tugas kita sekarang tinggal melanjutkannya.”

“Kau, gak merasa perlu memperbaikinya?”

Kali ini Tono tertawa. “Untuk apa memperbaiki kotoran? Kotor ya kotor, gak usah dipedulikan lagi.” 

Si anak muda makin memajukan badan. “Bahkan jika merugikan orang lain? Dan itu semua karena kau?”

“Ya.”

“Kau pernah dihantui kenyataan itu?”

Tono tak menjawab, dia terdiam sebentar. “Ya, pernah.”

“Apa yang kau lakukan?”

“Pertama, aku tak bisa menerima kenyatannya. Jadi, lupakan. Menyingkirkan semuanya. Berpikir egois. Dunia ini penuh dengan sirkuit, jika kau tertinggal, kau dalam masalah. Tapi ada satu cara yang gampang kalo kau ingin terus bertahan. Musnahkan pembalap lainnya, hilangkan mereka dari pikiranmu. Mungkin curang, tapi apa yang tidak di dunia seperti ini. Kan?”

Si anak muda berpaling kembali ke jendela. “Yeah, benar. Dan bagaimana jika ada yang merasa tak terima dengan kecuranganmu itu?”

“Entah, itu hanya orang-orang tolol yang tak mengerti permainannya.”

“Mungkin aku orang tolol itu … Stop!” Si anak muda melambaikan tangan. Supir berhenti di depan apartemen. “Tunggu di sini.”

“Hey, tapi-”

POSTINGAN POPULER:

Pintu menjeblak tertutup. Tono menghela nafas, menenggak lagi air mineralnya. Tak lama kemudian Si anak muda kembali, tapi dari arah lain di kegelapan. Dia menyeret mundur plastik hitam berukuran besar. Tono penasaran apa isinya.

Si anak muda membuka pintu belakang, memasukkan plastik tersebut sekuat tenaga.

Tono memutar badan. “Apa itu?”

Dia tak menjawab.

“Tolong jelaskan padaku apa isi plastiknya?”

Si anak muda terengah-engah. Setelah selesai, dia menutup pintu. Lalu tangannya mengambil sebuah pistol, mengarahkannya kepada Tono. “Jalan, atau kutembak kepalamu.”

“Apa-apa ini-”

Si anak muda menempelkan ujung pistol ke pelipisnya. “Sebaiknya kau kendarai mobil ini, Pak tua.”

Tono tak punya pilihan lain, dia lanjut menyalakan mobil dengan tangan gemetar. “Ap-apapun yang bakal kau lakukan, tolong jangan sakiti aku. Atau keluargaku.”

Terdengar celetukan tawa di belakang. “Pasti kau menyesal menceritakan semua tentang keluargamu tadi. Jangan khawatir, kalau kau menuruti semua perkataanku ...”

Tono menunggu.

“ … jangan khawatir.

Tangannya penuh keringat memegang stir. Dia dengan baik menuruti sesuai perkataan anak muda tersebut. Setiap melirik kaca, dia selalu menemukan si anak muda tengah menodong pistol ke arahnya sambil tersenyum.

Menit-menit menegangkan berlalu.

Si anak muda membawanya ke tempat sepi yang tak dia kenal. Tono memberhentikan mobilnya setelah dapat instruksi dari Si anak muda.

“Oke, sekarang aku boleh pulang?” tanya Tono.

“Belum,” jawab Si anak muda dengan dingin. Dia mengeluarkan plastik hitam, dan menaruhnya di samping mobil, dekat pohon besar.

Masih di dalam mobil, Tono merasa seperti orang mati. Putus asa, akhirnya dia membuka pintu. Berniat ingin kabur dia malah terjatuh usai kakinya tersandung batu kecil.

Plastik hitam Si anak muda tepat di hadapannya. Kepala Tono ditarik, matanya melotot menatap pistol.

Perlahan Tono bangkit dan duduk. Dadanya gemetar tak keruan. 

Si anak muda menatapnya lamat-lamat, menyibakkan rambut ke belakang. “Sekarang kau ingat aku?”

Tono terbingung, mengerutkan alis.

“Kau emang lelaki brengsek. Baiklah, aku akan mengakuinya.” Si anak muda menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Akulah salah satu yang di sirkuit atau apalah yang protes dengan kecuranganmu. Sekarang kau mulai ingat? Hah?”

Mata Tono terbuka lebar.

“Oh, ya. Usai kau membunuh ibu dan menelantarkanku, dengan adikku ini.” Dia berdiri, menunjuk ke kantung hitam. “Adikku ini, yang hidup penuh penderitaan bersamaku. Dan kau, kau dengan mudahnya melupakan kita!”

“Rama?” Tono ikut berdiri dan mendekat. “Itukah kau?”

“Ya, memang istri jalangmu cantik tapi tinggal tunggu waktu hingga dia tahu dirimu tak lebih dari lelaki bajingan. Dasar tua, pemabuk!”

“Nak, maafkan aku.”

Rama menepis tangan Tono yang terangkat kepadanya. “Dan sekarang, aku ingin membalas dendamku.” 

Rama kemudian mengarahkan pistolnya ke leher dia sendiri. “Aku mau kau menghadapi kenyataan tersebut. Aku mau kau kembali ke jalur sirkuit, tertinggal. Dan aku, dan Adikku, mau kau menderita dan menyesal seumur hidup. Ingatlah, kau telah membunuh kedua anakmu.”

“Dorrr!”

“Tidak!”

Darah berceceran membasahi rumput. Tono berusaha membangunkan mayat anaknya. Tapi tidak, semua itu sudah terlambat.

Tono menarik-narik rambutnya, dan tanpa sadar sebutir air mata jatuh bersatu dengan darah. 

Air mata penyesalan. 

Kenyataan itu datang lagi dalam bentuk yang jauh menyiksa, dan dia tak yakin mampu menghadapinya.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama