Kawasan perumahan tersebut sangat sepi, jarang sekali ada kegiatan.
Di salah satu rumahnya yang bertingkat ada sepasang suami-istri juga anak mereka yang berusia 11 tahun. Anak itu kembar, namanya Sissy dan Silly.
Makan malam terjadi monoton, membuat kakak-beradik ini cepat memutuskan pergi ke kamarnya. Ketika jalan menaiki tangga, mereka mendengar suara Mama di meja makan, “Hey, mau ke mana? Makanannya habisin dulu.” Tapi mereka mengacuhkannya.
Sissy dan Silly tidur di dalam satu kamar, namun beda ranjang. Di sana mereka menghempaskan diri dengan kesibukan masing-masing.
Sissy menghabiskan sisa hari mendengarkan musik-musik favoritnya menggunakan earphone. Sedangkan si adik membaca novel yang sudah berulangkali dia baca. Judulnya Petualangan Sherlock Holmes.
Sejak kecil Silly memang hobi sama hal-hal yang berbau misteri. Bahkan dia pernah bermain detektif-detektifan dengan kakaknya sebelum umur mereka sepuluh. Kadang-kadang dia agak cemas jika memikirkan borgol asli yang dia simpan secara rahasia di balik lacinya.
Di luar, malam semakin gelap. Lampu-lampu rumah para tetangga dinyalakan, menerangkan sebagian jalan.
Sejam kemudian Silly merasa bosan, menandakan halaman terakhir. Dia berpindah ke ranjang sebelah, di mana Sissy tengah asyik mengutak-atik heandphonenya.
“Eh, emang kamu udah ngerjain PR?” tanya Silly.
Sissy melepas kedua benda yang menggantung di kuping. “Apa?”
“Kamu udah ngerjain pr, belum?” Kali ini suaranya lebih besar.
“Oh, belum.”
Menghela nafas, Silly berkata, “kebiasaan. Mau kukerjain gak?”
Sissy tersenyum senang. “Ah, yaudah, ambil aja di laciku. Bukunya di sana semua.”
Karena sekelas, Silly tak perlu bertanya lagi, dia sudah tahu. Dia mengambil buku tulis dengan label bertuliskan IPA. Dia mengerjakannya di meja belajar samping jendela kamar yang mengarah ke luar.
Jelas ini perbuatan yang tidak baik (Mama yang memberitahu itu), tapi entah mengapa dia sangat menikmatinya.
Lalu tiba-tiba, ketika asyik menjawab soal-soal, telinganya menangkap bunyi pintu terbuka yang berasal dari jendela berbarengan dengan lampu rumah sebelah yang dua tahun ini tidak pernah dinyalakan.
Silly membuka jendela dan melihat. Angin malam yang dingin bikin badannya merinding sejenak. Dan, di rumah tersebut yang kini dikuasai oleh kerapuhan karena usia, di terasnya seorang wanita dan satu pria menggandeng beberapa koper berukuran besar.
Ini sungguh mengagetkan. Silly telah menduga rumah kosong itu tidak mungkin dihuni lagi. Calon penghuni itu memiliki rambut panjang terurai, dan yang lelaki mempunyai dada sebidang belokan di sudut jalan.
Terpaku di jendela, Silly memanggil kakaknya tanpa menoleh.
“Duh, apaan sih. Berisik tau gak?” omel Sissy.
“Sini, buruan, mau lihat gak?”
Sissy beranjak dari kasur dengan penuh rasa kesal. Dia ikut memandang di jendela. “Ada apa, sih?”
Silly menunjuk. “Tuh, liat tuh. Rumah itu dibeli. Kayaknya.”
“Wah, akhirnya laku juga ya rumah itu.” Sissy terperangah. “Mereka tampak pasangan yang baru nikah. Baguslah, jadi gak sepi-sepi amat. Setidaknya di sini.” Sissy membalikkan badan dan terenyak kembali di ranjang.
Sementar Silly, terus di situ, memperhatikan tetangga barunya masuk dengan mata curiga. Kata orang-orang rumah tersebut berhantu.
Sissy kemudian memandangi seluruh kawasan perumahan sejauh dia bisa. Tetap tak ada yang berubah, seperti hutan angker yang diisi bermacam-macam hewan liar.
Dan dia berpikir, buat apa sepasang kekasih muda membelinya? Apa gak ada rumah lain? Daerah ini kebanyakan diisi oleh pensiunan tua atau orang yang membenci keramaian. Terdengar mustahil dari wajah mereka.
***
Mereka melakukan makan malam di hari berikutnya. Sang Ayah yang baru saja pulang kerja dan masih memakai jas berwarna hitam, bertanya, “Gimana sekolah kalian?”
Silly menjawab, “Kan ini hari sabtu.”
Ayah mengangguk menyadari.
“Kakak, pr-mu masih dikerjakan Silly?” tanya Ayah lagi.
Sissy bergeleng cemas.
Dari arah dapur Mama datang dengan piring-piring bertumpuk di tangannya. “Jangan bohong, Kak.”
“Beneran, aku nggak-”
“Iya bener-”
Semua menoleh kepada Silly.
“Aku udah gak ngerjain prnya lagi kok.”
Mama duduk di sebelah Ayah. “Yakin?”
“Yakin.”
Mereka selanjutnya menikmati masakan Mama yang tak pernah mengecewakan. Sissy lalu membuka topik mengenai tetangga barunya.
“Ya, Mama tahu.”
Silly ikut nimbrung, “Itu suaminya, ya?”
“Suami siapa maksud kamu?” Jidat Mama mengkerut.
“Kan, dia tinggal di rumah berdua.”
“Iya, Sissy juga lihat mereka masuk berdua,” kata Sissy.
“Owh.” Mama berpaling menatap Ayah. “Kalo itu, Mama gak tahu. Tapi satu hal yang harus kalian ingat. Jangan kasih kesimpulan terlalu cepat, dan jangan ikut campur atau penasaran sama hidup orang lain.”
Mereka terdiam sampai makan malam berakhir.
Silly jadi kepikiran. Pelan-pelan dia lalu menghadap ke kakaknya. Sissy terbingung oleh ekspresi adiknya.
Setelah makan malam usai, mereka masuk ke kamar. Silly duluan cepat mencapai jendela. Sekarang rumah itu lebih terang dengan lampu kuning yang terpasang di teras. Di pertengahan rumah juga ada jendela. Mungkin dalamnya kamar.
Sissy yang sudah mengantuk menyusul. “Kamu ngapain, sih?”
“Kak, aku tau.”
“Tau apa?”
“Mereka bukan suami-istri!”
Sissy menguap. “Mau suami-istri kek, mau bukan kek, gak ada yang penting buatku. Kecuali jika mereka yang ngerjain pr-ku setiap hari.”
Silly tentu mengerti jika ini bukan urusannya, tapi ada hal yang dia yakini pasti terdapat sesuatu. “Dengerin dulu, Kak. Masalahnya, aku nggak lagi ngeliat laki-laki yang kemarin hari ini, cuman perempuan itu.”
“Aduh, Sil. Namanya cowok, mungkin dia emang pengen santai aja di dalam rumah.”
“Ahh, ayolah. Masuk akal, kan? Kurasa gak bakal ada penghuni baru yang bahkan gak mau keluar rumah untuk sekedar melihat-lihat di hari pertamanya, atau mencoba menghirup angin.”
“Terus, menurut kamu mereka apa?”
Silly tak berucap apapun.
“Kamu kangen maen detektif-detektifan, ya?”
“Sissy, ini serius. Gimana kalo ternyata perempuan itu … eh, … eh, membunuhnya?”
Sissy tertawa terbahak. “Kamu jangan aneh-aneh deh. Gini nih akibatnya kalo kebanyakan nonton film ama baca cerita-cerita fiksi.”
“Dan … ya bener banget,” Silly tak terlihat peduli. Karakter detektif yang selama ini dia lihat di film-film muncul dalam dirinya. “Dia tahu lingkungan di komplek ini seperti apa. Dia tahu gak ada aktivitas banyak di sekitar sini. Itulah yang ngebuat dia akhirnya-”
“Udah deh, Sil. Berhenti sama omong-kosongmu. Mending kita tidur. Atau kamu ngerjain lagi tuh pr-ku, biar waras sedikit.”
Silly menatap sebal sang kakak. Dan semuanya dipecahkan karena suara ketukan yang persis kayak kemarin. Seksama, mereka mengalihkan pandangan.
Di depan rumah itu, seorang lelaki berbaju olahraga mengetuk pintu berkali-kali. Pintu terbuka. Si perempuan tampak senang dan tersenyum. Dia membawa masuk lelaki tersebut ke dalam rumahnya dengan gandengan mesra yang menjijikkan.
Beberapa menit berlalu dalam hening, dan perlahan Silly memutar lehernya. “Apa kataku?”
***
“Tapi siapa tahu itu-”
“Gak mungkin, Kak. Masa ada pembantu seganteng itu. Jikapun lelaki kemarin keluar malamnya, aku tidak melihat dia sama sekali ketika ngelanjut ngerjain pr. Dan gak mungkin juga dia membawa masuk dua lelaki tampan ke rumahnya.”
Sissy membalutkan wajah dengan bantal. “Gak ada yang tahu. Gimana ternyata laki-laki kemarin pergi pas siang? Emang tadi siang kamu ngapain aja?”
Silly diam memeras guling. Sejak pagi hingga sore dia terus curiga mengawasi rumah itu tanpa lelah. Dan Sissy pergi main ke rumah temannya.
“Kamu kurang kerjaan, ya? Inget perkataan Mama.” Sissy gusar.
“Tapi kak, kalo ada apa-apa sama laki-laki kemarin gimana?”
“Gini aja. Sekarang, malam ini, kita buktikan. Kalo lelaki yang barusan masuk ternyata pergi lagi, jelas ini bohong. Tapi kalo nggak, mungkin aku bakal percaya.”
Silly tersenyum penuh kemenangan. “Nah, yaudah. Kalo gitu malam ini aku berjaga, paginya kamu bangun dan gantian. Oke?”
Kakaknya mengangguk malas.
Dan sepanjang malam sampai pagi, Silly tak patah semangat memantau rumah penduduk aneh tersebut.
***
Sissy dan Silly di malam selanjutnya melongok memandang dengan mata tak berkedip. Lagi-lagi pintu rumah itu diketuk sama lelaki yang berbeda. Si perempuan mengajaknya ngobrol sebentar dan membawanya masuk seperti biasa.
Sissy yang duluan memutar badan. “Ini gak mungkin,” ucapnya memakai nada yang belum pernah dia pakai.
“Ada sesuatu di balik ini semua. Pasti.” Silly menatap kakaknya lamat-lamat. “Sekarang sudah terbukti. Lelaki berbaju olahraga yang kemarin gak keluar dari rumah. Dan sekarang, datang lagi yang lain.”
“Apa tujuan dia?” Alis Sissy menukik tajam. Tak pernah dia se-khawatir ini. Jantungnya berdetup kencang.
Tidak tahu, Silly menggeleng. “Cuman satu cara agar mengetahuinya.”
“Apa?”
Dan, terdengar suara teriakan. Jendela yang ada di pertengahan rumah lampunya mati-nyala berkali-kali. Suara lelaki terus terdengar sebelum akhirnya, seketika diam. Dan lampu kembali mati.
Mereka saling menatap cemas. “Apa yang harus kita lakukan?” Sissy bertanya.
“Lapor polisi,” baru saja hendak berbalik, tangan Silly duluan ditahan.
“Tapi, gimana caranya. Mereka gak bakal percaya.”
Dan terlintas satu nama di kepala Silly. “Mama?”
Mereka turun berbarengan membuat bising suara tangga. Ibu tengah membuat teh di dapur, kaget melihat kedua anaknya yang urak-urakkan.
“Eh, pada habis ngapain sih?”
Sissy menunjuk-nunjuk tidak jelas. “Itu, tetangga kita, dia pembunuh!”
“Iya bener, tadi, dia masukin laki-laki lain lagi. Sementara yang kemarin gak kami lihat keluar dari rumah itu! Pasti dibunuh!” timpal Silly dengan berbara-bara.
Tapi Mama menekan pinggang. “Kalian gak dengar ya kata Mama-.”
“Bener Ma, Silly lihat sendiri!”
“Udah! Stop omong kosongnya, Mama gak mau denger. Lebih baik kalian balik ke kamar. Tidur! Awas kalo besok kesiangan! Ada-ada aja.” Mama mengambil secangkir teh yang habis diseduhnya, dan beranjak pergi ke ruang tamu sambil berkata, “Kalo kalian masih terus mengintip lewat jendela itu, Mama bakal pindahin kamar kalian. Dan Silly, jangan kebanyakan nonton Sherlock Holmes.”
Mereka sejenak tak bergerak. Silly kembali ke kamar. Di lacinya dia mengambil borgol yang disimpan.
“Kamu mau ngapain?” tanya Sissy di belakang.
“Nih, brogol ini. Aku ada rencana.”
“Jangan bodoh! Kita bisa-bisa dibunuh sama perempuan gila itu!”
Silly melangkah maju. “Terus apa yang kita lakukan sekarang? Berdiam diri? Tidur sementara ada orang yang terluka tepat di samping rumah kita?”
Menatap lantai, Sissy tak bersuara. Kemudian dengan ragu dia mengambil borgol yang dikasih adiknya.
Silly mengangguk, tanda meyakini.
***
Gemetar kaki yang Sissy rasakan sungguh hebat. Tangannya ditaruh di belakang sementara pandangannya fokus ke jalan agar tidak terjatuh. Lampu kuning yang terpasang di teras sangat terang. Dia terpaku di depan pintu. Dadanya maju-mundur, desahan nafas makin tak terasa.
Dia lalu mengangkat tangan ragu-ragu, seraya menatap tiang dekat di sebelah pintu. Seluruh tubuhnya bergoyang, dan, dengan tekad kuat, dia kembali tegar. Jarinya yang mengepal mengetuk. Tiga kali.
Lima detik bergulir tapi tak ada yang ngerespon. Dia mengetuk lagi. Lima kali. Dan, diketukan terakhir, pintu terbuka. Sissy berjalan mundur sambil berjaga supaya tidak kejauhan.
Pintu yang setengah terbuka memperlihatkan wajah seorang wanita cantik. Namun sekarang wajahnya diisi oleh goresan-goresan berwarna merah sebelum dielapnya dengan cepat. Sissy menelan ludah. Si wanita cantik terlebih dahulu berkata:
“Siapa kamu?”
Kata pertama yang Sissy keluarkan terbata. Tapi entah mengapa, selanjutnya lancar sekali. “Saya, saya dari organisasi persaudaraan di komplek ini.”
“Apa?”
“Organisasi persaudaraan. Jadi, tujuan saya kemari untuk memberi tanda-”
“Maaf, saya sibuk.”
Sergap, Sissy menahan pintunya yang ingin menutup. “Saya hanya butuh waktu sedikit saja.” Pintu setengah terbuka macam sediakala.
“Kamu mau apa?”
“Hmmm ... saya cuma mau memberi gelang ini.” Dia memperlihatkan tangan kanannya yang terdapat sebuah gelang kuning bekas acara di sekolahnya. Logo di tengah-tengahnya dia copot.
“Oh, yaudah sini.” Si wanita mengulurkan tangan meminta.
“Maap, sebelumnya ... dem-demi persaudaraan kita semakin ketat. Saya yang harus memakai gelang ini ke tangan saudara.”
Hening. Si wanita menimbang sebentar. “Yaudah deh, buruan.”
Membuang nafas tegang, Sissy sesopan mungkin menarik tangan wanita itu. Kasar dan basah. Badannya memaju, kemudian, tanpa memberi jeda sedikitpun, Sissy mengeluarkan borgol yang di balik tangan kirinya.
Dia memborgol tangan wanita yang terulur sebelum mengaitkannya kepada tiang di sebelah pintu. “Sudah, sil!” Sissy berteriak.
Dan, di belakang terdengar pecahan kaca yang amat keras.
Sissy meninggalkan Si wanita yang berusaha melepas diri, masuk ke dalam rumah. Tak jauh dari sana, di sebuah kamar, dia menampak adiknya melepas ikatan tali dan sumpelan mulut lelaki yang masuk tadi. Kakinya berkucuran darah. Sissy membantunya berdiri.
Si wanita tak henti berjuang. Dia mempunyai seribu akal. Jempol tangannya yang terborgol dia patahkan sehingga bisa membuatnya bebas kembali. Segera dia masuk dan mengambil kapak yang tergeletak di ruang tamu.
Mereka tergesa-gesa kabur lewat jendela yang dipecahkan Silly. Pintu kamar sudah Sissy tutup menggunakan barang-barang di sekitar.
Menapak kaki di luar, Silly menahan berat badan lelaki tersebut yang dilepas pelan-pelan oleh kakaknya. Dia menggandeng sebelah lengan Si korban. “Kamu bisa jalan?”
“Bi-bisa, bisa.”
Sissy menoleh ke belakang. Pintu digedor dengan sangat keras. Tak butuh waktu tiga detik, dan pintu itu terjeblak terbuka, memperlihatkan wanita cantik sadis yang kini tampak macam monster menakutkan. Sissy meraih ujung jendela, menarik dirinya ke atas. Silly membantu keluar. Pecahan-pecahan kaca yang berserakan melukai kulit-kulit mereka menjadi darah.
Sissy berusaha, setengah jalan lagi. Namun, tiba-tiba, kakinya ditarik. Dia menendang hingga Si wanita jatuh terpental. Waktu ini dia gunakan untuk keluar. Rumput tebal membuatnya tak terlalu sakit ketika menerjunkan diri.
“Kamu, nggak apa?” tanya Silly menyuruhnya bangkit.
“Gak, gakpapa. Ayo cepat, kita harus lari.”
Bersama-sama mereka berlari sambil menggandeng tangan Si lelaki. Kakinya terpincang. Keluar ke jalan, Si wanita terus mengejar mereka.
Sissy dan Silly berteriak minta tolong. Tapi tidak, tak ada yang menjawab. Bahkan Ibunya tidak, mungkin dia terlelap di pangkuan sofanya. Dan masuk ke rumah mereka bukanlah ide yang baik.
Si wanita berlari pelan-pelan menjaga agar warga tidak keluar dari rumah. Goloknya erat di genggaman.
“Tolong! Tolong!”
Semakin mereka berlari, semakin terasa jauh akan keramaian.
Setelah beberapa menit mereka tak kuat lagi. Tenaga kakak-beradik kembar itu habis tak tersisa. Mereka pun terkapar di aspal. Tak ada jalan, pupus sudah harapan.
Lalu, tampak siluet wanita seperti buaya yang siap menerkam. Langkahnya mendekat. Goloknya dia sampirkan di bahu.
Si wanita berdiam. Wajahnya tersenyum. Dan, dengan kedua tangan dia mengangkat golok tersebut.
Mata mereka terpejam. Pasrah.
Namun, entah apa dan penyebabnya, pintu salah satu rumah terbuka, diikuti pintu rumah lain. Mereka saling memberitahu apa yang terjadi. Orang-orang di dalamnya berhamburan keluar.
Seketika Si wanita kabur ketakutan, warga mengejarnya sampai tertangkap.
***
Silly menghamburkan nafas lega. Kemudian tidak sadar dia mendapatkan uluran tangan seseorang. Dia menerima uluran itu.
“Kamu gakpapa, Dik?”
Silly mendongak. Sinar-sinar mobil polisi datang dari berbagai arah. Di sampingnya, Sissy menegakkan badan. “Ya, gakpapa.” Silly memandang lebih jelas. Orang-orang berkumpul bercakap ngomongin apa yang sebenarnya terjadi.
Dan timbul perasaan senang itu. Silly tersenyum.