Kembali Pulang

Suasana kota Jakarta cukup panas buatku melangkahkan kaki. Hari ini kedua orang tuaku tidak bisa menjemputku ke sekolah, terpaksa aku harus pulang sendirian. 

Namaku Reyna, usiaku tujuh tahun. Dan perlu kau tahu bahwa aku sangat membenci berjalan kaki, tapi untung rumahku tak sejauh itu. Saat pulang aku langsung menghempas diri ke kasur tanpa mengganti baju merah putihku.

Saat bangun, bergegas aku menuju ruang tamu. Namun langkahku terhenti melihat kedua orang tuaku telah sampai di rumah. Tak biasanya mereka sore gini udah pulang. Tapi aku dibuat bingung, Ayahku memeluk ibu di depan tv dengan erat. Khawatir, aku mendekat.

“Ibu kenapa, Yah?”

Ibuku berpaling dan berjongkok menghadapku. Dari mukanya terlihat  kumpulan air mata berceceran. Ibu memelukku. Aku melepasnya. “Ini ada apa, sih?”

Ayah menuntun ibu duduk di sofa. Aku bersarang di sampingnya. Ibu melirik, kemudian berkata dengan lemas, “Kakekmu meninggal.”

Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku sama sekali belum pernah menemui kakek kecuali dari foto. Tapi yang jelas itu membuat ibuku rapuh, dan aku langsung memeluknya.

“Malam ini kita berangkat ke Yogya, ke rumah kakek,” ucap ayah. 

POSTINGAN POPULER:

Ibu mengangguk letih. Entah mengapa aku merasa ibu tak cuman sedih, tapi lebih dari itu. 

Selanjutnya kita bercakap-cakap. Beberapa informasi yang aku dapat: Aku tiba di Yogyakarta usai menaiki pesawat, aku akan bertemu saudara-saudara yang tak aku kenal, seperti paman yang menetap di China bersama keluarganya, bibi yang jauh hidup di Sumatera sembari menitis usaha, hingga seorang yang kuliah di Amerika demi mendapatkan gelar doktor. Ibu punya banyak saudara namun hanya satu yang tinggal bersama kakek.

Penasaran aku bertanya, “Kakek meninggal karena apa?” 

Ayah yang menjawab, “Serangan jantung.”

Aku sendiri tak sabar melakukan perjalanan ini. Jelang malam kuhabiskan waktu untuk membereskan pakaian serta barang-barang yang kurasa penting buat dibawa. 

Pukul sembilan kita tiba di bandara, dan masuk ke pesawat. Ini momen yang paling kutunggu. Aku sering menonton superman dan membaca komik superhero yang dijual dekat pasar. Sejak itu aku bermimpi punya kekuatan terbang. Dan aku kecewa ketika abang-abangnya berkata bahwa itu mustahil dan hanya kartun.

Pesawat pun lepas kendali, terbang menembus langit malam yang bersih. 

Tiga jam berlalu dan aku sudah di dalam taksi. Di balik kaca mobil aku menatap kota Yogyakarta di malam hari. Beberapa orang berkendara dengan muka tak sabar pulang mau bertemu keluarga, sebagian lagi masih berdagang berharap ada pembeli yang rela mengorbankan uang lima ribunya agar terbeli sebungkus nasi kucing. 

Selepas turun dari taksi aku melewati gang kecil sampai terlihat rumah yang ramai dipenuhi warga. Bendera kuning bertebaran dimana-mana. Aku diantar masuk. Tak sanggup kuhitung berapa kali ibuku berpelukan dengan orang lain. Aku hanya menatap bingung, sambil menebak mana orang yang ibu bicarakan tadi saat di sofa. 

Dan di dalam pikiran aku bertanya-tanya. Kenapa banyak sekali orang yang ramai berbondong-bondong ketika ada orang meninggal? Kenapa mereka sedih? Apa yang spesial dari orang meninggal? Bukankah pada hakikatnya yang seperti guru agamaku jelaskan, jika manusia pun akan kembali pada ujungnya? Seolah itu kabar baru untuk mereka sekarang. Apa mereka tak punya guru itu? 

Kemana mereka selama ini?

Karena sudah tengah malam aku dibawa masuk ke dalam kamar. Di sana aku berkenalan dengan perempuan yang usianya tak jauh beda dariku. Dia berkata, “Namaku Sofia.” 

Sofia memiliki wajah yang cantik. Aku jadi iri. Setengah jam aku mengobrol dan kemudian tak sanggup lagi. Aku tertidur pulas di atas kasur, tenggelam pada kegelapan.

***

Aku merasakan sinar yang amat terang menimpa mataku. Sekuat tenaga aku berdiri. Bingung melanda. Tak ada siapapun di sekitarku. Aku dikelilingi oleh tembok putih yang tak bisa ditembus.

Aku mengucapkan, “Halo” berkali-kali, tetapi tidak ada yang menjawab. Tak lama tampak sileut seseorang dari kejauhan. Orang itu berjalan mendekat.

Seketika aku takut. Kakiku mundur perlahan-lahan. Kembali berhenti ketika akhirnya bisa memandang orang itu dengan jelas. Dia seperti tak asing bagiku. Dan aku teringat, dia sering berada dalam bingkai foto-foto  di rumahku. 

Orang itu kemudian duduk berlutut, menatapku lekat-lekat. Matanya yang layu dan kulitnya yang keriput memberikan kesan tua. Dia tersenyum. “Kamu Reyna, ya?”

Aku terdiam beberapa saat. Dan mengangguk. 

“Akhirnya kakek bisa ketemu sama kamu. Sudah lama kakek mau bertemu.”

“Kenapa nggak?” Aku bertanya dengan polos.

“Orang punya urusannya masing-masing, Nak.” Dan entah karena apa kakek menangis, dia tak sanggup lagi memandangku.

“Kakek-kakek kenapa menangis?”

Kakek kembali mengangkat wajahnya. “Ng-nggak, nggak kok gak papa. Kakek cuman sedih.” Dia mengelus jari-jemariku dengan lembut. “Segininya kah aku demi mendapatkan apa yang aku mau.” Dia berkata lebih ke dirinya sendiri. “Tapi-tapi kakek bahagia sekali.”

Aku tak mengerti apa yang diucap kakek. 

“Kamu-kamu cantik Reyna.” Dia menyingkirkan rambutku ke telinga.

“Iya, tapi masih cantikan Sofia, kan?”

Kakek hampir tertawa. “Kata siapa? Menurut kakek cantikan kamu, kok.”

“Beneran?” Aku tergirang.

POSTINGAN POPULER:

Kakek mengangguk, lalu berdiri, tangannya masih di pundakku. “Satu pesan yang kakek ingin sampaikan. Kakek nggak cuma mau kamu hanya dengarkan, tapi diingat dan dicamkan baik-baik. Dalam hidup ada beberapa peringkat yang harus kamu utamakan. Di peringkat ke satu, tarulah keluarga. Keluarga ….”

Dan tiba-tiba semua itu berputar dan aku terbangun ngos-ngosan di kasur. Aku menatap sekeliling. Sofia masih terenyak di bantalnya.

Aku keluar membuka pintu. Di ruang tamu orang-orang sedang asyik mengobrol. Ibu mendatangiku. “Kamu bangun? Dah sono coba cuci muka dulu.”

Aku menuruti. Di kamar mandi, aku membasuh mukaku. Aku menyadari pagi telah terbit. Dan tak sengaja aku melihat sebuah poster superman yang tertempel di balik pintu kamar mandi. Ukurannya sebesar kaca. 

Terlintas di benakku bagaimana kalo aku mengambilnya. Kenapa tidak? Lagipun, untuk apa mereka menaruh poster keren begini di kamar mandi. Mending dikasih ke anak kecil, kan? Perlahan aku melepas poster tersebut dari tembok. Namun tiba-tiba terdengar bunyi klontangan ringan menyentuh lantai. Itu semacam tempat obat kecil, warnanya orange. Aku meraihnya. Isinya kosong. Aku tak mengerti apa itu dan pentingnya.

Segera aku melipat dan menyelipkan poster di celana, dan membuang tempat obat itu dari jendela.

Di ruang tamu aku duduk di samping ibu. 

“Udah cuci mukanya?”

Aku mengangguk singkat. “Bu? Ibu.” Ibu menoleh. “Tadi aku ketemu seseorang pas mimpi.”

“Oh, ya? Siapa?”

Dan mataku teralih ketika melihat laki-laki tua yang duduk di kursi kosong. Kakek. Dia memberiku senyuman, aku tersenyum balik. Bingung, ibu melambaikan tangan di depan wajahku. 

Tapi aku terus menatap kakek. 

Di kursi tersebut, sepanjang hari, kakek tampak bahagia memandangi orang-orang di ruang tamu bercakap tanpa henti. Aku masih tak mengerti apa maksudnya. 

Yang jelas ekspresi kakek merasa puas.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama