Pulang sekolah pada siang hari yang terik Reyhan menaruh tas di sisi tembok kamarnya yang berantakan. Celah keindahannya hanya diisi oleh beberapa lukisan.
Dia lalu bergegas menuju ruang tamu, membuka kulkas, dan meraih sebotol minum yang langsung ditenggaknya sampai habis.
Setelah itu Reyhan melihat sekeliling. Hari begini keadaan rumahnya memang sepi. Kedua orang tuanya kerja mencari duit. Tapi lagi dia melirik sofa depan tv. Di baliknya, menyender seorang wanita tua berambut putih dengan raut muka yang serius. Neneknya.
Reyhan menyamperi sang nenek, mengajaknya salim. “Nek." Wajahnya menampilkan senyum sesopan mungkin.
Tapi Nenek termangu diam.
Reyhan menghela nafas panjang. Nyerah, dia menarik asal saja tangan nenek yang keriput itu dan menciumnya. Sang ibu yang memberitahunya untuk selalu mencium tangan nenek sepulang sekolah.
Walau tampak sia-sia, tapi mungkin itu bisa membuatnya kembali normal. Nenek sejak berada di masa tua mengalami penyakit hilang ingatan. Sehari-harinya dia habiskan bengong di depan layar tv. Nenek seperti tak hidup sama sekali. Dia mengucapkan kalimat setahun sekali saja sudah langka.
Reyhan memutuskan menuju ruang garasi. Dan dia terkaget ketika pintunya dibuka. Cahaya lampu yang biasa dimatikan pada siang hari menggelapkan pandangannya sejenak. Matanya yang kabur perlahan menyadari kehadiran dua sosok yang sibuk di pojok ruangan. Mereka sedang memperhatikan sesuatu di atas meja.
“Kenapa kalian bisa di sini?” spontan, Reyhan berkata begitu.
Mereka menegakkan badan. Pas mendongak, wajah kedua orang itu hampir tak bisa dibedakan. Mereka kembar identik. “Oh, halo Reyhan,” sapa salah satunya.
Reyhan melangkah mendekat. Ruang garasi sang Ayah cukup luas. “Kalian bisa diomelin kalo Ayahku tahu.”
Dari jarak dekat ternyata mereka tak sepenuhnya sama. Hidung mereka sangat kontras. Yang kiri, yang menyapa Reyhan memiliki hidung pesek, namanya Rifky. Sedang yang satunya memiliki hidung mancung, namanya Rizky. Perbedaan yang aneh.
“Tenang. Lagipula, siapa yang gak mau masuk ke rumahmu kalo yang ngejaga seorang nenek tua pikun. Kalo mau maling juga bakal diizinin.” Rizky terbahak atas leluconnya, diikuti Rifky.
“Sembarang kalo ngomong. Jengan hina nenekku.” Reyhan menggeram kesal. Berikutnya hening menguasai. Badannya menyender ke tembok sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Kalian gak sekolah?”
“SMA kita libur,” sahut Rizky.
“Enak banget kalian.” Reyhan yang tahun ini pertamakalinya masuk SMP belum pernah merasakan libur kecuali hari minggu.
Reyhan sudah mengenal dua kembar ini sejak setahun lalu. Mereka lah yang paling sering bermain dengannya. Meski tak seumur. Reyhan dengan mereka memiliki usia yang relatif jauh. Berjarak tiga tahun.
“Jadi, mau ngapain kalian ke sini? Kayak ada yang penting aja.” Reyhan penasaran.
“Emang.” Rizky lantas memperlihatkan kepadanya lembaran-lembaran yang sedari tadi mereka tatapi di atas meja.
Reyhan mengambilnya. Itu adalah koran lama. Tiga tahun yang lalu. Dia membacanya. Dari halaman depannya saja dia sudah mengenali apa yang dibicarakan. Tidak ada yang tidak tahu mengenai kasus ini di desanya. Bahkan jika kau bertanya soal ini kepada anak kecil berusia tiga tahun, mereka pasti langsung mengerti. Berita yang amat populer.
Headlinenya berkata: “Satu organ milik seorang anak hilang ditemukan di dalam rumah misterius itu setelah masa penyelidikan cukup lama sejak si anak dinyatakan menghilang.”
Reyhan mengerutkan alis. Biarpun dia tahu, dia tak pernah membacanya. Tangannya memunculkan selembar koran lain. Catatan tanggalnya menunjukkan itu adalah koran lama dua tahun yang lalu. Headlinenya tertulis: “Hilangnya anak berusia 13 tahun belum ditemukan hingga sekarang. Tak ada barang bukti yang tertera dalam rumah itu.”
Lalu koran terakhir. Dia membacanya lagi. Headlinenya tertulis: “Kembali, anak remaja dinyatakan menghilang. Warga pada curiga dengan rumah misterius tersebut.”
Reyhan menghela nafas panjang setelah menghabiskan paragraf terakhir. Dia meletakkan koran itu di meja. “Ya, yang aku gak paham kenapa anak-anak itu masih mau kembali ke rumah itu semenjak kejadian pertama.”
Tanpa memberi jeda sedetik pun Rifky menjawab, “Mungkin mereka penasaran. Atau ada setan penyedot.”
"Hemm, mungkin. Tapi itu bodoh.” Reyhan berbalik menghadap mereka. “Jangan bilang-” Kepalanya menggeleng membuang muka.
“Oh, ayolah Rey. Apa kamu gak penasaran.”
“Tapi, kenapa?”
“Kenapa?” Rifky mengulang heran, “karena kita libur seminggu. Ini waktu yang tepat. Kau tega ngebiarin kita kebosanan? Ini bakal jadi petualang seru.”
“Kalian gila! Kalian rela masuk ke rumah itu demi menghilangkan rasa bosan kalian?”
“Jangan lebay, Han. Ini cuma buat senang-senang aja. Lagipun besok hari minggu, kau libur. Kita cuma masuk dan cari-cari sebentar ada apa di dalam rumah itu.”
Rizky menyetujui, “Nah, bener tuh. Lagian ya, udah berapa kali tuh rumah dimasuki anak-anak lain atau bapak-bapak yang juga penasaran. Nyatanya gak ada apa-apa, kan?”
Reyhan mematung menatap lantai. Suaranya lelah ketika berucap, “Tapi, gimana kalo ada sesuatu terjadi. Gimana kalo penculik atau apalah yang emang ngilangin anak-anak itu kembali.”
Rifky memeras pundaknya. “Gak akan ada apa-apa. Nah, ini juga yang seru. Dengan kamu ngeliat emang itu gak lebih dari rumah kosong, pandangan kamu terhadap rumah tersebut bakal berubah. Kita yakin mereka cuma gunain rumah itu sebagai alibi.”
Reyhan memandang dua sahabatnya itu bergantian. Berhening beberapa saat. “Jam berapa?”
Mereka terpekik senang. “Gitu dong.” Rifky menepuk-nepuk pundak Reyhan. “Malam.”
Ekspresi Reyhan langsung berubah. “Itu gak mungkin, kedua orang tuaku gak bakal ngebiarin-”
“Ya jangan kasih tau dong.”
“Rey, kamu harus paham, ini petualangan misterius. Cuman kita bertiga yang tahu.” Rizky berusaha meyakini. "Kamu diam-diam aja keluarnya."
Reyhan berkacak pinggang. Kembali berpikir. "Yaudah, tapi kalian bisa ngejamin itu cuma rumah biasa, kan?"
Mereka mengangguk senyum.
Dalam hati Reyhan ikut setuju mengikuti petualangan ini. Tapi setengah dari itu bukan keinginan yang membuatnya menyetujui, tapi lebih ke keterpaksaan, atau kekhawatiran kehilangan teman. Tampak dia mau cepat saja melewati ini.
***
Di kamarnya, Reyhan telah bersiap dengan membopong tas besar. Sebelum keluar kamar dia meraih topi.
Langkah kaki Reyhan berhati melintasi koridor. Ketika di ruang tamu tangannya memutar pintu utama menggunakan kunci secara perlahan. Dia tak mau membangunkan kedua orangtuanya. Dan waktu pintu itu terbuka kupingnya menangkap suara gesekan dari arah dapur, sebelah kanan. Pikirannya langsung berkata bahwa itu adalah ibunya.
Dia membalik membelakangi pintu. Matanya terpejam pasrah. Namun tak lama setelah berani membuka mata ternyata itu cuman nenek. Nenek duduk di kursi roda tepat di depannya. Tangan keriputnya lalu mengeluarkan sesuatu, dan mengulur kepadanya.
Telapak tangan nenek perlahan membuka. Dan Reyhan memaju menampak sebuah kunci. Dia bertanya dengan hampir tak bersuara, “Ini apa?”
Tapi nenek tak menjawab, dia terus menyodorkan kunci itu berkali-kali. Bergeleng, Reyhan mengambilnya. Dia kemudian melihat sekeliling, dan segera memutar kursi agar nenek kembali ke tempatnya. Kurang semenit Reyhan menutup pintu rapat-rapat, dan berjalan menembus malam yang gelap.
***
Reyhan tersentak kaget merasa punggungnya disentuh seseorang. Dia berbalik cepat, mendapati dua kakak-adik iseng dengan senter di genggaman.
“Ah, ngagetin aja, sih.”
Rifky terbahak-bahak. “Kamu yang kagetan... Nah, kita udah kumpul. Buruan, ayo cepat jalan, nanti keburu pagi.”
Mereka bertiga berjalan serempak. Reyhan bertanya penasaran, “Apa jaraknya jauh?” Dia belum pernah sama sekali ke sana.
“Lumayan, setengah jam berjalan kaki lah kira-kira,” jawab Rizky. Matanya mengilat dalam kegelapan tengah malam.
Dua puluh menit sudah berlalu. Mereka sekarang merasakan suasana yang berbeda. Cahaya yang sebelumnya didapat kini sangat temaram. Jalanan utama pun tak lagi beraspal, tinggal kumpulan batu. Keadaan sepi, tak ada kendaraan yang menderu. Sesekali cahaya muncul dari lampu jalan yang jarang.
Dingin menembus kulit Reyhan, membuat dirinya bergidik. Hutan lebat di kanan dan kiri, pohon-pohon kurus bersiluweran dibarengi oleh kebisingan burung hantu yang berkicau. Mereka telah memasuki hutan.
“Masih jauh gak sih?” tanya Reyhan kembali.
“Udah deket, kok.” Rizky terus memegangi lampu senter, menyorot jalanan di depan mereka.
Lima menit berselang dan benar saja, Reyhan melihat sebuah rumah tua terbengkalai di tengah-tengah tebaran pepohonan. Semua terdiam memandang dengan waspada. Perasannya makin tidak enak.
“Ini rumahnya?” Mata Reyhan meneliti badan bangunan tua itu. Kayu-kayunya keropos. Rumah tersebut seperti mau roboh.
Si kembar mengangguk bersamaan. Rifky lalu bersuara pelan, “Ayo kita lanjut aja. Awas hati-hati kena lubang.”
Tulang Reyhan bergemeretak ketika kembali melangkah. Belum pernah dia merasakan hawa sedingin ini.
Teras rumah yang diantar tangga kecil berderak kencang pas diinjak.
Jemari Rizky mengambil engsel pintu kayu dengan ragu. Dia memberanikan memutarnya. Pintu terbuka. Gelap menghambur keluar. Tapi cahaya senter mengatasi itu.
Mereka saling menatap satu sama lain. Rizky menghardik ke dalam, memberi aba-aba masuk.
Dalamnya adalah ruangan terkotor yang pernah Reyhan lihat. Debu dan sarang laba-laba bergelantungan di sana-sini. Lantai yang hitam menutupi warna aslinya. Udara pengap dan lembap, sementara riuh tikus terdengar sangat jelas.
Reyhan mendekap mulutnya pakai kaos. “Astaga, bau banget.”
“Wajar, rumah tua,” Rizky menyahut.
Tapi tak ada yang aneh di ruang tamu itu. Kesannya hanya menampilkan kotor dan bau. Mereka pun beralih ke ruangan lain. Tepat di belakang ruang tamu, ada sebuah kamar yang juga tak mampu menarik minat mereka. Lagi-lagi hanya kotor dan bau.
Reyhan memutar badan, memastikan tak ada pintu baru. Namun ternyata ada, letaknya di pojok rumah paling belakang. “Itu, di sana, coba ayo kita lihat.” Entah mengapa keberaniannya kembali pulih.
Dia membuka pintu tersebut. Matanya membelalak kaget akan ruangan itu. “Tidak mungkin,” pikirnya dalam hati.
Lantainya putih bersih, dia menapakinya seakan berada di mall. Tak ada sedikitpun debu apalagi sarang laba-laba. Tapi tiba-tiba, dari arah belakang, kepalanya ditutup kain hitam.
Dia memberontak minta keluar. Sayang itu tak lama setelah hidungnya menghirup aroma yang mengantukkan.
***
Reyhan membuka kedua kelopak matanya dengan amat berat. Cahaya yang tergantung di atas plafon menyadarkan dia tengah ada di ruangan terakhir sebelum aroma itu membuatnya pingsan.
Badannya duduk di kursi. Habis itu dia berusaha bergerak. Namun tidak bisa. Ada sesuatu yang menghalangi, dan pikirannya cepat mengerti. Tangannya terborgol kuat di belakang. Mustahil untuk berdiri saat ini.
Dalam kepalanya ribuan pertanyaan timbul. Dia tak bisa mencerna itu semua. Imajinasinya buyar seketika oleh suara gonggongan anjing. Reyhan kembali memandang. Berjarak tiga meter darinya, seekor anjing hitam ganas diikat ke tiang dekat tembok.
Hati Reyhan ciut. Tubuhnya bereaksi melepas diri. Sia-sia saja, malah berakhir lemas. Dan dia fokus menjernihkan pikiran. Udara yang pengap dan sesak amat mengangganggu. Suasana mencekam, dan anjing itu terus maju-maju ke arahnya. Tinggal tunggu waktu sampai paku ikatannya copot.
Lalu Reyhan teringat sesuatu. Kunci! Mungkinkah? Harap-harap cemas tangannya meraih retsleting tas kecil di samping pinggang. Dia bisa menampak warna kulit merah serta urat-uratnya yang bertonjolan. Tapi dia terus saja. Dia berhasil membuka tas itu setengah, dan kedua jarinya masuk mengapit sebuah kunci yang tadi dikasih sang nenek.
Berhati-hati, tangannya melakukan aktraksi, membuka slot borgol. Percobaan pertama menghasilkan keram. Dengan tenang dia menunggu, dan mencoba lagi. Kunci itu masuk pas sekali, tanpa berpikir dia memutarnya.
Borgol terlepas.
Nafas yang tertahan menghambur lega. Sekuat tenaga dia berdiri, walau agak sedikit lunglai, tapi kakinya cukup kuat untuk itu. Dia mulai melangkah sambil menjaga jarak dengan si anjing. Di pintu dia menempelkan kuping, dan mendengar kedua orang saling mengobrol. Terdengar juga suara gesekan pisau yang ngilu.
“... Apanya?” tanya tiba-tiba seorang dari luar. Tentu Reyhan sangat mengenali suara tersebut. Bagaimana tidak, rasanya seperti baru lima menit lalu terakhir dia mendengarnya.
“Sisa tulangnya. Kresek ini kegedean,” gusar Rizky.
“Nggak, ini pas.” Rifky menyudahi gesekan pisaunya. “Dah, udah tajam banget nih.” Hening sejenak. “Ayo. Tapi inget, seperti biasa. Hati-hati. Lakuin sesuai prosedur, kalo nggak nanti bos gak bakal mau.”
“Itu gampang. Tapi ….”
Penasaran, Reyhan membuka pintu sedikit. Dari balik celah yang sempit dia melihat mereka tengah berdiri di depan kamar. Alat-alat tajam dan berbagai macam tembakan mengelilingi mereka. Saat itu dia baru tahu jika keringatnya melulur tubuh.
Hatinya tak tenang. Mereka seperti merencanakan sesuatu. Reyhan berpikir, jika dia ingin keluar dari sini maka dia harus melakukan yang mampu bikin rencana mereka berantakan. Tapi masalahnya ketakutan menutupi jalan pikirannya sekarang.
Dan bayangan Rifky juga Rizky bergeser ke arah pintu.
Reyhan langsung menutup. Tatapannya melotot kepada si anjing yang tak mau berhenti menggonggong.
“Snow, tenang, jangan berisik,” Rizky berkata. Suaranya makin dekat. Derap kaki itu bagaikan kematian.
Panik menjalari tubuh. Reyhan menoleh mencari, tapi tak ada yang bisa membantu. Lagi-lagi cuman satu benda. Kunci itu. Mungkinkah? Dia menggenggam erat kunci di kepalan tangannya. Tubuhnya bergetar di balik pintu. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan kalo mereka masuk. Dia mempunyai kunci kecil sementara mereka membawa senjata.
Engsel berputar. Reyhan mematung. Detik seakan melambat, berikutnya pintu terbuka, dan mereka masuk. Sejenak dia tak merasa detak jantung di dadanya. Udara seperti sudah menghilang dari permukaan.
Dia harus nekat, atau mati terkoyak-koyak. Gesit, dia membalik badan Rizky menghadap Rifky, dan segera menancap kunci tersebut di salah satu lubang hidungnya.
Rizky mengerang kesakitan, mengucapkan seluruh sumpah serapah. Tangan satunya yang memegang pisau melemas, dan akhirnya melepas. Tetesan darah membanjiri lantai. Sambil menahan alat ancamannya itu dengan perlahan Reyhan mundur.
Di ambang pintu Rifky refleks menodong pistol. “Hey, lepasin dia! Lepasin sekarang juga. Atau-”
“Atau apa?” Reyhan memotong. Dia terus menekan kunci lebih masuk lagi, mengeluarkan sisa-sisa ingus Rizky yang menyatu dalam darah. “Kalian emang sialan! Selama ini, kalianlah pelakunya! Kalian yang membunuh orang-orang itu. Kalian orang paling gila yang pernah kutemui!”
Anjing hitam menggonggong keras.
Rifky berusaha tersenyum tipis. “Jangan menyalahkanku, Rey. Kamu saja yang bodoh. Kamu tak lebih anak berusia 13 tahun yang kesepian. Barang yang baik untuk dijadikan stok selanjutnya.”
“Ya, kamu terlalu mudah.” Tangan Rizky memencet buah zakarnya. Mereka tertawa terbahak.
“Diam! Diam kalian semua,” Reyhan meraung keras, “situasi aku yang kendali saat ini. Rifky, lebih baik kau berikan jalan keluar untukku, atau orang ini yang akan kehilangan satu lubang hidungnya.”
“Kalo begitu sepadan. Dia punya dua, gak usah khawatir.” Rifky mulai jalan mendekat. “Justru baik bagi penampilan seorang pembunuh.”
Reyhan lalu tak sengaja menemukan sebuah pisau dapur di balik kantong belakang celana Rizky.
Rizky berdecak kesal, “Akhhh, sial.”
Dia mengarahkan pisau itu ke pelipisnya. “Jangan remehkan aku! Aku bersumpah demi apapun akan menggorok jidat orang ini.” Dia tak sudi memanggil namanya. Deru napasnya tak terbendung.
Seketika Rizky langsung berhenti. “Kusarankan kau menyerah, Rey. Menurutmu seberapa jauh kau bisa bertahan melewati hutan dan jalan sepi di luar sana? Menyerahlah! Aku berjanji akan mengurangi rasa sakitnya.”
Reyhan semakin menekan kunci itu. Langkahnya maju perlahan-lahan sembari menuntun Rizky. “Diam!”
Tetesan darah yang mengalir tak mampu membuat Rifky bergerak.
Reyhan berjalan mundur seperti itu hingga hampir melewati pintu utama. Rifky mengamati was-was, mencari celah arahan pistol yang sanggup bikin dia yakin.
Reyhan berhenti, Rifky ikut berhenti. Reyhan memiringkan kepala, kemudian nyengir. Seluruh emosi itu kini berkumpul menjadi satu. “Dah.”
Pisaunya itu menyentuh tenggorokan Rizky, dan tanpa dua detik dia berhasil menggoroknya. Darah bercipratan kemana-mana. Reyhan dengan cepat mendorong tubuh mati tersebut ke depan, kemudian berlari menembus hutan.
Rifky berteriak menahan tubuh saudaranya. “Rizky!”
Sementara itu, Reyhan berlari pakai sisa tenaga. Tidak sampai semenit dia menyesali. Ide gila itu mungkin bisa mengantarkan dia sampai ke jalan raya. Tapi selanjutnya apa?
Kaki-kakinya yang melangkah melewati bebatuan dan lubang-lubang hitam. Udara yang dingin tak terasa lagi sekarang. Matanya jadi agak kabur.
Dan dia terjatuh, menyungsep karena ranting kayu. Dia bisa merasakan darah merembes di kakinya. Tapi dia bangkit. Sakitnya luar biasa seiring larinya mempercepat.
Dari belakang terdengar suara teriakan, “Reyhan! Di mana kamu!”
Reyhan kini tak peduli akan rasa sakit itu. Fokusnya lurus. Tak terbayangkan olehnya dia telah membunuh seseorang.
Lima belas menit berlalu. Reyhan sekarang berjalan terpincang dan akhirnya tak sanggup lagi. Dia terduduk di pinggir jalan raya yang sepi. Lampu temaram samar bahkan tidak membantu.
Sesak nafas di dada, darahnya telah menjadi gumpalan salju ungu yang menonjol. Lemas menguasai. Rasa sakit itu hilang.
Lalu kemudian secercah harapan tiba. Dari ujung kiri jalan terlihat sorot cahaya mobil sedan yang melaju. Reyhan bangkit. Entah mengapa dia merasa tubuhnya seringan lembar kertas. Dia berdiri di tengah jalan dan melambaikan kedua tangannya. Dia tak peduli jika mobil itu harus menabrak, mending begitu daripada dicincang habis-habisan oleh psikopat pubertas yang gila.
Dan tepat, seseorang keluar dari hutan lebat. Mobil itu seperti tak menurunkan kecepatan.
Si pengendara yang duduk di balik kemudi memperlambat sedikit laju mobilnya karena tak sengaja melihat tubuh lemas yang tertidur di samping jalan. Baru saja mau turun, dirinya dikagetkan oleh orang lain. Orang itu memegang pistol.
“Dor!Dor!”
Mata si pengendara melotot, dan cepat saja dia kembali menekan pedal gas. Mobil melaju kencang. Kaca mobil belakangnya ditembaki berkali-kali. Dia sampai menunduk untuk menghindari.
Dan Reyhan, dia bingung kenapa mobil itu bisa berjalan menembusnya. Terpaku sebentar, lalu kepalanya melirik ke arah hutan yang tadi dia lewati. Tak jauh dari sana, tempat dia barusan terduduk, dia menemukan dirinya tergeletak tak berdaya. Mendekat, dia mengawasi gerak-gerik tubuh itu. Tak ada nafas sama sekali. Darah yang berasal dari kaki membanjiri.
Di sampingnya, Rifky menghembus napas panjang sambil bergeleng,
meratapi kepergian mobil tersebut. Sesaat Reyhan ingin berlari. Tetapi Rifky macam tak tahu akan kehadirannya.
“Sialan!” marah Rifky. Berikutnya dia berlari terseok-seok ke dalam hutan setelah diam sejenak memandangi tubuh Reyhan yang telah mati.
Reyhan memandangi dirinya sendiri. Warna kulitnya tak biasa. Tak memiliki warna, tembus pandang. Dan Reyhan baru menyadari, dingin itu lagi dia rasakan. Jauh lebih dingin dari apapun.
Sementara, si pengendara, mengurungkan niat tujuannya. Sebuah tempat terlintas di benaknya. Kantor polisi.