Keluarga di Balik Bukit Rosi.

Di bukit terjal nan tinggi itu tinggal satu keluarga yang tampak hidup. Rumah yang mereka huni cukup sederhana di hamparan rumput hijau dengan dua kamar untuk sepasang suami istri dan anak mereka yang berusia enam tahun. 

Sejauh ini ketenangan menjalar sampai ke hati. Sang Istri, yang bernama Rosi ingin seperti ini untuk selama-lamanya. Sudah cukup baginya perkotaan yang penuh penderitaan dan kenyataan pahit, hidungnya terlanjur nikmat menghirup udara segar perbukitan yang tergesek oleh dedaunan hijau dan sejuk. Namun kejadian kemarin entah mengapa mengubah harapannya tersebut.

Seperti biasa, mereka melakukan pagi itu di atas meja makan dengan banyak sarapan, salah duanya bubur dan sop daging. Suami Rosi, Danang, menggendong anaknya dari kamar sampai duduk lemas di meja makan.

Rambut pirang Deni yang menutupi disingkirkannya secara asal. 

Rosi menyodorkan sepiring yang sudah siap. “Makan.”

POSTINGAN POPULER:

Mereka makan dalam ketenang pagi hari yang cerah. Sejenak Rosi melirik jendela. Hijau rumput tipis memenuhi pandangan. Tampak semua kehidupan Rosi sama lurusnya dengan rumput-rumput itu. Tapi nyatanya tidak, ada ketakutan amat luar biasa yang baru-baru ini dia rasakan. Rencananya selama ini bisa pupus dan gagal.

Sebentar Rosi kembali mensyukuri sang nenek memberinya rumah ini dulu.

Bunyi renyah-renyah gigitan memenuhi ruangan. Dia menatap sang anak lekat-lekat, mengamati rambut lucunya yang melambai-lambai diterpa angin pagi yang tak sengaja. Dan tak disadari setetes air mata turun membasahi taplak meja.

Sang suami melihat air itu dengan cemas. Badannya mendekat. “Sayang, kamu gakpapa?” Tangan kirinya merangkul belakang pundak Rosi.

Rosi tersentak kaget dan langsung mengelap bekas air mata itu. “Eh, nggak, gakpapa kok. Gakpapa.”

“Beneran? Gimana kalo kamu cerita saja, ceritakan,” kata Danang dengan nada selembut kain sutra. Hal begini biasa di keluarga ini, kemarin berantem keesokannya seakan tak ada yang terjadi. 

Andai Rosi bisa cerita, andai semua kalimat dalam kepalanya itu bisa dia layangkan sehingga terasa kembali keringanan dan ketenangan yang sudah lama dia nantikan sejak tadi malam. Dia bergeleng. Dalam hati Rosi bergumam. Rasa itu datang tiba-tiba. Rasa yang menyiksanya.

Rasa penyesalan.

Dia mengangkat kepalanya hingga bertemu mata sang suami. “Gak ada apa. Aku cuma belum selesai beristirahatnya.”

“Tapi kenapa aku harus menyesal,” Rosi berkata dalam hati lagi. Bukankah ini semua untuk pembayaran hutang-hutangnya? Untuk keluarganya?

***

Danang.

Danang menyenderkan kedua kakinya menumpu jendela di kamar sang anak. Deni dengan tenang tertidur nyenyak di sampingnya. Sejak makan pagi istrinya itu meminta agar sendirian dulu. Dia jadi teringat kejadian kemarin malam. Khawatir, dia berpikir mungkin itu sebab sang istri seperti ini.

Kemarin adalah pertengkaran dahsyat yang pernah dia alami dengan Rosi. Danang sudah bosan oleh dunia sepi dan hening ini. Dia ingin bekerja, ingin kebebasan di luar sana, bukan malah merasa terpenjara di rumahnya sendiri.

Semenjak dua bulan lalu dia mencoba mencari tahu siapa dirinya sebenarnya di masa lampau. Rosi berkata Danang harus menjalani masa istirahat yang panjang setelah kepalanya hampir hilang ditabrak Truk bermuatan pasir. Telah berkali-kali dia mengucap keinginan besarnya itu, walaupun puncaknya baru kemarin. Tapi Danang benar-benar tak kuat lagi. Bahkan untuk sekarang. Emosinya muncul meluap hingga ke ubun-ubun. 

Dia sudah capek dengan omong kosong perusahaan kaya raya yang dimiliki sang istri tanpa menjelaskan kepadanya secara gamblang. 

Dia kemudian menjauh dari kasur, menutup rapat pintu kamar sampai terdengar suara bedebuk keras yang tak menyenangkan.

Kakinya tegap dan penuh tekad. Lalu dia mendobrak kamar Rosi sangat kencang. Pintunya terbanting menabrak barang-barang di belakangnya.

Dan Danang bisa melihat, sang istri sedang menangis tak keruan di lantai. Air matanya menetes deras dan licin. Wajahnya luntur, dan sedetik Danang merasa tak mengenal wanita itu.

***

Mereka saling menatap tajam sebelum akhirnya kemarahan Danang membeludak, dan dengan keras langsung mendorong Rosi jatuh ke kasur. 

“Apa yang sebenarnya kamu sembunyiin dari aku?” dia berteriak keras, “Rosi, tolong, katakan, apa yang kamu lakuin sekarang. Kenapa-”

“Cukup,” Rosi tak mau kalah, “cukup sudah membahas itu lagi. Sampai kapanpun kamu bakal terus di sini. Kamu nggak boleh pergi!”

“Apa maksud kamu? Apa maksud kamu sampai “kapanpun”? Ini sudah tiga tahun lebih aku hidup di rumah ini. Aku udah sehat!”

Rosi meraung lebih keras, “Nggak!”

Dengan cekatan kedua tangannya mengambil leher Rosi, dan menekannya sampai kesulitan bernafas. “Kamu bener-bener perempuan egois. Kenapa kamu gak mikirin anak kita? Dia butuh orang lain selain kita, Rosi.”

Tangan Rosi balas mencengkram erat lengan Danang. Suaranya serak macam nenek sihir, “Kamu gak mengerti. Kamu yang terlalu mikirin anak, gak mikirin aku sama sekali. Ayo, bunuh saja kalau bisa.”

Danang mencekik dan terus mencekik. Giginya menggeram, alisnya menukik terlindung rasa kesal. Dan lima detik berlalu akhirnya dia melepas.

Rosi memijat-mijat tenggorokannya yang hampir mau patah. Tatapannya sebal mengarah ke Danang. Lalu berjalan menuju pintu, di ambang dia berbalik, “Semua yang kulakukan untuk keluarga ini. Dan utama, untuk kamu.”

Rosi melanjutkan jalannya.

***

Danang mengeluarkan segala macam alat dan baju-baju penting dari lemarinya sebelum dimasukkan ke sebuah tas berukuran besar. Tak ada lagi yang mampu menghalanginya sekarang.

Dia tak peduli lagi dengan Rosi, tak peduli dengan omelannya, ucapannya yang bodoh. Dia tak kuat hidup seperti ini terus.

Setelah selesai dia merangkul tasnya di lengan sebelah kanan, lalu meraih topi juga kacamata hitam yang tergantung di gantungan ruang tamu bagian atas. 

Dengan langkah tergesa dia masuk ke kamar anaknya. Deni memandang bingung, tangannya masih memainkan botol susu. Danang pun menggendongnya dan membawa Deni keluar. Tangan Deni memukul punggungnya berkali-kali, “Ayah, ayah mau kemana?”

Danang menuruni undakan tangga kecil depan rumah, menapaki rumput hijau yang rapi dan bersih. “Tenang, Nak. Ayah bakal ngebawamu jauh-jauh dari sini. Kamu nanti Ayah akan belikan mainan, ice kream, dan hal lain-lain di dunia yang kamu belum tahu.”

“Tapi, ibu?” Deni berkata sekuat tenaga karena dadanya tertekan bahu sang Ayah.   

“Gak usah dipikirin itu, ibu nanti nyusul.”

Tapi tak lama ibunya beneran muncul. Rosi datang dari sebelah rumah menatap bingung apa yang dilakukan kedua orang itu. Kemudian pikirannnya tersadar, “Hei!!! Mau kemana kamu?! Danang!”

Danang berlari kencang menembus rerumputan. Di belakang, Rosi memakai sandalnya dan ikut berlari mengejar. Mulutnya tak henti menyuruh mereka berhenti. Danang berlari semakin kencang. Kaki-kakinya menopang badannya dengan kuat.

Dia berkelok melewati batang-batang pepohonan cokelat dengan ranting yang tiada daun, melewati batu-batu bertebaran. Sementara angin sore menyejukkan pipinya seraya terus berlari.

Di pundak, Deni berusaha meraih ibunya sambil berteriak, “Ibu! Ibu!”

Dan sebab itu lari Rosi jadi tak kalah kencang. Sewaktu SMP dia pernah menjuarai olimpiade lari marathon, dan itu masih berfungsi sampai sekarang. 

Mereka lanjut saling mengejar. Sepuluh menit berselang jarak mereka tak jauh beda, tampak sama seperti awal lari ini dimulai. Tekad Danang yang kuat mengantarkan betis-betisnya bekerja lebih keras.

Sepuluh menit lagi usai, mereka semakin turun dari bukit dan kini jalanan sudah kelihatan. Danang lalu tak sengaja menampak sebuah mobil pick-up berwarna hitam tengah berderu melintasi aspal jalan yang melingkar. 

Danang mengubah lari ke arah mobil itu.

“Danang, jangan!” teriak Rosi dari kejauhan.

Tapi Danang tak menghiraukan, sampai jaraknya dengan mobil pick-up yang santai itu sisa beberapa meter. “Bang! Tunggu dulu!”

Danang berpikir si supir tidak melihatnya. Lalu dia merasa ada secercah harapan setelah menengok ke pepohonan kiri yang bisa dia lewati untuk menghentikan mobil tersebut.  

Dengan begini mudah baginya bisa melewati kecepatan si mobil, ibarat lewat jalan pintas dalam game-game konsol. Rumput-rumput kasar yang menghalangi dia tebas sebisa mungkin.

Dan dia kembali berdiri di pinggir jalan, menunggu mobil tadi berjalan melewatinya. Di belakang, Rosi terus mengejar. Deni berteriak tak mengerti, “Ibu!!! Ibu!!!” sambil berusaha melepas genggaman Ayahnya sendiri.

Pick-up itu muncul dari balik belokan yang curam. Danang melambai-lambaikan tangan, “Bang, Stop! Berhenti. Berheeeennntiii! Kami mau numpang.”

Lima meter darinya Rosi selesai berlari, dan memegang lutut. Mobil tersebut anehnya tak memperlambat kecepatannya.

POSTINGAN POPULER:

“Bang, berhenti, bang. BERHENTI!” Tepat Danang melambai tangannya  hampir masuk jendela mobil. Namun mobil itu terus menderu dengan kecepatan yang sama, abai pada kata-katanya.

Danang terbingung, putus asa melanda dan dia jatuh berlutut. Deni keluar dari genggaman, berlari ke arah sang ibu. 

Danang kecewa berat. Seperti alam dan bumi ikut tak mengizinkan kepergiannya. Seperti takdirnyalah berada di sini.

Dia merasakan pundaknya disentuh. “Sudah kubilang,” suara Rosi terdengar di kuping.

Merasa tak terima, Danang bangun menghadap istrinya tersebut, “Ini gak mungkin! Kenapa itu bisa terjadi. Kamu, kamu gila! Apa yang kamu lakuin ke supir itu. Dia sama sekali tak menggubris kehadiranku.”

Kepala Danang serasa mau pecah. Dia tak mengerti sama sekali semua ini. Dia adalah Deni versi besar. Dan Rosi, dia merasa penyesalan itu telah menembus rasa empati. Dia harus mengatakan yang sebenarnya. 

Rosi berlangkah mendekat ke sang suami. Melayangkan senyum tipis yang menurut Danang agak menakutkan.

Rosi menunduk kepada aspal berwarna logam. “Aku tahu ini gara-gara aku, tapi barangkali ini juga salahmu.”

Danang mengerutkan alis.

“Sayang, ini semua cuman kebohongan. Semua gak nyata,” kata Rosi dengan suara rendah dan parau.

“Apasih yang kamu omongin!? Apanya yang kebohongan-”

“Tolong dengerin dulu perkataanku.” Rosi beralih memandangnya  kembali dengan lekat. “Sebelum aku ungkapin, aku ngelakuin ini untuk kita. Baiklah, saat yang sebenarnya, itu kan yang kamu mau?” Rosi tampak tak punya ekspresi sekarang. “Kita sebenarnya nggak ada di sini. Kita sudah mati.”

Deni tertawa kencang sekali. “Jangan main-main kamu sama aku. Aku nggak lagi bercanda sekarang.” 

“Aku nggak bercanda, aku serius.”

Danang lalu menyadari akan sesuatu, seperti ada yang hilang. Deni. Dia membolak-balikkan badan mencari Deni. “Deni? Deeeniiiii, di-dimana Deni. Deniiii!”

Rosi menggenggam tangan sang suami hingga balik menatapnya. “Jangan khawatir soal Deni. Dia hanya sebuah ilusi. Dia bagian dari imajinasi kita. Aku lah yang menciptakannya demi memperindah keluarga ini.”

“Omong kosong!” Danang lanjut memutar badan. “Deniiii! Deni, di mana kamu?!”

“Kamu kan yang mau punya anak-”

“Deniii!”

“Aku turutin sekarang, mungkin bukan di dunia nyata-”

“Deniiii!”

“Tapi cuman ini yang kubisa.”

“Persetan!” Danang mengarahkan jari telunjuknya ke sang istri. “Bungkam mulutmu itu! Di mana Deni? Cari sekarang juga!”

Senyum Rosa makin melambung. “Sudah kubilang, sayang. Semua ini hanya bagian dari imajinasi. Bisa saja aku munculkan Deni kembali. Tapi kamu harus mengerti. Semua makanan atau yang kita telan, tak lebih dari yang kubilang tadi.”

“Kamu benar-benar nggak ngebantu ya-”

“Kamu harus percaya, kamu yang membuat semua jadi serumit ini.” Rosi lalu mengambil dua lembar foto dari balik kantung celananya.

Danang mendekat, mengambil foto itu dengan tangan gemeteran. Di kiri salah satu foto, di dalamnya tergeletak seorang mayat lelaki yang kepalanya bocor di depan sebuah truk. Danang melebarkan kelopak mata ketika sadar.

“Itu kamu. Beberapa tahun yang lalu kamu bunuh diri dengan berdiri di tengah jalan raya secara tiba-tiba… Setelah, setelah kamu tahu aku gak bisa melahirkan anak. Aku tahu kamu gak bisa ninggalin aku di dunia nyata, jadi yang kamu lakukan adalah stress.” 

Syok dan rasa tak percaya menghampiri Danang.

Dia beralih ke foto yang satunya. Itu adalah gambar seorang perempuan yang lehernya terikat kuat sementara darah turun membanjiri lantai. Kakinya melayang di udara.

“Aku juga bunuh diri.”

Danang menegakkan badan dengan tampang melotot dan mulut menganga. 

“Tapi aku melakukan itu karena ingin memperbaiki kesalahanku. Deni. Aku memang mandul, Sayang. Sampai-sampai kau berbunuh diri seperti itu. Dan sekarang, marilah kita kembali ke keluarga yang engkau inginkan. ”

Rosi mengangkat tas berat Danang, dan menyentuh rahangnya yang besar. “Aku bisa tahu karena aku tak mau melupakannya. Dan yang kamu lakuin saat itu untuk melupakan semuanya. Danang suamiku, aku sayang banget sama kamu.” 

Danang daritadi ekspresinya tak berubah, dan terus begitu sepanjang lima menit sebelum Deni datang kembali dengan balon kuning yang  entah dapat darimana.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama