Sekelompok anak-anak itu tampak senang berjalan di sepanjang kampung pada sore hari yang cerah. Mereka ada lima, berumur sembilan tahun. Tidak ada perasaan yang terlihat selain senang dan bahagia. Wajah mereka dengan mudah memberitahukan hal itu. Hari minggu memang menjadi santapan maut untuk mereka melakukan ini.
Anak paling depan dengan rambut terbelah dua namanya Fauzi. Di deretan tengah ialah, Rey, Rizky, dan Ananta. Sedangkan yang paling belakang adalah karakter kita, bernama Ridwan.
Ridwan tak lebih dari seorang bocah sembilan tahun yang masih awam tentang apapun. Yang dia tahu dia suka es potong rasa kacang ijo dan senang ikut nobar bersama bapaknya. Ridwan anak paling tenang dari yang lain.
Mereka kemudian melewati jalan yang agak lebar, dan sesekali menyapa beberapa tetangga yang membuka pagar sambil tersenyum.
Rizky membuka pembicaraan soal karpet terbang dalam mimpinya bak Aladdin, dan gedung-gedung kosong yang ada banyak sekali pak Tarno di ruang-ruangannya.
Ridwan dalam hati berkata itu bodoh sekali, begitu juga teman-temannya. Mereka tertawa terbahak-bahak, kecuali Rizky. Mulutnya manyun merasa terhina.
Fauzi pun melanjutkan tentang bapaknya yang kaya raya yang siap membawanya menggunakan kapal megah pribadi menyebrangi lautan menuju australia. Yang lain membuka mulut menyimak, bahkan Rizky iri.
Rey dan Ananta sempat berdebat tentang kontras kemampuan masing-masing yang mereka miliki di sekolah. Pintar dan bodoh. Rey berkata, “Kamu gak boleh tuh nyontek-nyontek melulu, sedang nanti, pas ulangan kamu bakal bingung.”
“Diam aja kamu anak pintar!”
Rey terkesal dan mendorongnya hampir jatuh, Rizky yang memisahkan. Ridwan malah tak tahu di mana letak kekesalan Rey.
“Kemana lagi kita?” Ridwan berkata setelah hening sekian lama.
Mendengar perkataan tersebut semua berhenti. Rizky berucap, “Nggak tahu nih, mau ke lapangan aja?”
“Ngapain?” tanya Rey menekan pinggang.
“Main bola lah.”
“Emang ada bolanya?” timpal Ridwan.
“Itu mah gampang.”
Fauzi mengacungkan tangan tiba-tiba, matanya melotot mendapatkan ide yang bagus. “Gimana kita jalan aja lewat Rel kereta dulu. Baru habis itu ke lapangan.”
“Nah, bener tuh, dah lama aku nggak ngeliat kereta,” lanjut Ananta. Badan jangkungnya menghalau sinar matahari yang membias.
Ridwan menekuk alis. “Apa itu gak kejauhan?”
Fauzi membantah, “Nggak lah, jangan ke stasiunnya, kita lewati relnya aja. Kan deket.”
Ananta terlihat sedih memandang aspal. Mulutnya membentuk huruf U ke bawah, “Tapi mungkin aku bakal ditempeleng lagi pake baskom sama ibuku.” Kepalanya mendongak, secercah senyum kembali lagi. “Tak apa, itu semua akan terbayar pas ngedenger suara kereta yang kenceng itu.”
“Nah.” Rey mendekat. “Gimana?”
Perlahan satu-satu mengangguk, Ananta agak lama, kemudian Ridwan. Dia termangu diam.
“Gimana, Dwan? Mau ikut nggak?”
Ridwan membayangi bunyi klakson kereta yang memekakkan, kecepatannya yang menakutkan, dan gesekan roda yang bergemericing melintasi rel. Dia tak punya kedua orang tua yang hobi mengomel, mereka tak akan mempermasalahkan. Namun entah mengapa dalam diri ada sebuah perasaan yang tak mengenakkan. Perasaan cemas.
Fauzi melambai-lambaikan tangannya di muka Ridwan yang bengong. Habis itu barulah Ridwan tersadar, dan segera mengangguk.
“Yaudah,” kata Rizky, “ayo kita jalan.”
“Tapi jangan ngarep kereta itu bakal terbang, Rizky,” Fauzi berkata sambil terkikik.
Mereka lanjut berjalan bersama-sama. Angin sore menghembus kencang menggetarkan kaos, menghilangkan keringat. Jantung ridwan merasa tak berdetak macam biasa. Mual mulai terasa.
Dua puluh menit kemudian mereka merasa asing dengan lingkungan di sekitar. Tak satu pun yang pernah berjalan ke sini. Hamparan rumput menjuang tinggi menggelitik lutut. Rumah warga lama-kelamaan semakin dikit jumlahnya dan mereka tak saling menyapa para tetangga lagi.
Jalan membelok kiri, mereka mengikutinya. Dan di sebelah kanan terlihat rel kereta api yang memanjang tak berujung, kabel-kabel tebal tergantung di tiang atas. Mereka semua senang, dan Fauzi yang mengikuti les menyanyi mulai bersenandung memainkan lagu dengan merdu.
Seiringnya waktu jalanan semakin condong mendekati rel. Jantung Ridwan detakannya benar-benar tak mengenakkan. Kakinya sempat keram akibat gemetar keterlaluan.
Sementara rumput menambah ketinggian, terdengar suara klakson kereta yang meraung bagai teriakan serigala di kebun bintang. Mereka berlarian. Ridwan minta menunggu. Oh, tidak, klakson tadi, sangat menakutkan, pikirnya.
Mereka berhenti memegang pagar bercat hijau, menunggu kereta datang menghampiri. Suara dari stasiun yang seperti robot memberitahu kereta sebentar lagi sampai.
Ridwan berdiri agak jauh. Ananta jadi berpaling, “Ridwan, sini, keretanya mau datang.”
Ridwan hanya mengangguk singkat.
“Sejak kapan kamu takut sama kereta?” tanya Rey.
Lalu klakson dibunyikan kembali. Menyakitkan di kuping Ridwan, dia sampai bergidik. Kereta terlihat di ujung kanan, mereka pada mendongak melihatnya. Tak lama kecepatan kereta seolah menambah, dan melintasi tempat mereka menunggu. Menyingkiri sampah-sampah dan daun kuning yang tak jauh.
Ananta, Rey, juga Rizky bersorak gembira kesenangan. Seperti baru saja melihat uang ratusan ribu terlempar.
Ridwan menutup telinga, memejamkan mata, tak kuat menampak. Ini aneh, sungguh aneh, bukankah minggu lalu dia naik kereta dan merasa baik-baik saja? Tampak perasaan itu yang membuatnya begini.
Kereka berhenti di stasiun dengan mulus sejajar tempat tunggu. Pintu dibuka, dan orang-orang keluar sebelum ada lagi yang masuk.
Mereka berbalik dari pagar. Ananta kelihatan yang paling senang, dia sama sekali tak menyesal biar sang ibu melemparinya dengan belasan pisau tajam sekalipun.
Tapi Fauzi langsung bertanya kepada Ridwan memakai nada cemas, “Hey, Ridwan, kamu gakpapa?”
“Kenapa sih dia,” Rey penasaran.
“Gak, nggak masalah,” ucap Ridwan akhirnya. “Aku cuman ngerasa pusing.”
“Owhhh.”
“Yaudah, jadi gak ke lapangannya?” tanya Ridwan buru-buru.
“Kenapa gak jadi. Ayo kita lanjut. Tapi mendingan kita muter aja, lebih deket,” Fauzi menyarankan.
“Terserah, cepatlah,” balas Ridwan dan langung melangkah. Di belakang mereka mengikutinya. Tapi tunggu, Ridwan memperlambat kaki, menyetarakannya dengan yang lain. “Berarti kita harus nyebrangin rel ini dong?”
Beberapa meter di depan terlihat dua palang yang menghalangi kendaraan ketika kereta mau lewat.
“Iya lah,” jawab Ananta. “Emang kenapa sih, Dwan? Kok kamu dari tadi kelihatannya aneh.”
Ridwan bergeleng menatap kakinya yang belum ada bulu. Dan jantung itu, terus bergetar dengan tidak enak. Sesak di dada membuatnya kesulitan bernafas. “Nggak, gakpapa, aku cuman nanya.”
Mereka sampai di penyebrangan kereta api. Kendaraan lalu-lalang sekali dua kali melintasi rel. Rel kereta yang berwarna logam berkarat tipis memantulkan cahaya matahari.
Kedua palang dibuka, mobil dan motor saling menyalip. Mereka mulai melangkah. Sesak, jantung, dada naik-turun adalah puncak saat ini yang dirasakan Ridwan. Ragu-ragu dia ikutan menyebrangi rel kereta. Tak ada pilihan. Tak ada alasan.
Rel tersebut terdapat dua jenis, satu untuk lajur ke stasiun, satunya lagi untuk arah yang sebaliknya. Batu-batu kerikil kecil bertebaran di rel, semua batu itu tampak sama, baik dari ukuran atau warna. Namun Ridwan merasa takut memandangnya.
Kakinya maju selangkah dua langkah, seakan tengah melintasi jembatan yang mau runtuh. Klakson kendaraan dipencet berkali-kali, menganggu pendengarannya.
Dan Ridwan pun mempercepat langkah, hampir berlari, menyusul teman-temannya di depan. Rel pertama tanpa sadar berhasil dia lewati, rel yang mengantar kereta keluar dari stasiun.
Tapi ketika ingin melanjutkan langkah besarnya, tiba-tiba ujung kaki kirinya yang keluar dari sendal terpelintir salah satu batu-batu kecil itu. Alhasil dia terlempar jatuh. Tapi tidak, tidak jatuh, malah jauh lebih buruk.
Sebelum jatuh kaki kirinya itu tanpa sengaja masuk ke dalam antara rel dan batu-batu. Kakinya masuk seperti mendapat serangan rudal, sangat menyakitkan.
Dia pun teriak sejadi-jadinya. Teman-temannya berpaling menghadapnya.
Nyeri menyuasai. Dia menenangkan perasaannya sejenak, menghirup nafas dengan tenang agar tidak panik, setelah itu baru dia menariknya. Ada yang aneh, dia menariknya kembali, tidak ingin keluar. Dan sekali lagi dia menariknya, tetap tak mau keluar dari jepitan rel yang mencekam.
Sesak dan jantung yang berdebar menyerangnya seketika waktu tersadar dia tersangkut.
***
Kerumunan makin padat, orang-orang mulai berkumpul menyeruak penasaran akan apa yang terjadi. Klakson-klakson kendaraan yang tidak tahu pada dibunyikan dengan amarah.
Ridwan, dan keempat teman lainnya terus menarik kaki kirinya sekuat tenaga. Namun hasilnya sia-sia, kaki itu bahkan tidak bergerak satu inci pun. Diakibatkan karena tak ada ruang sedikitpun antara batu, kakinya, dan rel bagian atas.
Keringat panik mengucur tiada henti, nafasnya tersengal macam orang sedang sekarat, dadanya sesak, dan mukanya tak berubah warna sejak merah. Rasa sakit yang menghujam itu tak ada tara, dia merasa seperti tak punya kaki sekarang.
Dia merasakan kematian.
“Gimana ini, tolong-” Ridwan mau menangis. Ridwan mual. Ridwan mau buang air. Ridwan gak mau mati. Ridwan mau es potong kacang ijo.
“Ayo, angkat, coba lagi,” Ananta berkata, dan sekali lagi dia menarik, dibantu Rizky, Fauzi, juga Rey. Setelah lama tetap tak mau bergerak.
Fauzi sejenak agak jijik menatap kaki kiri Ridwan yang mulai membiru.
Klakson semakin nyaring bunyinya. Pengguna Xenia yang marah-marah menurunkan kaca jendela, “Woyyy, pada ngapain sih?” Dan matanya langsung melotot melihat apa yang terjadi pada mereka. Orang itu terus melaju dan bahkan tidak mengeluarkan pendapat.
Penyebrangan rel kereta yang tadinya sepi kini ramai oleh pengendara.
Ridwan menarik dan menarik kakinya yang tersangkut. Dia tahu usahanya takkan berhasil tapi barangkali itu hanya rasa paniknya yang menjalar. Di kakinya dia merasakan ngilu, tekanan yang panas dari rel, dan kesakitan yang diakibatkan darahnya yang sulit mengalir.
Kakinya masuk terlalu dalam hingga punggung kaki bagian atas. Bahkan sandalnya yang bermerek adidas itu juga tidak bisa disingkirkan.
Kemudian seorang pengendara bermotor turun, mendatangi mereka. “Kenapa ini?” Dia adalah lelaki bertubuh keras dengan helm bulat yang menutup rambut. Model supir truk.
Rey berdiri dari jongkoknya, sementara yang lain menatap dengan bingung. “Ah, Pak, ini-”
“Ya ampun,” orang itu telah terlanjur melihat, dan segera menutup mulutnya. Dia syok menampak gumpalan darah biru di dalam kaki Ridwan.
“D-dia, dia tersangkut.” Suara Rey parau dan lelah.
Orang bertubuh kekar itu berjongkok, dan sekali mencoba menarik kaki kiri Ridwan. Dia beregelang kasar sebelum kembali berdiri. “Kalian harus keluarin kaki anak ini, sebentar lagi keretanya akan datang.”
Mereka menatap dengan kesal seolah berpikir dirinya tidak tahu. “Gimana caranya?” tanya Rizky dengan nafas tersengal dan panik.
“Kumohon, tolonglah …” Ada bercak-bercak air mata dan keringat yang berkumpul dalam wajah Ridwan.
“Sebentar, aku minta bantuan dulu. Kamu yang tenang, jangan terlalu banyak gerak. Percuma, gak bakal bisa. Rumahku gak jauh dari sini.” Lelaki berotot itu menaiki motornya, dan melaju ke arah dia datang.
Setelah mendengar kata-kata lelaki bermotor tadi bahwa, “Percuma.” Mereka langsung meneriaki pertolongan dari orang-orang terdekat.
Panik...
Dan Ridwan, dia menggigit bajunya keras-keras, berusaha mengalihkan fokus. Tidak kepada kakinya yang pelan-pelan semakin biru, tidak kepada kereta yang dengan kencang tengah melaju ke arahnya. Orang-orang mendekat dan membantu, melakukan segala hal dengan peralatan yang seadanya. Namun Ridwan tak menggubris sama sekali, dia tahu mereka takkan berhasil.
Lalu tiba-tiba dalam keramaian yang luar biasa kupingnya dapat menangkap suara robot dari stasiun kereta yang berkata kalo kereta selanjutnya akan datang ke stasiun dalam kurun waktu lima menit lagi.
Satpam-satpam stasiun yang tanpa sengaja melihat keramaian ikut datang dan membantu. Sia-sia saja, pikirnya.
Diam-diam kakinya itu ditarik-tarik, ada yang dengan tenaga besar, ada yang hanya mencoba-coba saja.
Ridwan akhirnya menangis, dia menangis melihat wajah-wajah keputusasaan yang mengeliling. Terakhir kali dia menangis saat berumur lima tahun, waktu itu bapaknya memukul kepala Ridwan akibat terlalu sering menggerogoti tangga kayu yang keropos. Dan jelas tangisan itu tidak bisa disamakan dengan yang ini.
Datang lagi seorang lelaki lain yang memakai baju putih-putih dengan celana kain berwarna hitam. Seperti biasa dia mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Dan Ridwan tahu dia petugas stasiun setelah seorang bapak berusia 50an menanyai tentang kereta yang akan tiba.
Petugas itu sempat ragu-ragu sebelum dia memutuskan, “Itu mustahil, Pak. Dalam beberapa menit kereta bakal datang melewati rel ini. Mungkin dua menitan lagi. Ditambah kereta hanya bisa berhenti di jarak enam ratus meter dari titik kereta itu mengerem. Komunikasi kita tak secepat itu. Jarak dari sini sampai stasiun saja sudah memakan waktu.”
“Terus apa solusinya, punya kagak? Lu orang mah ngebantu, bukan malah tambah bikin panik,” omel emak-emak berjaket jeans yang menggunakan motor bermerek Suzuki.
Si petugas tak bisa berkata-kata.
Mereka semua melanjutkan kegiatannya. Sebagian menolong dan sisanya cuman melihat dengan perasaan khawatir (Termasuk teman-temannya, mereka tak bisa bertindak apa-apa lagi sekarang). Lalu bapak berkumis tebal menyarankan, “Udah kagak ada waktu, mending kita maksain aja. Tarik kakinya bareng-bareng, sampe putus kalo bisa.”
Ridwan bergelang singkat mendengar perkataan tersebut, mulutnya sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Kakinya yang terjepit itu seperti bagian dari tubuhnya yang lain.
Mereka pun setuju dengan usul lelaki berkumis tebal.
Pemuda kemeja kotak-kotak memegang pundaknya, “Tenang aja, Dek. Jangan panik. Tarik nafas dan buanglah perlahan-lahan.”
Kedua rahangnya terkatup. Dia bisa merasakan kakinya dipegang oleh banyak jari-jemari kasar. Dalam hitungan ketiga, mereka berhitung. “Satu … dua … tiga ….”
Mereka menariknya.
Ridwak tidak bisa menahan lagi rasa sakit tersebut. Dia teriak sekuat dan sekencang mungkin kepada burung-burung yang bertengger di batang pohon. Sebagian beterbangan karenanya. Tapi dia terus teriak dan teriak.
Kakinya mulai tergerak. Punggung bagian atas Ridwan agak keluar, dan terus keluar sebelum akhirnya berhenti di tengah-tengah. Tulang-tulangnya bertonjolan ikut menghalangi. Bagian kaki yang sudah keluar, kulitnya melepuh dan panas mengerikan.
“Tareeekkkk.”
Teriakan Ridwan semakin menggelegar, barangkali orang-orang di seluruh penjuru negeri bisa mendengar teriakannya itu. Dan meskipun mereka tak henti-hentinya menarik, dia sudah tak merasa seperti ditarik. Kakinya itu tak mau bergerak lebih jauh, dan diam saja di pertengahan punggung kaki sambil mengeluarkan cairan nanah kuning dari sisi-sisi karena terlalu ditekan oleh rel.
Satu-dua orang duduk berputus asa, dan diikuti yang lain sebelum semuanya secara serempak berhenti menarik. Mereka terengah-engah mengambil nafas.
Dan rasa sakitnya kian memburuk. Ridwan tetap berteriak. Kakinya pelan-pelan agak membengkok.
Jalanan macet.
Tidak ada satu pun dari mereka yang melihat adanya harapan. Namun nyatanya mungkin dugaan mereka keliru. Dari arah belakang, terdengar deruan motor yang terburu-buru. Semua menyingkir memberikan jalan. Itu adalah lelaki berotot tadi, dia datang dengan memboncengi kakek-kakek tua yang membawa semprotan.
Mereka turun dan mendekat.
Lelaki berotot tak tahan melihat kakinya, dia seperti ingin berkata-kata tapi tak sanggup. Langsung saja dia membekukkan kaki Ridwan bareng si kakek tua. Sejenak Ridwan merasakan kedinginan yang amat nikmat.
Kedua orang itu lalu menariknya perlahan, tetap tak mau bergerak. Dan sedikit kencang, tidak mau bergerak. Sangat kencang, tetap tak mau bergerak.
Beberapa detik berselang Ridwan merasakan rel bergetar di kakinya. Hatinya mencelos. Dia berharap cemas. Dan suara kereta yang baginya seperti maut berjalan, terdengar sangat jelas.
Orang-orang menyingkir dari rel dan lanjut menonton di balik palang yang mulai menutup. Yang membantu pun perlahan menghilang dan memilih berdiam dengan mereka. Ada beberapa yang tak kuat langsung kabur.
Kakek tua dan lelaki berotot saling menatap. Si kakek menggeleng dan balik ke arah motor. Lelaki berotot membisik ke telinga Ridwan, “Maaf.” Dan berjalan mundur agak menjauh.
Teriakannya kalah dengan mesin yang bekerja di dalam kereta. Bentuk depannya yang hampir kotak mendekat dengan garang dan menakutkan. Roda-rodanya mulai mengerem kejam setelah dari kejauhan sang masinis melihat seorang anak yang kakinya menyangkut.
Klakson kereta dibunyikan dan meraung di telinga pendengaran siapapun. Ridwan berhenti berteriak, dia memejamkan mata dan menggeramkan gigi sampai rasanya mau copot.
Dan si kakek tadi kembali dengan membawa kapak. Mata Ridwan melotot melihat kapak itu berayun ke atas. Dia berusaha menolak namun tidak bisa. Kapak itu sudah menghujam kaki kirinya. Tangannya memainkan angin, mulutnya teriak kesakitan. Dan si kakek gila itu terus melakukan lagi. Mengayun lagi, dan menghantam lagi. Klakson kereta meraung keras.
“Pakk!! Janga-”
Tulang-tulang seputih lampu stadion telihat, darah biru kemerahan dari dalam kaki mulai merembes keluar membasahi batu-batu kerikil kecil.
Klakson kereta meraung. Jaraknya makin dekat.
Kakek ke-empat kalinya menghujam. Kapaknya telah mencapai tengah perjalanan. Urat-urat terputus, otot dan kulit Ridwan terobek.
Klakson kereta meraung. Roda-rodanya berputar menggilas rel logam yang sedikit berkarat dan memuai.
Kapak menghujam dan menghujam, dan untuk terakhir kalinya Kakek mendaratkan kapak itu di kaki Ridwan dengan sangat keras. Selesai sudah. Orang-orang cepat berdatangan menahan tubuh Ridwan yang lunglai ke belakang.
Kakinya terputus di antara jepitan rel kereta api. Dan mereka menyeretnya tepat sebelum kereta melintas kencang menabrak kaki Ridwan yang berwarna biru itu.