Umurnya 45 tahun. Wanita itu bernama Sofia. Orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan mama Sofia. Tampak dia adalah perempuan paling sederhana dan normal di dunia. Sehari-harinya dia bekerja sebagai guru bahasa di satu sekolah menengah.
Tidak ada yang menarik dari Sofia. Dia kalo kemana-mana hanya memakai payung dengan setelan yang itu-itu saja. Kemeja putih dan rok hitam panjang.
Sofia hidup sendirian di sebuah rumah minimalis tempat tinggalnya. Di sana hanya ada satu kamar, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan halaman belakang rumah tempat biasa dia merenung. Atau bahkan itu adalah spot yang paling dia suka.
Sofia suka menyeduh kopi, mengepel hingga lantai putih bersih, dan duduk membaca koran berita terkini. Benar-benar tidak menarik.
Satu-satunya hal yang bisa jadi perhatian yaitu dia suka kucing. Sangking sukanya terkadang dia membawa kucing-kucing di pinggir jalan yang kelaparan. Wajah dan badan mereka kurus macam garis tegak. Sofia mengandangi kucing-kucingnya di halaman belakang. Sebab itu dia menyukai halamannya.
Sofia suka dengan bulu mata hewan itu, suka dengan warna matanya, suka dengan bulu-bulu lebatnya yang halus, suka lambaian ekornya, giginya, taringnya, kupingnya, kencingnya, darahnya, dagingnya. Semua dia suka.
Hari ini pada sore yang gelap dia menemukan seekor kucing lagi yang tengah tertidur di bahu jalan. Kucing tersebut berwarna hitam pekat. Ia mengeong ketika diangkat, tampak bahagia. Tapi kucing manapun ujungnya bakal begitu saat melihat wajah Sofia yang semanis anggur.
Di luar, petir menyambar berkali-kali. Sekarang memang tengah musim hujan. Sofia tidak suka hujan. Tapi dia suka gelap. Dia suka petir.
Ketika membukakkan pintu, dia mendengar bunyi sirine polisi. Tapi dia acuh.
Sofia meletakkan si kucing di meja depan sofa sementara dia menyalakan tv. Badannya yang lelah karena seharian berjalan dia senderkan dengan penuh kenikmatan. Matanya memandang si kucing melangkah mondar-mandir. Sesekali ia menengok ke arahnya dan menggeram.
Sofia suka sifat kucing itu, ia menyeramkan. Dia lalu memangku si kucing. Tangannya mengelus-elus bulu kucing yang lumayan kasar. Si kucing tampak tenang dan nyaman di pangkuannya.
Kumis-kumisnya melemas dan dia telentang seenaknya di lingkaran tangan Sofia. Si kucing manja-manja gemas, Sofia jadi makin terhenyak.
Tapi tak lama Sofia menegakkan posisi, membuat si kucing berdiri kebingungan. Sofia memajukan kepala. Kucing memaku. Mata mereka beradu saling menatap. Ya tuhan, kata Sofia dalam hati. Mata kucing ini berwarna biru. Aku sangat menyukainya.
Mata dia makin lama makin mendekat, dan tangannya dengan cepat menerkam leher si kucing. Kucing hitam itu wajahnya sedikit merah menahan nafas. Mata birunya melotot dan seperti ingin keluar. Tubuhnya tegang dan dia berusaha mencari nafas.
Ia mengeluarkan suara parau kecil yang samar, bulu-bulunya meremang, ia memperlihatkan gigi-giginya yang tajam dan akhirnya perlahan-lahan semua itu hilang. Tidak ada helaan nafas, diakhiri oleh suara dehaman “Meong” sekecil helaan orang yang terkena serangan jantung.
Sofia tersenyum, lalu tertawa dengan kecil, dan terbahak-bahak. Untuknya, tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini. Dia bangkit mengambil pisau. Tangan satunya masih memegangi leher kucing yang sudah menjadi jasad. Dia berjalan keluar ke halaman belakang.
Udara sore hari menghantam dingin bak kecebur sungai. Di tanah paling belakang ada sebuah kayu cokelat yang tertutup. Dia berhenti. Sofia meletakkan kucing itu di rumput (Bahkan dia meletakkannya, bukan menjatuhkannya, bayangkan, betapa halusnya dia).
Dia mengambil sekop dan menggali sisa tanah yang menutupi. Lalu dia membuka kayu tersebut. Bau bangkai kucing yang membusuk menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Dia menghirupnya dengan sangat nafsu.
“Ini yang selalu kutunggu-tunggu di sekolah,” gumamnya.
Petir menyambar kencang sekali. Selama sedetik terlihat hamparan mayat kucing dalam kayu itu. Darah-darah berceceran, sebagian jantung mereka pada hilang, kulit terobek, atau bahkan ada yang tidak memiliki kepala, beberapa mata terpejam (Bolong satu). Dia selalu mengambilnya.
Kucing-kucing itu tampak ngantuk, Sofia jadi gemas. Kaki-kakinya tinggal tiga, ekornya sisa setengah, kulit pucat tak berwarna, dan usus-usus mereka bergelambiran dimana-mana.
Sofia meraih kucing hitam bermata biru. Pisaunya dia arahkan ke leher kucing itu, kemudian dia menggoroknya tanpa ampun. Darah-darah mengucur drastis membasahi rumput. Sebentar dia mendongak di bawah kucing dengan lidah yang terjulur. Merasakan dinginnya darah. Tetes demi tetes. Petir menyambar.
Sofia menyudahinya, memutuskan rasanya terlalu asin. Dia tidak suka. Dan dia teringat perkataan para pengusaha makanan yang bilang bahwa rasa itu subjektif, dan dia menganggukkan kepala.
Selanjutnya dia mencincang-cincang tubuh si kucing. Mengambil sedikit daging juga kulitnya. Dia suka kedua itu. Empuk dan gurih. Sisanya dia lemparkan ke dalam kotak kayu sebelum menutupnya kembali.
Di dapur dia menggoreng itu semua dengan campuran bumbu, menumisnya hingga matang. Pukul delapan dia dan makanannya sudah siap di atas meja. Dia melahapnya sampai habis tak tersisa.
Dan sepuluh menit selanjutnya dia tertidur di sofa akibat terlalu kenyang.
Sofia terbangun tidak nyenyak. Beberapa detik yang lalu dia mendengar suara “Meow” kencang sekali. Bangun karena itu, dia pikir. Dia berjalan mengitari ruangan. Tidak menemukan apapun.
“Meow.”
Kepalanya menoleh cepat. Kali ini suaranya lebih keras. Dalam pikirannya dia bertanya-tanya, kucing siapa itu? Padahal setelah mengingat lagi dia tak punya kucing yang hidup di dalam rumahnya. Semuanya telah dia santap.
Dia memasuki kamar, menyalakan saklar. Kosong melompong. Lemari dan benda-bendanya tertata dengan tenang.
Dia melihat jam bundar di ruang tamu. Pukul 12.30.
“Hey, siapa kau? Jangan bermain-main denganku.”
Sejenak dia teringat akan murid paling bandel di kelasnya yang bernama Joni. Joni sering mengerjainya. Mungkinkah Joni datang ke sini malam-malam? Menyebut meong-meong berusaha menakut-nakutinya? Tampak mustahil.
Sofia membuka pintu belakang, ke halaman. Gelap seutuhnya. Tiada siapapun. Ketika ingin menutup dia mendengar suara lagi, “Meow-ow-ow-ow-Meow-meow.”
Suara itu serempak dan tidak seekor. Sofia merinding, belum pernah dia segemeteran ini. “Hey, kau kucing. Dari mana kau? Kenapa kau tak menemuiku dulu? Kemarilah dan peluk aku.” Nadanya ceria seperti gaya mengajarnya kepada murid-murid.
Senyap, tidak ada yang menjawab.
Lalu rumput-rumput belakang halaman bergetar. “Hey!! Siapa kau?” Bergetar lagi. Irama jantung Sofia naik-turun. Dan bergetar lagi, kali ini getarannya konsisten dan tak mau berhenti. “Ap-apa kau ini? Kenapa-”
Dan dia bertanya-tanya apa yang dilihatnya sekarang. Sekumpulan kucing-kucing bermata merah dengan badan seperti bayangan keluar dari kumpulan rumput. Warna kulit mereka hampir hitam seluruhnya, tatapannya kejam. Tak ada tanda baik dari tatapan itu.
Jalan mereka tegap dan tanpa ragu. Sofia mengerutkan alis, mengusap mata. Dia terkejut tidak ada yang salah dengan panglihatannya. Kucing-kucing itu terus berjalan dengan santai, makin mendekat.
Sofia pun langsung menutup pintu dan menguncinya. Kakinya mundur-mundur dan kemudian dia mendengar pintu didobrak habis-habisan. Tak butuh waktu semenit, bagian tengah pintu sudah dibolongi.
Sofia menjerit berlari ke arah kamarnya. Kucing-kucing itu terus mengejar sambil memuntah amarahnya dengan ber-meong berkali-kali.
Sofia mengunci pintu kamar dan terdiam dipojokkan. Jantungnya gemetar tak karuan, nafasnya tersengal-sengal seperti mayat. Tapi kucing-kucing tetap mampu menghancurkan pintu kedua. Kali ini pintu tersebut roboh. Para kucing masuk. Mereka masuk seperti orang-orang beku dalam series Game Of Thrones yang berhasil menembus tembok.
Mata mereka merah menyilaukan, bulu-bulnya tak terlihat, sedikit tembus pandang. Sebentar kucing-kucing itu ikut terdiam dan duduk di depan kasur. Suasana hening. Petir menggantikannya.
Sofia bisa menyadari, mereka persis kucing-kucing di balik kayu. Dia mengingat si kaki besar yang dia congkel matanya, si hidung pesek yang digorok kulitnya hingga menembus jantung, atau si kurus bertulang tipis yang dia putar lehernya sampai putus memisah badan.
Mereka terus melototi Sofia. Deruan organ-organ dalamnya meledak dan tak berfungsi secara normal. Keringat saling membalap dan membasahi baju juga lantai.
“Hay, kawaaannn,” Sofia akhirnya memberanikan berucap. “Apa kabar? Kenapa kalian di sini?”
Para kucing mengerut alis seolah memikirkan dengan kesal. Kenapa kita di sini? Oh, kita di sini ingin ikut memakan daging kami, atau, oh, kami di sini mau coba mencicipi kencing-kencing kami yang manis seperti kecap. Kau membunuh kami, Keparat!
Badan Sofia berguncang tiada henti, dan semakin begitu pas kucing-kucing tersebut mulai melangkah kembali. “Oh, tidak! Apa mau kalian, baliklah ke alam kalian sendiri, jangan ganggu aku! Kembalilah ke balik kayu! Dasar kucing-kucing sialan!”
Langkah mereka tak tergesa dan sangat menikmati, seperti model cantik dalam acara-acara tv. Mereka lalu mengeluarkan suara melengking. Lengkingannya memantul tembok dan seisi ruangan, dan semua melakukan hal yang sama.
“Meeoww! Meeew! Meeoeeeewww!” Jelas ada semacam kekesalan di suara-suara itu.
Sofia memejamkan mata, dan kakinya berkali-kali menendang udara yang kosong. Badannya makin merapat ke belakang tembok, berharap ada pintu keluar ajaib yang muncul.
“Hey!!! Pergilah, dasar kucing nakal!”
“Meeeeewwww! Meoowwwww! Meeeeowww!” Ada yang terlalu menggema, ada yang sangat berat, ada yang benar-benar melengking, ada juga yang lirih sekali. Semua bercampur menjadi satu.
Keringat mengucur.
Lengkingan semakin nyaring. Jarak mereka tinggal dua meter dari si pembunuh. Dan kucing paling depan seolah mengangkat tangannya. Lalu menikam tubuh Sofia.
“Akhhhhh, jangaannn!!!” Sofia berteriak.
Tapi teriakkannya masih kalah telak dengan lengkingan para kucing ini. Darah mulai merembes, dan yang lain pun ikut menyerbu. Mereka menyerang bagian kulitnya terdahulu, memakan rambut putihnya yang kasar, menyodok-nyodok jantungnya yang terkelupas. Dan kucing yang paling malas hanya santai menjilati darah-darah Sofia di lantai.
Teriakan Sofia menghilang dan dia terjerembab jatuh ke lantai setelah badannya menurun menggoresi tembok. Bunyi bedebuk keras terdengar. Dan mereka tanpa ampun kembali menggerogoti semuanya. Semuanya hingga tiada sisa.
Tangan Sofia diperebutkan, dibawa ke tempat lain sebelum dimakan dengan serakah. Hatinya dan ginjalnya digigit-gigit macam Squishy. Jarinya ditelan langsung, lidahnya terputus-putus menjadi banyak bagian.
Kemudian kegiatan makan tengah malam ini terjadi dengan nikmati, dan damai.
***
Polisi-polisi itu tampak sibuk dengan plastik-plastik berwarna hitam. Mereka mencatat dan mengambil barang bukti. Pemimpinnya adalah polisi Jaka.
Dia tengah fokus memperhatikan halaman belakang rumah yang menurutnya menyeramkan. Memandangi rumputnya yang layu seperti tak diurus. Mending begitu daripada melihat bangkai kucing.
Lalu dia merasakan bahunya ditepok. Jaka membalikkan badan, anak buahnya di sana. “Ada apa?”
“Itu, wanita itu, dia terbangun dengan aneh.”
“Maksudmu?”
“Komandan lihat saja sendiri.”
Jaka masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, orang-orang berkumpul di sofa. “Hey, hey, kenapa ini? Apa yang terjadi?”
Mereka semua berpaling menghadapnya. Memperlihatkan sosok Sofia yang menyedihkan. Duduk di sofa dengan mata kusam penuh air mata.
Salah satu dari mereka menjawab, “Ini, Ndan. Wanita ini. Dia bangun dan berteriak-teriak.”
Komandan Jaka mendekat. Sofia matanya tak terarah, dan pelan-pelan dia menatap Jaka. Seketika mukanya ingin menangis. “Jauhkan kucing-kucing itu dariku! Tolong jauhkan!” ucapnya histeris.
“Dia terus-terusan berkata seperti itu, Ndan,” lanjut anak buahnya.
Jaka menggeleng menekan pinggang. Dia mengelah nafas panjang-panjang, dan berkata, “Bawa dia.”
Orang-orang memegangi tangan Sofia. Sofia langsung menolak dan berucap, “Tidak, tidak, jauhkan kucing-kucing itu dari aku! Aku tidak suka dengan kucing itu, mereka jahanam!”
Seorang pria yang ikut memegangi berkata, “Ya, dan kau membunuhnya.”
“Bawa saja dia secara paksa,” kata Jaka. “Kalo bisa ikat dia dengan borgol. Dia memang wanita gila!” Jari telunjuknya mengarah.
Setelah Sofia pergi Jaka bergeleng-geleng menatap lantai. Dia lalu berjalan ke satu anak buahnya yang lain. Dia ialah pemuda kurus dan tampan, tengah melihat sebuah kandang dengan wajah yang aneh.
“Kau menyukainya?”
Si pemuda terkejut. “Ah, komandan. Ya, aku suka banget. Boleh aku membawanya pulang?”
“Terserah, aku percaya padamu.” Dia berlangkah kembali, dan membuka penutup kandang. Tangannya mengulur, lalu tak lama seekor kucing berwarna hitam keluar. Kepalanya pelan-pelan mendongak. Jaka tersenyum karena gemas. Dia suka mata birunya.
Jaka menatap si pemuda. “Dia kucing yang beruntung ya.”
Si pemuda hanya mengangguk-anggukkan kepala.