Oleh : K. Ulya
"Bapak serahkan pisau ini padamu. Berjanjilah kau akan menyayangi dan menjaga Nurani dengan baik ," pesan mertuanya pada Wono senja itu. Wono menerima pisau itu dengan perasaan haru. Mertuanya, jagal sapi ternama di kotanya, berniat pensiun. Beliau merasa Wono sudah dilatihnya dengan baik dan dapat melanjutkan pekerjaannya. Tepat lima hari setelah itu , sang mertua meninggal. Tanpa sakit, tanpa tambahan pesan. Beliau meninggal dalam tidurnya. Nurani tergugu menangisi ayahnya. Ia kini tak punya orang tua. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan sejak saat itu ayahnya membesarkannya sendirian.
Seribu hari sudah sang mertua wafat, hampir selama itu pula Wono melanjutkan pekerjaan mertuanya sebagai tukang jagal sapi. Kadang ia juga dimintai tolong untuk menyembelih kambing. Kambing sembelihannya terkenal tidak bau kambing. Cara menyembelih dan tajamnya pisau jadi kuncinya. Nuranilah yang selalu mengasah pisau itu tiap malam. Dalam setiap gerakan asahannya ada zikir yang ia untai dalam hening. Wono tak pernah tahu itu. Yang ia tahu, kini makin banyak penjual daging sapi menjagalkan sapinya padanya. Salah satunya adalah Lasmi, juragan daging sapi yang suaminya sakit stroke selama hampir dua tahun.
Jadwal Wono menyembelih sapi milik Lastri adalah jam tiga pagi. Setiap pagi Nurani membangunkan suaminya dan menyiapkan pisaunya. Sepergi suaminya, Nurani membentangkan sajadah menengadahkan tangannya. Memohon segala yang bisa dimohon. Sementara Wono, setelah menyembelih dan menguliti sapi, tak lagi memotong-motong daging sapi. Urusan potong memotong daging ia serahkan pada benerapa pegawai Lastri . Ia sendiri akan bergegas membersihkan tangannya lalu menemui Lastri di rumah utama. Lastri meminta Wono mengangkat tubuh suaminya yang stroke untuk dimandikan. . Lambat laun , kegiatan Wono di rumah Lastri bertambah. Tak hanya membantu Lastri memandikan suaminya yang tak bisa apa-apa , tapi juga 'membantu' suami Lastri untuk menafkahbatini Lastri. Tentu saja semua itu dilakukan dengan sukarela, suka sama suka, dan tanpa sepengetahuan suami Lastri maupun istri Wono, Nurani.
Perempuan adalah makhluk yang peka, begitupun Nurani. Ia merasakan perubahan Wono. Biasanya, Wono mengasahkan pisau pusakanya padanya seminggu tiga kali, tapi kali ini sudah seminggu Wono tak mengasah pisau pusakanya. Dengan lembut Nurani menawarkan dirinya pada suaminya.
"Aku capek sekali, mari kita tidur saja, besok pagi-pagi bangunkan aku" jawab Wono datar. Nurani tak berkata apa-apa. Hatinya bertanya-tanya, tapi pikirannya mencoba menjawab menenangkannya. Namun, semakin lama semakin jarang Wono menyentuhnya. Hingga suatu ketika kabar itu terdengar olehnya, bahwa Wono telah memakai wungkal lain untuk mengasah pisau pusakanya. Wungkal milik Lastri.
Ketika Nurani menanyakannya pada Wono, Wono tak mengelak.
" Maafkan aku" kata Wono sambil memeluk Nurani, "maafkan aku. Jangan kamu tinggalkan aku" Hati Nurani melemah, apalagi setelah itu Wono mengusik wungkalnya , mengasah pusaka yang lama ia rindukan.
Meskipun kecurangannya telah diketahui istrinya dan telah meminta maaf, Wono tak menghentikan kegiatannya di rumah Lastri. Ia tetap melayani kebutuhan Lastri yang tak bisa dipenuhi suaminya.
Ketika Nurani mengetahui hal itu, ia tak lagi bicara pada Wono. Dia tetap melakukan tugasnya mengasah pisau jagal Wono, membangunkannya tiap pagi sebelum ia menggelar sajadah. Hanya kali ini, ia lebih lama diam di atas sajadah. Sampai suatu saat hatinya tak tahan lagi.
"Duh Gusti, Engkau yang menitipkan ia padaku sebagai suamiku, namun kini ku telah sangat lelah, maka kukembalikan ia pada Engkau," lirih ia mengadu pada Tuhannya.
Hari itu Wono pulang hanya untuk mandi dan berganti baju lalu pergi tanpa memberitahu Nurani akan pergi kemana. Nurani diam, ia mengambil pisau jagal Wono untuk mengasahnya. Airmatanya menetes membasahi pisau yang diasahnya. Angannya membayangkan apa yang dilakukan Wono saat ini : berasyik masyuk dengan Lastri. Ia sangat yakin Wono pergi ke rumah Lastri. Hatinya sangat sakit.
"Bapak....bapak....," rintihnya sambil terus mengasah pisau itu.
Ia tak tahu jam berapa Wono pulang malam itu. Saat ia bangun, tumben Wono sudah bangun. Bahkan ia sudah membawa pisau jagalnya siap untuk bekerja. Nurani menatap kepergian Wono dengan tatapan kosong.
Wono menjalankan tugasnya seperti biasa. Sapinya kali ini mulus dan menurut sekali. Ia menyembelihnya dengan tenang. Tiba-tiba ia mendengar jeritan pegawai Lastri. Ia menoleh, pegawai itu terlihat ketakutan menatapnya. Lalu ia lihat pegawai-pegawai Lastri lainnya berdatangan . Mereka tak kalah ketakutannya, sambil menunjuk-nunjuk Wono. Wono yang masih bingung, menoleh pada sapi yang baru saja disembelihnya. Matanya melotot, mulutnya menganga demi melihat Lastri yang bersimbah darah dengan leher hampir putus di depannya.