"Mbak, boleh minta gula pasir." Tetangga sebelah rumahku. Langsung menyelonong masuk tanpa permisi, saat aku membuka pintu rumah.
Aku yang kanget, tidak bisa melarang. Aku memang baru pindah ke sebelah rumahnya. Baru seminggu, dan karena aku sebagai orang baru. Aku dan suamiku pergi ke rumahnya untuk memberikan makanan. Sebagai tanda perkenalan.
Kami tidak hanya memberi makanan padanya saja. Kami juga memberikan untuk tetangga sekitar, sebagai tanda kami ingin berhubungan baik pada mereka.
Sejak saat itu, tetanggaku ini yang bernama mbak Mita. Sering sekali datang ke rumahku, hanya untuk meminta bahan dapur. Seperti garam, minyak goreng, bumbu dapur dan masih banyak lainnya.
"Eh, mbak tunggu," kataku mencoba menghentinkan mbak Meta yang langsung menyelonong masuk. Caranya meminta sangat tidak sopan, langsung dan mengambil barang yang diinginkan olehnya sesuka hatinya. Kadang memeriksa isi kulkas dan mengacak-acak tatanan barang yang sudah rapi.
"Gak perlu repot, aku sudah tau tempatnya mbak Alea," katanya tanpa merasa canggung sama sekali.
Ya Allah kenapa aku punya tetangga yang seperti ini? Kesabaranku benar-benar diuji. Dengan sikap seenaknya mbak Mita.
"Eh, mbak, bukan begitu," kataku lagi. Dia tanpa mempedulikan aku langsung melanjutkan jalannya dan berhenti di depan pintu kamarku dan mas Nico.
Tanpa tau malu, mbak Mita membuka pintu kamarku. Aku cepat-cepat menutup kembali pintu kamarku, pasalnya suamiku yang gagah dan tampan. Hanya mengenakan handuk saja di dalam sana. Dia baru saja mandi, dan meminta aku yang memilihkan baju untuknya.
Kemesraan pengantin baru kami terganggu karena gedoran pintu dari mbak Mita yang sangat keras. Seperti rentenir yang sedang nagih hutang. Padahal tujuannya adalah meminta.
"Ternyatabselain ganteng, mas Nico. Punya badan yang sexy juga ya, mbak," katanya dengan suara genit. Tanpa rasa bersalah atau malu sama sekali.
Sebenarnya, aku kesal. Namun hanya tersenyum, tidak mungkin aku berteriak-teriak marah pada mbak Mita.
Sesampainya di dapur. Mbak Mita langsung mengambil satu bungkus gula kemasan yang dibeli mas Nico di super market.
"Kayaknya ini cukup," katanya sambil nyengir kuda. Ya Allah ini orang mau minta atau merampok.
"Ternyata ada buah juga. Saya ambil, ya, mbak." Mbak Mita membuka kulkasku tanpa izin dan mengambil beberapa apel dan mangga.
Dia juga sepertinya ingin menjelajah isi dapurku. Langsung buru-buru kuhentikan. Bukan karena tidak mau berbagi, tapi caranya mengambil. Sungguh tidak sopan sekali.
"Maaf mbak, saya lagi buru-buru. Mau pergi sama mas Nico," kataku saat melihat mbak Mita, mencoba membuat lemari-lemari kitchen set-ku.
"Loh, saya mau lihat-lihat, mbak. Masa gak boleh. Tetangga jangan gitu, pelit," gumamnya di kata terakhir.
Aku buru-buru istighfar. Agar tidak kelepasan emosi. Aku tersenyum dan menuntun mbak Mita untuk keluar dari rumahku.
"Silahkan mbak," kataku tanpa mempedulikan wajah Mbak Mita yang sudah berubah masam.
Saat melewati pintu kamarku. Mbak Mita mencoba membuka pintu, tapi langsung kuhentikan dengan menahan handel pintu terlebih dahulu.
"Saya benar-benar buru-buru, mbak." nada suaraku masih kutekan selembut mungkin. Walaupun, kekesalanku sudah mencapai ubu-ubu. Apa maksud mbak Mita membuka pintu kamarku lagi?
"Kirim salam pada mas ganteng mbak," katanya keras.
Aku yang sudah kesal. Langsung menutup keras pintu rumahku saat mbak Mita sudah keluar.
Memang bukan hanya kali ini saja, mbak Mita menunjukan ketertarikanya pada mas Nico. Sudah sering, dia mencoba menarik perhatian suamiku itu.
Bahkan sering kali dia minta ikut menumpang dengan mobil mas Nico. Saat suamiku itu, berangkat kerja. Alasnya ingin kedepannya kompleks, tapi dengan dandanannya yang menor dan baju yang sexy.
"Mbak Mita lagi?" tanya mas Nico, saat aku masuk ke dalam kamar. Dia memasang wajah cemberut, dan menyandarkan kepalanya pada bahuku. Aku yang duduk di tepi ranjang, mengelus rambut tebalnya.
"Minta gula," kataku.
"Kalau tetangganya reseh. Kita pindah aja, aku masih punya banyak uang untuk beli rumah lagi," katanya enteng. Sultan menang beda, ada yang menganggu langsung beli ruang baru.
"Tapi aku suka rumah ini mas, halaman depan dan belakang sangat luas. Samping kiri kanan juga. Nyaman dan asri, nanti bisa nanam sayur dan bunga. Apalagi pohon mangga di dapan udah berbuah. Sayang kalau ditinggalin."
"Dasar perhitungan," katanya memeluk tubuhku semakin erat.
"Yasudah nanti mas, bangun tembok saja biar gak ada perusuh yang masuk."
Suamiku memang luar bisa. Menganggap mbak Mita sebagai perusuh. Memang beberapa kali, mas Nico mengungkapkan rasa tidak nyamannya pada perilaku mbak Mita.
Hanya saja, aku selalu mengatakan untuk bersikap ramah pada tetangga. Kita orang baru, jadi harus jaga sikap dan punya stok kesabaran lebih. Jangan membuat orang sakit hati.
Mas Nico yang terlihat kalem dan baik. Sebenarnya dibalik itu, semua dia itu orang yang galak dan punya mulut pedas. Awal aku kenal saja, sikapnya cukup membuatku syok.
*******
Semakin hari mbak Mita semakin menyebalkan. Dia semakin terang-terangan menggoda mas Niko.
Dia sering datang malam-malam dengan pakaian yang menurutku tidak pantas. Mbak Mita selalu mencoba berlama-lama di rumahku.
"Mas Nico kerjaannya apa sih, mbak Alea?"
Mbak Mita seenaknya mengambil makanan dari dapurku dan duduk seperti ratu di ruang keluarga sambil ngemil. Bajunya juga sangat tipis dan pendek. Bahkan lekukan tubuhnya sampai bisa terlihat. Dia mengunakan jaket kemari, dan melepaskan jaketnya saat sudah memasuki rumah.
Aku sebenarnya tidak ingin membuka pintu, tapi mbak Mita terus menggedor-gedor. Dia tau aku dirumah, lampu ruang tamu aku hidupkan.
"Cuman karyawan biasa mbak. Gak punya jabatan,"
"Ah, mbak bohong. Masa iya karyawan, bisa beli mobil mewah sama rumah gede. Mbak, pasti takut kesaing saya. Makanya bilang mas Nico, cuman karyawan. Biar saya mundur, kan," katanya percaya diri dan menyebalkan.
Aku menghembuskan nafas kesal. kenapa semakin hari mbak Mita semakin keterlaluan?
"Mbak pasti takut, kalau saya menjadi istri kedua. Atau mbak yang dicerai," katanya lagi.
Aku ingin balas ucapan mbak Mita, tapi dia buru-buru berjalan menuju pintu depan. Suara mobil mas Nico mendekatkan dan kemudian mati.
Ternyata mas Niko sudah pulang. Mbak Mita langsung mencuri start dariku. Membuka pintu dan menyambut mas Nico. Dia mencoba mengulurkan tangan, meraih tasnya.
Tentu saja mas Nico, menolaknya. Dia langsung meraih pinggangku dan mencium keningku didepan mbak Mita. Mengelus rambutku dan sekali lagi mencium kepalaku. Menghirupnya dengan nikmat.
"Mbak ngapain kesini?" tanya mas Nico dengan nada tidak ramah.
"Nungguin mas pulang lah mas. Siapa tau kangen," katanya tanpa tau malu.
"Gak perlu malu mas, saya tau perasan mas kok."
"Mbak, jangan ngomong sembarangan," balasku tidak suka.
"Apaan sih, mbak. Menganggu aja," balas mbak Mita tidak kalah ketus.
"Mbak, saya tau. Kamu perawan tua, tapi harus ada ahlak dan adab. Dari sesi mana saya tertarik pada mbak. Saya mual dan jijik tiap kali harus melihat mbak. Jangan jajakan diri mbak pada saya. Saya muak. Sekarang silahkan pergi!" kata mas Nico membuat kami terdiam. Dia langsung mendorong tubuh, mbak Mita keluar dan banting pintu.
Tidak lama kemudian mas Nico kembali, dan melempar jaket mbak Mita. Aku bisa melihat wajah kaget dan pucat mbak Mita. Saat mas Niko menutup pintu lagi.
Mulut pedas, suamiku mampu membuatnya bungkam. Aku tidak ingin menegur mas Nico untuk mulut pedasya saat ini. Biarkan saja, ini sudah pada tempatnya.
*********
Ternyata masalah tidak sampai disini saja. Mbak Mita malah menyebar fitnah untuk keluarga kecil kami. Banyak yang tidak percaya, tapi gosipnya sudah menyebar luas.
Aku juga menjelaskan apa-apa. Karena percuma, gosipnya tidak akan langsung reda. Justru nanti malah memanas.
"Mbak, tolong sekali bilang sama mas Nico. Jangan lapor polis dulu mbak, untuk masalah fitnah yang diucapakan, mbak Mita. Kita selesaikan dulu secara kekeluargaan, tadi pengacara mas niko datang untuk mengurus surat-surat," kata pak RT, panik. Sehingga lupa jika tempat ini bukan tempat yang cocok untuk membicarakan masalah ini.
Ibu-ibu langsung kanget dan menutup mulut. Takut terseret juga mungkin. Suamiku memang hanya diam, tidak menjelaskan tapi dia selalu tau cara untuk menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat.
"Iya pak. Saya akan omongkan kesuami. Tapi keputusan ada di tangan suami saya pak."
Semenjak hari itu mbak Mita tidak berani lagi muncul dan mengganggu keluarga kecil kami. Bahkan karena malu akhirnya dia memilih pindah rumah. Penggoda suamiku, kini menghilang. Makanya mbak, jangan bangunkan singa. Di terkam, kan, jadinya.
Tamat. Tidak ada next diantara kita. Jangan komen next please, bunda-bunda cantik jelita.