#cerpen
Oleh: Salma Nayla
"Mamaaa!"
"Ada apa Sayang? Gosah tereak, tar adek kamu bangun." Mae berjongkok mendekati si sulung yang berusia enam tahun.
"Kok, minyak wangi Kakak ngga ada baunya?"
Mae terkejut.
"Yang bener?!" seru Mae.
"Mama jangan tereak ntar adek bangun," Via membekap mulut Mae dengan tangan kecilnya.
"Ih, tangan Kakak udah pake HS belum?" Mae menyingkirkan tangan mungil itu.
"Hehe, belum." Via terkekeh.
Mae bangun dan mengambil HS dari atas meja makan.
"Pake ini dulu." Via menyodorkan kedua tangannya.
"Coba ini bau ngga?" Mae mendekatkan tangan Via yang sudah diberi HS ke hidungnya.
Via mengendus-endus, kemudian menggeleng. Harusnya bau jeruk nipis.
"Kakak berasa mampet ngga hidungnya? Kayak pilek, gitu ...."
Bola mata Via berputar. Ia sedang berfikir sambil menggerakkan-gerakkan cuping hidungnya.
"Via engga pilek, kok Ma."
'Gawat! Jangan-jangan anakku kena virus itu.'
Mae berusaha untuk tidak panik. Empat hari sebelumnya putri sulungnya itu demam tinggi. Mae tidak curiga. Ia hanya memberi obat penurun panas yang selalu ada di kotak obat. Mae sengaja tidak membawanya ke dokter. Ia merasa ngeri dengan keadaan sekarang. Apalagi kalau ke dokter, dalam bayangan Mae, di sana banyak orang sakit artinya banyak virus juga yang berkeliaran. Karena itu, ia hanya memberi Via obat penurun panas seperti biasanya kalo lagi demam. Bersyukur, setelah tiga hari demam Via mulai turun.
"Kakak jangan main keluar dulu, ya. Cukup mainnya di dalam rumah saja. Biar nanti hidungnya bisa nyium bau minyak wangi lagi."
"Yaaa, berbi nya ngga wangi juga dong, Ma." Via nampak kecewa.
"Ngga apa-apa Sayang. Pura-puranya berbi Kakak juga lagi sakit. Trus Kakak jadi dokternya, ya."
Mae mengarahkan Via dalam bermain. Sementara ia pun sedang berpikir keras mencari cara biar Via tidak mendekat ke adiknya yang baru delapan bulan. Mae khawatir Via menulari ke yang lain terutama si bayi.
Dhuuutt!!
Mae terkejut dengan suara yang keluar dari bagian belakang tubuhnya. Saking asiknya melamun sampai-sampai tidak merasakan badai kecil yang berbau lolos begitu saja dari sarangnya. Ish! Bau banget. Mae menutup hidungnya.
"Untung hidung Via lagi baik, ya Ma. Coba kalau seperti biasa, bisa pusing kepala via nyium bau kentut mama, hehe." Via terkekeh senang.
'Ya Allah, nak. Kamu ngga tau kalo virusmu itu berbahaya.' Mae memaksa tersenyum.
"Iya, Kak." Dielusnya kepala Via. "Kakak minumnya air hangat dulu ya, sampe bisa nyium minyak wangi lagi."
Selain indera penciuman, ternyata Via pun kehilangan indera pengecapnya. Via protes terus karena makanan yang dimakannya tidak ada rasa sama sekali. Pelan-pelan Mae menjelaskan sampai Via mau makan meski hanya sedikit.
Lama-lama Via terbiasa dengan keadaan tersebut. Yang paling susah memisah ia dari sang adik. Tak jarang Via sampai menangis karena Mae larang mendekati adiknya. Namanya anak-anak, meski sudah dijelaskan tetap saja masih kurang paham.
Hari ini hari kesebelas.
Kamis sore yang dingin. Hujan deras mengguyur pemukiman rumah Mae.
Sambil menggendong bayi, Mae mengawasi Via yang sedang menggambar dan mewarnai dengan crayon.
Udara dingin mulai dirasakan Mae Kebiasaan Mae kalau hawa dingin maka perutnya akan bereaksi. Mulas. Angin busuk sepertinya sedang berkonvoi di dalam sana dan siap menjebol keluar.
Dhut! Dhuuuttt!!
Mae nyengir kuda ke arah Via.
"Maapin Mama, kelepasan nih."
" Enak ya Ma?"
"Iya, perut Mama legaan sekarang."
'Kamu lebih bijak dari papamu, Kak. Coba papamu yang dengar. Habislah Mama dibully. Padahal ini nikmat yang tiada tara. Ya kan, Pemirsa??
Brutt! Brubuuuttt!
Wah kacau nih, angin. Ngajak ribut.
"Mamaaa! Kok, bau sih?" Via lari terbirit-birit ke depan.
Hahh?!
"Mama jangan dekat-dekat. Via ngga nahan baunya." Via masih saja memencet hidungnya. Ia tersengal-sengal karena mengambil napas lewat mulut.
Mae memeluk Via dengan satu tangan. Diciumnya kepala si kakak penuh rasa bahagia. Via berontak karena bau angin busuk itu masih menghantui indera penciumannya.
"Mama jorok! Mama makan apa sih?"
'Eww! Kok, kok jadi persis papanya nih anak. Membully kentutku.' Gapapa deh, yang penting kamu sudah kembali normal. Kentut Mama pancen oye!!
Mae terus saja senyam senyum. Pada akhirnya angin busuk andalannya bermanfaat juga. Ahay!