Menyesal
"Mas, tolong buatkan susu untuk si Alif dong," ucap istriku yang sambil menggantikan pakaian si Azka, anakku yang pertama.
Kedua putraku masih balita, Azka masih berusia 4,5 tahun, dan si Alif berusia 2,2 tahun.
"Kamu gak lihat, aku capek baru pulang kerja, hah?" Jawabku sangat ketus.
"Kamu dari tadi ngapain aja? Ngurus anak aja gak becus," lanjutku lagi.
"Mas, dari habis subuh tadi, aku belum ada istirahat Lo, makananku di piring saja belum habis aku makan semua, lihat itu," jawab istriku dengan nada lembut.
"Makannya kamu itu pintar-pintar ngatur waktunya dong, masa gitu aja mesti aku ajarin," jawabku kesal.
"Suami pulang kerja bukannya di sambut dengan hangat, malah di suruh ini, di suruh itu," gerutuku sambil berjalan menuju kamar.
Dari sudut kamar terdengar suara tangisan Alif semakin keras, itu tandanya dia haus minta di buatkan susu, kedua anakku sejak lahir gak pernah minum ASI, karena memang gak keluar, dan pernah di coba paksa pakai pompa malah ibunya demam.
Anakku si Alif suka main jam 10 malam sampai jam 3 pagi, dan tidurnya biasanya mulai jam 3.30 pagi, dan bangunnya jam 12 siang. Begitulah sehari-hari aktifitasnya, dan itu istriku yang terjaga menemani si Alif.
Anakku Alif adalah anak Istimewa, anak berkebutuhan khusus, jadi harus super hati-hati menjaganya. Rubella Syindrome sudah di deritanya sejak ia lahir, tapi aku tidak pernah merasa minder atau sedih di hadapan tetangga atau teman-teman, walaupun ada satu atau dua orang yang menghindar jika aku ajak main bersama.
Seperti biasanya, pukul 2 pagi istriku membangunkan aku dari tidur untuk bergantian menjaga Alif.
"Mas, bangun, gantian jaga Alif dong," ucap istriku sambil menggoyangkan bahuku berusaha untuk membangunkan aku.
"Mas, tolong gantian kenapa, sepertinya hari ini aku gak enak badan," lanjut istriku yang masih berusaha membangunkan aku dari tidur.
"Malas, hari ini aku banyak kerja, kalau nanti kurang istirahat, aku gak fokus kerjanya." Jawabku berpaling sambil menarik selimut.
Memang si Alif kalau main tengah malam harus di temani, soalnya sudah beberapa kali kulihat bermain dengan hewan berbisa, yang kadang lewat di hadapannya, seperti kalajengking, lipan, dia pegang pakai tangan kosongnya, dan herannya hewan itu tidak menggigitnya, malah dia asik tertawa sendiri sambil memainkan hewan itu bak mainan, tapi seketika itu langsung aku tepis dari tangannya, lalu aku membuangnya.
"Mas, tolong belikan obat di warung, sepertinya aku demam," ucap istriku memelas.
"Halah, kamu ini manja banget, baru sakit sedikit aja malas gerak, penyakit itu di lawan, biar cepat sembuh." Jawabku ketus.
"Sudah sana beli sendiri, aku mau berangkat kerja, nanti telat," lanjutku sambil menyodorkan tangan untuk salam yang selalu ia lakukan di saat aku hendak pergi kerja.
"Hati-hati di jalan mas, jangan ngebut naik motornya," ucap istriku tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Dalam perjalan aku berpikir, sepertinya ada yang aneh dengan sikap istriku pagi ini, tidak biasanya dia tersenyum sambil air matanya berkaca-kaca, namun tak tumpah.
Apa mungkin karena dia sakit, ah sudahlah, lagian sakit dikit aja manja banget.
Sekitar jam 12 siang, aku hendak keluar makan di kantin tempat kerjaku, tiba-tiba ada telepon masuk dari tetanggaku, Bu Dewi.
"Halo, Ass" belum sempat menyelesaikan kalimat assalamualaikum Bu Dewi sudah menangis di ujung telepon sana.
"Ardi, cepat pulang sekarang, isterimu sudah gak ada," ucap Bu Dewi sambil menangis di ujung telepon.
"Maksud ibu apa sih, yang jelas dong bicaranya," ucapku menegaskan, karena tak percaya dengan ucapannya.
"Isterimu sudah meninggal," ucap Bu Dewi sambil menangis lagi.
Ibu Dewi adalah tetanggaku yang paling baik di kampung, dia sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.
"Iya Bu, aku pulang sekarang," ucapku sambil mematikan telepon.
Inalillahi wainailaihi roji'un, aku masih tidak percaya dengan ucapan yang di katakan Bu Dewi, langsung aku tancap gas pulang ke rumah.
Sampai di rumah, kulihat sudah banyak orang yang melayat isteriku, wajah-wajah sedih campur tangis para tetangga yang kulihat saat itu sambil memeluk anakku yang tak tau apa-apa tentang meninggalnya ibu mereka.
Namun tak tau kenapa, saat itu sikapku biasa saja, tidak ada rasa sedih atau apapun itu.
Setelah acara kenduri sampai 7 hari selesai, di sini aku merasa kehilangan, aku seperti org yang tak punya pegangan, hampir gila. Ternyata mengurus anak sendiri itu sangat repot sekali, di tambah pekerjaan rumah yang sangat menumpuk.
Andai saja waktu bisa di putar, aku akan turuti keinginan istriku, dan membawanya ke Dokter.
