JANDA SEMAKIN DI DEPAN

 JANDA SEMAKIN DI DEPAN

#cerpen
"Mas, memangnya kamu tidak capek apa? Seharian duduk di dekat jendela, sudah ngabisin lima cangkir kopi sama sepiring ubi rebus. Liatin janda samping rumah pula," aku menggerutu karena kesal sekali melihat Mas Hendi yang hanya sibuk melihat janda gatal itu.

Foto oleh Misha Voguel dari Pexels

"Kamu tidak mikirin apa? Anak istri kamu mau makan apa nanti? Kerja dong Mas, memangnya kamu begitu bisa dapat uang?," imbuhku.
"Iya-iya, nanti aku narik ojek lagi. Lagian aku lihat kamu itu sepet Lin. Udah pakai daster, sudah sore begini belum mandi pula. Coba lihat tuh si Marni, sudah dandan. Wanginya aja bisa ke cium sampai sini. Lama-lama ku nikahi Marni, biar kamu jadi janda," jawab Mas Hendi tak mau kalah.
Mataku nanar, terasa panas karena menahan air yang hampir membasahi pipi. Ku tinggalkan suamiku dan masuk ke dalam kamar. Ku peluk putraku satu-satunya yang sedang tertidur pulas.
"Bagaimana bisa aku memoles wajahku, sedangkan untuk makan saja pas-pas an. Aku belum mandi juga karena baru selesai mengerjakan pekerjaan rumah," air mataku luruh seketika.
***
Namaku Lina, dulu aku seorang gadis cantik yang bekerja di pusat perbelanjaan. Memutuskan menikah dengan Mas Hendi yang bekerja sebagai supervisor di dealer mobil Shizuka. Awalnya ekonomi kami serba berkecukupan. Dua tahun pernikahan, lalu aku hamil dan memutuskan untuk berhenti bekerja.
Setelah putraku Arjuna lahir, Mas Hendi dipecat tanpa aku tau apa penyebabnya. Mas Hendi tak pernah bercerita padaku. Setelah di pecat kami menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena Mas Hendi yang hanya berdiam diri dirumah. Perhiasanku pun juga sudah terjual semua. Begitu juga dengan rumah warisan dari nenekku. Lalu kami memutuskan untuk mengontrak selepas menjual rumah. Hingga lambat laun, semua uang habis. Barulah Mas Hendi mau menarik ojek. Entah mengapa, tak ada lagi yang mau menerima Mas Hendi sebagai karyawan.
Sudah sebulan aku tak pernah bicara dengan suamiku. Hatiku masih terasa sakit. Dia pun juga tak pernah meminta maaf padaku. Tapi masih tetap ku penuhi kewajiban sebagai seorang istri.
"Nda, juna mau es klim," pinta putraku yang berumur 3 tahun.
"Sayang, kan beli es krim jauh. Nunggu ayah pulang dulu ya?." Berusaha ku bujuk agar menunggu ayahnya saja.
"Gak mau! Maunya sekalang," dimanyunkan bibir mungilnya.
"Ya sudah, tapi naik sepeda sama bunda mau? Tapi diluar panas lho," masih ku coba membujuk.
Juna hanya mengangguk, lalu ku ajak juna membeli es krim dengan mengontel sepeda mini yang sudah usang ini.
Belum juga sampai di minimarket, mataku membulat. Ku lihat Mas Hendi dan Marni sedang duduk mesra di suguhkan dua mangkok mie ayam dan dua gelas es jeruk.
Tanpa fikir panjang aku langsung turun dan menghampiri mereka.
"Mas! Apa-apaan ini?." Ku hentak meja mereka tanpa ku hiraukan orang disekitar.
"Ngapain kamu kesini?," teriak suamiku.
"Justru aku yang tanya, ngapain kamu berduaan sama Marni? Ada hubungan apa kalian?." Ku berondong Mas Hendi dengan pertanyaan. Sementara Marni ku lihat hanya tersenyum sinis.
"Baca ini!," Mas Hendi memberikan sebuah amplop panjang.
Tanpa menjawab, cepat-cepat ku buka isi amplop tersebut. Betapa terkejutnya aku, tubuhku limbung dan terduduk di lantai.
"Kami sudah menikah, mulai hari ini aku tinggal dirumah Marni. Urus Juna sendiri, jangan melibatkan aku atau mengganggu kehidupanku," kemudian mereka berlalu meninggalkan kami.
Juna menangis dan berteriak Ayah-Ayah. Tapi, Ayahnya berhati batu yang sama sekali tak menghiraukan putranya sendiri.
"Nda... Nda," Juna menarik tanganku. Menyadarkan aku dari lamunan.
"Sayang... Kita kerumah Nenek Asih ya," ku usap air mataku. Saat ku lihat sekeliling, orang-orang hanya menatap dan berbisik-bisik.
Aku pergi kerumah Bulek Asih dengan sepeda ontelku. Panas terik di siang bolong tak terasa menyengat kulitku. Dendam, iya . . . hanya dendam yang menyelubungi hatiku.
Setengah jam perjalanan, aku sampai di rumah Bulek Asih. Ku ceritakan semua yang terjadi. Bulek menyuruh Andri dan Sabrina istrinya untuk pergi ke kontrakan dan mengemasi pakaianku.
"Sudah-sudah, jangan menangis. Tak ada yang perlu disesali. Kamu harus bisa melangkah maju. Mulai hari ini kamu tinggal sama Bulek. Kamu bisa bekerja lagi. Biar Juna sama Bulek," Bulek memeluk dan menguatkan aku.
***
Keesokan harinya aku menghubungi Pak Budi yang sampai saat ini masih menjadi Manager di tempat bekerja dulu.
Beliau sangat ramah dan menerima aku untuk bekerja kembali. Karena kebetulan hari ini hari Kamis, jadi beliau meminta agar aku mulai masuk hari Senin saja. Bulek sangat antusias setelah mengetahui aku akan bekerja kembali. Sampai Bulek menyuruh Sabrina mengajakku belanja dan ke salon. Untuk merawat diri setelah sekian lama.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke salon, hanya memerlukan waktu lima belas menit. Semua perawatan diri dari ujung kaki sampai ujung rambut ku lakukan. Tak lupa ku potong pendek rambutku yang sudah panjang dan usang akibat tak terawat.
Sabrina istri Andri begitu terkejut melihat perubahanku. "Ini benar mbak Lina?" Tak berhenti dia memandangiku.
Aku tersenyum dan tersipu malu.
***
Sudah satu bulan aku bekerja, kulit ku juga semakin bersih karena terlalu banyak di ruangan berAC. Gajiku sebulan juga cukup untuk keperluanku dengan Juna. Bahkan aku bisa memberi uang Bulek walau tak banyak. Sisanya bisa untuk kesalon dan menabung.
Saat aku sedang asyik mengobrol dengan custumer, ku dengar ada keributan. Segera ku hampiri saja untuk melerai. Betapa terkejutnya aku. Ternyata Marni yang kini tengah berbadan dua sedang merengek minta dibelikan baju. Ku lihat Mas Hendi sedang membujuknya.
"Dek, kita beli bulan depan saja ya?" Kata Mas Hendi sambil celingak celinguk. Mungkin malu karena banyak yang melihat.
"Enggak Mas, mau nya sekarang. Bulan depan jelas sudah enggak kebagian aku. Lagian ini yang minta dedek di dalam perut, bukan aku," Marni tetep kekeh, bibirnya di manyun-manyunkan.
Aku yang melihat merasa geli sendiri, "Jadi seperti ini wanita idaman mantan suamiku," batinku. Tanpa ku sadari aku tersenyum kecut.
"Mbak, kenapa menyeringai. Merendahkan saya ya?" Marni memandangku sinis.
"Maaf Bapak dan Ibu, jangan bikin keributan disini. Mengganggu custumer yang lain," ku katupkan kedua tangan, tak lupa tersenyum semanis mungkin.
"Li... Lina? Kamu Lina kan?" Mas Hendi menunjuk dan memandangiku tak berkedip.
"Maksudnya mantan istri kamu Mas?" Lagi-lagi Marni melirikku sinis.
Tanpa menjawab aku pergi meninggalkan mereka, malas sekali harus berdebat atau bertemu mereka.
"Tunggu Lin!" Teriak Mas Hendi.
Ku hentikan langkah tanpa menoleh ke arahnya.
"Mas, kamu mau ngapain?" Ku dengar Marni bertanya pada Mas Hendi tapi tak ku dengar jawaban darinya.
"Lin... Kok kamu bisa secantik ini, aku sampai pangling," puji Mas Hendi.
"Mas!" Lalu aku terdiam.
"Iya Lin, Mas minta maaf ya? Mas ngaku salah, bisakah kita balikan lagi?" Bujuk Mas Hendi.
Ku majukan langkah, lalu ku dekatkan bibir di telinga Mas Hendi, "Benarkan Mas, JANDA SEMAKIN DI DEPAN. Jangan berharap balikan, kamu tak akan mampu belikan aku skincare," aku berkata dengan nada manja.
Marni bergegas mendekati kami. Ku kedipkan sebelah mataku, senyumku mengembang. Tampak terlihat begitu genit. Sengaja, hanya untuk membuat Marni cemburu.
Dan Mas Hendi, hanya terdiam mematung.
BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama