"Lihat, Ma! Gambar Abang udah jadi."
Salamah meraih buku gambar yang disodorkan oleh putra kecilnya. Perempuan itu tampak serius mencermati setiap garis di permukaan kertas, mengangguk seraya tersenyum, kemudian berkata, "Ikan pausnya keren! Well done!"
Husain menyambut pujian ibunya dengan ucapan terima kasih yang menggemaskan. "Ikan pausnya udah kelihatan sedih nggak, Ma?"
"Sedih?"
"Iya, sedih."
Salamah kembali mencermati setiap garis di permukaan kertas, mendapati bahwa objek yang semula dikira batu karang ternyata adalah serakan sejumlah kantong plastik.
"Ikan pausnya sesak nafas," lanjut Husein polos. "Tempat tinggalnya kotor sama sampah."
Salamah menaruh sebelah tangan di dada. Ternyata rasa peka pada lingkungan bisa mengakar sekuat itu di dalam diri putranya. "Menurut Abang, kita bisa nolong ikan paus itu, nggak?"
"Bisa, Ma. Kita stop pakai kantong plastik."
"Terus kantong plastiknya kita ganti pakai apa, Bang?"
Wajah imut Husain mencelos bingung. Untuk membantu bocah tujuh tahun itu berpikir, Salamah memberi petunjuk. Dia berpura-pura menyandang sesuatu di punggung.
"Ransel!" tebak Husain.
Salamah mengacungkan jempol. Dia lanjut memberi petunjuk yang lain. Kali ini dengan gerakan menyampirkan sesuatu di bahu lalu ditutup dengan gerakan mengempit.
"Tasnya nenek!" tebak Husain lagi.
"Jempol kedua buat Abang!" puji Salamah senang.
Setelah main tebak-tebakan, Salamah meminta Husain membereskan alat tulis di meja. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di meja makan, siap untuk makan siang.
"Mama nggak mau ikannya?" Husain mendapati ibunya hanya mencomot udang, pergedel, dan tumis kangkung.
"Sejak kapan Mama makan ikan, Bang?" tanya Salamah balik.
"Oh, iya! Abang lupa. Mama kan nggak suka ikan."
Sebenarnya Salamah suka makan ikan, tapi itu dulu.
Tahun 2010, Salamah yang belum menikah berlibur ke sebuah pulau kecil bersama sejumlah rekan kerja. Mereka berangkat dengan dua motorboat berkapasitas enam orang. Di separuh perjalanan, cuaca berubah buruk. Laut mengombak gusar. Motorboat yang ditumpangi Salamah tidak kuasa melawan amuk ombak. Kendaraan itu seketika terbalik.
Salamah tidak bisa berenang. Tangannya mengepak-ngepak seperti unggas sementara tubuhnya terus terisap ke dasar laut. Dalam dingin yang menyesakkan, perempuan itu bisa melihat berpasang-pasang kaki dan tangan yang berada jauh di atasnya, para rekan kerjanya kepayahan menyelamatkan diri masing-masing.
Kesadaran Salamah berangsur hilang, begitu juga harapannya untuk hidup. Susah payah dia menguasai ketakutan di dalam kepala. Ini mungkin takdirnya. Perempuan itu menutup mata, memeluk dirinya sendiri, lalu melafalkan ayat-ayat Tuhan di relung batin.
Dalam detak kesadarannya yang semakin melemah, Salamah bisa merasakan gerak air di sekitarnya berganti. Sesuatu menyentuh punggungnya. Dingin, lembut ... dan entah kenapa menenangkan.
"Kami menemukannya di pantai."
"Ternyata dia tidak bisa berenang."
"Ombak yang membawanya ke pantai."
"Atau mungkin ... sekumpulan lumba-lumba?"
"Nggak mungkin. Nggak ada lumba-lumba di sekitar perairan itu."
"Ini semua kuasa Tuhan."
"Iya. Kuasa Tuhan."
Di ranjang rumah sakit, Salamah yang terbaring lemas samar-samar mendengar percakapan itu. Setelah pulih, dia yang semula suka makan ikan tidak mau makan ikan lagi. Salamah selalu merasa bersalah setelah makan ikan. Itu mengganggunya dan dia sendiri juga tidak tahu mengapa itu bisa terjadi.
"Mama," panggil Husain.
Lamunan Salamah seketika buyar. "Eh. Iya, Bang?"
"Hari ini kita jadi ke pantai, kan?"
Satu jam kemudian, tampak Husain mengeluarkan peralatan bermain pasir dari tas jinjing yang baru saja dikeluarkannya dari mobil. Bocah berambut ikal itu tampak bersemangat sekali.
"Jagoan Mama mau bikin apa?" Salamah berjongkok di sebelah Husain.
"Ikan Paus, Ma."
Di belakang sebuah batu karang, sepasang mata memperhatikan mereka dari kejauhan. Dia cinta akan Salamah namun laut juga membutuhkan cinta itu. Maka dia hanya bisa memberikan rindu. Rindu yang hanya bisa menggapai pasir-pasir pantai.
"Mama lagi apa?" Husain menghampiri Salamah yang berdiri menghadap debur ombak.
"Lagi liatin ombak."
Ombak ... ombak yang entah kenapa selalu membuatku ingin pulang. Tapi, pulang pada siapa? Salamah membatin di kedalaman hatinya.
