"Menikah dengan adiknya, malam pertama dengan kakaknya."
***
"Menikah dengan Adik, Malam Pertama dengan Kakaknya."
.
.
.
Kulepaskan tuxedo milik pria yang kucintai setelah akad pernikahan kami. Keinginan sepasang kekasih sudah menggelora. Napas kami berkejaran karena cinta.
"Di dalam, ya?!"
"Hemh? Apanya?" Mataku melotot. Bukannya dia sudah janji menunda kehamilan hingga tahun depan, menunggu kuliahku selesai.
"Maksudnya pindah ke dalam. Jangan di sini, takut tiba-tiba ada yang naik ke lantai dua. Emang kamu mikir apa? Omesh ya?"
Mendengar ejekannya, kucubit perutnya yang keras.
Mas Faiz tersenyum, karena kenakalanku. Sesuai janji sebelum menikah, aku akan jadi istri yang bisa memimpin dan melayaninya lebih baik dari siapa pun.
Ah, memangnya dia berhubungan dengan wanita lain? Aneh juga kenapa aku mengatakan lebih baik dari wanita lain. Tentu saja aku tak akan membiarkan itu. Enak saja!
Saat Mas Faiz merengkuh tubuh dan akan membawaku ke kamar, tak sengaja mataku menangkap sebuah bayangan foto keluarga. Mata ini menyipit. Menajamkan penglihatan, memastikan bahwa salah satu orang yang berada dalam foto itu adalah ... seseorang yang sangat kukenal.
Seseorang yang kuucap selamat tinggal padanya, di bandara setahun lalu. Tak peduli ia memohon agar aku tak pergi, tetap saja kutinggalkan dia dengan kalimat putus. Kami tak bisa bersama.
Terlalu banyak perbedaan setelah lebih dua tahun mempertahankan hubungan dengan Mas Bian. Lagi pula dia tak mau memberi kepastian, kapan akan menikahiku? Jujur saja, sering bertemu dengannya membuatku takut khilaf.
Yah, namanya Biantara, putera sulung di keluarganya. Tapi ... aku baru tahu kalau, pria itu adalah putera sulung di keluarga ini.
"Mas, ini ...." Aku menunjuk dengan gemetar foto seorang pria tampan yang tersenyum, berdiri memegangi pundak Mas Faiz yang duduk dari belakang.
"Oh ya, itu Mas Bian. Dia merantau sejak tahun lalu, dan enggan pulang. Ini juga ditelepon dan dipaksa Mama supaya hadir di nikahan kita, nggak tahu deh. Nyatanya nggak hadir kan."
"Tap, tapi, Mas gak pernah cerita lho."
"Cerita? Masa? Aku udah bilang tiga bersaudara, dan punya kakak laki-laki."
Aku mendesah. Ini salahku. Kenapa tak minta foto keluarga lengkapnya. Salahku juga tak pernah naik ke lantai dua ini. Yah, alasannya klise, takut khilaf. Takut saat belum dihalalkan dan memberikan lebih dulu mahkotaku. Oh, tidak! Aku tak akan pernah melakukan pekerjaan wanita bodoh seperti itu.
"Sudah, ayo kita lanjut." Mas Faiz kembali melingkarkan tangan di perut dan mendaratkan ciuman. Menggiring ke kamar.
Namun, melihat foto Mas Bian membuat syok dan kehilangan mood untuk bercinta. Walau begitu tetap saja aku menurutinya, tak ingin dia curiga kalau aku memikirkan pria lain.
Semoga saja, Mas Bian sudah berubah, dan tak ingat atas ancamannya dulu sebelum kami putus.
Waktu bergulir, suasana terasa panas kami sama-sama kesulitan bernapas. Namun, belum lagi rindu kami memuncak. Suara ketukan pintu keras dan berulang terdengar.
Mas Faiz segera bangkit dengan kesal. Begitu pun aku. Ini sangat mengganggu. Dipakai celana dan kemejanya asal lalu berjalan ke arah pintu.
"Mas, tolong! Bapak tiba-tiba pingsan di bawah!" Mbak Surti mengucap dengan panik. Wanita berusia 30 an tahun itu yang merawat Papa mertua selama ini.
Dahiku mengerut mendengar itu.
Mungkin kelelahan resepsi di hotel tadi, jadi kelelahan. Mbak Sur datang pada kami karena di rumah tak ada orang. Kakak iparku dan suaminya, memutuskan tinggal sementara di rumah mertua, katanya biar pengantin baru bisa asyik-asyikan.
Namun, yang ada malah begini. Malam pertama pun terganggu. Semoga cuma sebentar Papa sakit. Sudah di ubun-ubun ini!
"Kanaya. Sebentar, ya." Mas Faiz akhirnya ke luar mengikuti Mbak Surti.
Ada tatapan tak enak yang diarahkan padaku, saat Mbak Surti menutup pintu. Apa karena aku sedang tak memakai baju, dan polos di bawah selimut?
Lebih dari sepuluh menit, Mas Faiz tak lagi muncul. Akhirnya, aku memutuskan untuk bangun dan memeriksanya.
Kuambil pakaian luar lingerie yang tergeletak di sisi ranjang dan memakainya asal. Lalu berjalan ke luar. Rumah tampak sepi.
"Mas!" panggilku menuruni anak-anak tangga.
Benar-benar sepi. Apa mereka semua pergi? Ke rumah sakit?
Belum lagi sampai di lantai bawah, ponselku di kamar berdering. Aku pun kembali bermaksud mengambilnya. Rupanya dari Mas Faiz.
"Hallo, assalamualaikum," sapaku.
Terdengar suara perempuan yang menjawabnya.
"Waalaikumsalam. Maaf, Bu. Kami sedang menuju rumah sakit."
"Ya?"
Namun, belum lagi ada kejelasan, tiba-tiba sambungan diputus.
"Huft. Kenapa aku merasa Mbak pembantu itu tak ramah padaku?" gumamku agak kesal. Tapi karena Papa mertua sedang sakit. Aku harus bersabar.
Baru saja akan bangkit dari ranjang setelah menerima telepon, terdengar langkah kaki mendekat. Mas Faiz kah itu? Tapi kenapa cepat sekali datangnya? Apa karena rumah sakitnya sangat dekat? Tak mungkin maling, karena di luar sana ada post satpam yang menjaga rumah ini, hingga tak sembarang orang bisa masuk.
"Mas!" panggilku senang. Syukurlah, kalau rumah sakitnya dekat dan Mas Faiz memutuskan untuk pulang.
Langkahnya semakin dekat, hingga terdengar derit pintu kamar kami terbuka. Aku yang sudah berada di depan pintu, melebarkan mata selebar-lebarnya. Yang berdiri di hadapanku bukan Mas Faiz. Namun, Mas Bian, mantan pacar sekaligus kakak iparku.
"Mas Bi ...." Suaraku tercekat karena terkejut.
"Halo, Kanaya." Mas Bian menyeringai. Dia menatapku dari atas sampai bawah. Meski, wajahnya masih tampan seperti dulu. Tapi entah kenapa, ketampanan itu terlihat sangat menakutkan.
Next or No?
Tes ... kalau banyak yang mau kita lanjut.
Jangan lupa follow akun Kang Bucin. Ikuti cerita seru 'Pelangi di Mata Laila.'
Atau NODA DI ROK SERAGAM ANAK GADISKU.
