#CerPen
#Sad Romance
#Misteri Karma
By : Fitria Guzman
“Apakah dia bercerai karenamu?”
Masyita mendongak kearah Zulkifli dengan mata membesar, kaget dengan pertanyaan yang ditelinganya mungkin terdengar lebih mirip seperti tuduhan itu.
“Tidak, ayah, demi Tuhan. Mereka bahkan telah lebih dulu pisah ranjang ketika kami mulai … dekat.” Masyita mencoba membela diri dengan tatapan memelas.
Zulkifli mendengus, tak sepenuhnya percaya meski Masyita menyebut-NYA dalam sumpah. Wahida, sang istri, hanya mengalihkan pandang, tak ingin tampak lemah dihadapan putri kesayangannya itu. Mereka tengah membahas seorang Pria bernama Arifuddin, yang semalam telah berani menghadap demi menyatakan kesungguhannya terhadap masyita; sekaligus menanyakan kemungkinan akan restu dari mereka berdua.
Zulkifli mencoba memahami posisi Arifuddin sebagai pria yang berasal dari suku lain, yang mungkin belum memahami tata cara melamar dalam adat mereka. Hanya saja, ia begitu terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Masyita pun memilih bungkam, meski ia tahu pria itu akan datang. Sungguh sebuah malam penuh kejutan tak terbayangkan.
Dan yang paling inti, Bukan hanya karena perbedaan usia mereka yang terpaut cukup jauh, tapi juga karena statusnya yang baru saja bercerai. Baru Tiga bulan, bayangkan, dan dalam waktu sedekat itu memutuskan untuk kembali berumah tangga. dengan Masyita. Putrinya.
“Pisah ranjang belum berarti akan bercerai. Mungkin mereka tengah memerlukan waktu untuk berpikir, itu sebabnya dia tak langsung menceraikan istrinya. Kedekatan kalian sedikit banyaknya mempengaruhi apa yang menjadi keputusannya, tidakkah kau berpikir seperti itu?”
Masyita hanya mampu tertunduk, dengan bulir bening yang mulai mengumpul di sudut matanya. Masyita memang anak yang baik. Dia bukanlah type pembangkang yang gemar mendebat ataupun menjawab segala perkataan orangtua meski mungkin itu bertentangan dengan hatinya. Keduanya memang berhasil mendidik anak-anak hingga menjadikan mereka manusia dengan etika dan kesantunan yang tinggi, terutama kepada orang tuanya.
“Lupakan saja dia, anakku. Ayah yakin, Tuhan akan memberikanmu jodoh yang jauh lebih baik. Yang sepadan dengan kita.”
Zulkifli menyatakan keputusannya, berharap Masyita akan patuh tanpa banyak drama. Terlihat tatapan kekecewaan dari sinar mata Masyita yang menatapnya tanpa ragu.
“Sita mencintai dia, Ayah. Tolong restui kami.” Ucapnya, mantap.
“Apa yang kau lihat dari dia? usia kalian terpaut begitu jauh, Sita, Tujuhbelas tahun. Dan statusnya? Belum pernah ada sejarah dalam keluarga kita, gadis dan jejaka yang menikahi duda ataupun janda. Perbedaan di antara kalian begitu besar untuk dapat ditolelir. Menurutlah pada kami, nak.”
Zulkifli berusaha menanggapi dengan sabar, tak ingin menggunakan emosi yang bisa saja ditunjukkan. Masyita adalah bungsu sekaligus satu-satunya anak perempuannya. Ibunya begitu menyayanginya hingga tak mampu terang-terangan menolak keinginan Masyita yang nyatanya begitu berat untuk diluluskan.
“Apakah karena mas Arif tak sesuku dan bukan dari kalangan bangsawan seperti kita?”
“Bagi keluarga kita, tentu itu syarat utama. Tapi perbedaan diantara kalian bukan hanya tentang itu. Percayalah, tak ada satu orangtua pun yang rela begitu saja menikahkan anaknya dengan pria berkualifikasi seperti itu. Masih banyak lajang lain yang lebih segalanya dari dia. Apa perlu ayah carikan?”
“Maaf, Ayah. Sita tak ingin jodoh lain. Selama ini, Sita selalu menuruti apapun perintah kalian, tapi untuk yang satu ini, Sita mohon, restui kami. Sita hanya ingin mas Arif, Karena sita begitu mencintainya.”
Kalimat itu begitu tegas terucap, Seolah bukan Masyita yang mereka kenal selama ini. Apakah cinta memang sedahsyat itu? Kepala Zulkifli mendadak begitu pening, Lagi, ia harus mengalami ini. Entah ada apa dengan anak-anaknya sebenarnya, satu persatu dari mereka seakan kompak mendapat masalah yang serupa.Membuatnya Bertanya-tanya, mungkinkah ini adalah karma?
******Threea*****
Mobil yang dikendarai Rahman, Supir Zulkifli berhenti tepat di sebuah tempat yang diperintahkan. Pemakaman umum. Telah dua minggu ini rumah seolah kehilangan cahaya seiring sikap Masyita yang menutup diri. Kerasnya penolakan mereka berbalas diam yang begitu menyiksa. Masyita seolah kehilangan gairah hidup. Jarang menyentuh makanan hingga membuat ibunya kerap menangis mengkhawatirkannya.
Zulkifli hanya orang tua biasa. Sekeras apapun prinsipnya, nyatanya ia lebih menyayangi mereka. Mereka adalah orang pertama yang menginginkan kebahagiaan sang anak melebihi siapapun. Haruskah menurunkan ego yang bukan hanya menjadi egonya? Ini tentang pendapat dan penilaian kelurga besar yang tak dapat ia abaikan begitu saja. Andai orangtua, terutama ibunya masih ada, Ia pasti akan jadi orang yang paling keras menentang hal ini. Tanpa kompromi. Namun demikian, hati Zulkifli cenderung menyerah meski bibir itu tak pasti berucap.
Ia bersimpuh didepan sebuah makam lama yang tampak tak terawat. Hatinya mendadak diliputi nyeri menyadari betapa kesepiannya orang yang berada dibawah tanah ini. Tak memiliki seorangpun lagi yang masih mengingat dan mengunjunginya secara rutin. Ibunya telah lama meninggal tak lama sejak kepergiannya. Kepergian karena menanggung duka tak terperi akibat pengkhianatan dan janji omong kosong Zulkifli.
Zulaikha Malik.
Tangannya mengusap nisan yang mulai kabur itu dengan tangan bergetar.
Flashback
Zulkifli menatap sosok itu dengan sepenuh rindu. Lima tahun tak berjumpa, nyatanya tak mampu memudarkan pesona alami yang memang telah mengikat erat hatinya. Zulaikha masih sama seperti dulu. Cantik dengan senyum yang menghanyutkan. Gadis yang ia minta kesetiaannya untuk menunggu itu masih memegang janjinya.
Tamat kuliah, Ayah dan Ibu Zulkifli menghendakinya untuk ikut bersama Paman Abdi ke Kalimantan. Pamannya itu adalah seorang kontraktor dan pengusaha yang sukses disana. Orang tua menginginkan ia menimba ilmu darinya sebelum dipercaya terjun mengurusi bisnis keluarga. Sebagai anak yang cukup berbakti, Zulkifli menyanggupinya. Tak pernah sekalipun ia berniat mengecewakan mereka yang teramat berarti.
Meski ia tahu, Apa motif tersembunyi dari niat mereka itu. Ia bermaksud dijauhkan dari Zulaikha dengan harapan cinta mereka akan memudar seiring waktu dan jarak yang memisahkan. Nyatanya, cinta mereka malah makin dalam dan saling terikat erat satu sama lain. Sama-sama cinta monyet pertama yang kian matang diusia dewasa. kisah cintanya dan Zulaikha memang berat dan teramat sulit.
Zulkifli hafal persis ketentuan orantuanya tentang jodoh yang merupakan harga mati di keluarga besar mereka. Orang tua menginginkan yang sederajat, dari segi apapun. Dan itu tak mereka dapatkan dari Zulaikha. Sekuno itulah. Bibit, bebet dan bobot benar-benar harus sekufu menurut versi mereka.
Orangtua Zulkifli tahu bahwa sejak lama ia berhubungan dengan gadis yang menurut mereka kalangan biasa itu. Mereka memang tak menolak secara frontal, tapi tak pernah pula menganggap berarti. mereka tetap memegang teguh prinsip yang Zulkifli yakin akan sulit dipatahkan. Itulah sebabnya ia selalu menuruti keinginan mereka dengan harapan hati mereka akan dapat sedikit luluh dengan permintaannya tentang Zulaikha kelak.
Tapi nyatanya, mereka tetap bergeming. Setelah kepulangan Zulkifli dari Kalimantan beberapa hari lalu, pernah secara serius ia utarakan niat untuk memperistri Zulaikha. Hasilnya? Mereka masih tetap keras menolak. Membuatnya untuk pertama kali mengerti apa arti patah hati dan frustasi.
“Mereka masih belum bisa menerima aku, ya, Kak?”. Gadis sebaya yang telah menjadi kekasihnya sejak jaman SMP itu berucap lesu akan kabar yang dibawa Zulkifli sesaat setelah mereka melepas rindu. Selama dan seawet itu mereka menjalin kasih, hingga teman-teman banyak yang menjuluki mereka Romeo dan Julietnya tanah mandar. Bagaimana tidak, Zulkifli tetap setia meski di SMA ataupun kampus tak pernah luput dari godaan gadis yang bahkan lebih cantik dibanding Zulaikha. Tak seperti dirinya, Zulaikha hanya selesai sampai SMP. Itupun terbilang prestasi besar bagi perempuan dijaman mereka.
Zulkifli menggenggam erat jemari gadisnya, berharap dapat menyalurkan semangat dan kekuatan yang ia sendiri tak terlalu yakin memilikinya.
“Sabar, ya, Zul, kita sama-sama berjuang. Aku akan lebih keras lagi berusaha untuk meyakinkan mereka. Aku janji hanya kamulah yang akan menjadi istriku. Kamu akan tetap menunggu aku, kan? Tetap setia, kan?”
Entah kesetiaan macam apalagi yang ia minta. Zulaikha bisa saja menerima lamaran siapapun yang selama ini banyak datang padanya. Namun demi dirinya, ia tetap bertahan untuk setia.
Nyatanya … Zulkifli sendiri yang tak mampu lagi memegang janji. Tak terhingga rasa jijik pada dirinya harus memberi rasa sakit pada hati gadis yang mempercayainya untuk memperjuangkan cinta mereka. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Kerasnya usaha tak jua mampu melunakkan hati orangtua hingga ia dihadapkan pada pilihan yang membuatnya dilema dari segala sisi.
“Kalau kau begitu ingin berjodoh dengan keluarga mereka, pilih adiknya. Kami akan lamar saat ini juga, itupun saja kami telah menurunkan kriteria. Tapi tak apa, yang terpenting darah keturunan kita masih tetap terjaga. Tapi bila kau masih bersikeras, anggap saja kami bukan orangtuamu lagi.”
Ibunya mengucapkan kalimat itu dengan nada datar namun serasa Guntur di telinga Zulkifli. Ia tahu kenapa ibu berkata seperti itu. Zulaikha memang berasal dari ‘darah’ biasa. Ibunya menikah lagi dengan seorang pria bangsawan saat ia berusia lima tahun. Dari pernikahan itu, Zulaikha memiliki adik perempuan. Keterlaluan ibu, bagaimana mungkin ia diminta melakukan hal sepicik itu. Zulkifli tak perlu istri bangsawan. Cukup baginya istri yang ia cinta dan mencintainya. Dan lagi, bagaimana mungkin Zulkifli sanggup menghianati Zulaikha dengan orang paling terdekat baginya? Adiknya sendiri? Menikahi orang lain masih jauh lebih baik ketimbang harus menyakitinya dengan cara yang teramat kejam.
Akhirnya inilah yang ia pilih. Tanpa kata perpisahan, tanpa isyarat apapun pada Zulaikha, Zulkifli memutuskan menyerah berjuang. Pecundang itu masih lebih memilih bhakti pada orang tuanya, ketimbang menunaikan janji pada orang yang ia minta setia. Undangan pernikahan dengan gadis yang berusia jauh lebih muda, ia kirim pada Zulaikha dengan hati berdarah-darah.
Setahun berlalu sejak saat itu, ketika suatu hari ibu Zulaikha sengaja menemuinya di salah satu pabrik penggilingan padi yang ia kelola.
“Tampaknya kau hidup dengan begitu baik. Sementara anakku, ia seolah telah mati. Selamat untukmu.”
“Zulaikha … apa yang terjadi dengannya, Bu?” Kecemasan tentang orang terkasih membuatnya tak mempedulikan kalimat sinis ibu mantannyaitu.
“Menurutmu? Kau dan keluargamu pasti bangga mendengar kabar ini. Atau mungkin, derajat kalian akan bertambah tinggi karena telah mampu membuatnya hancur karena keangkuhan kalian? Zulaikha sekarat. Anakku terlalu bodoh karena masih mengharapkanmu dan menganggapmu seberharga itu. Kejam, kau Zulkifli. Kau berikan janji padanya yang kau sendiri tak mampu untuk menepatinya. Kau buang anakku begitu saja macam sampah tak berharga.”
“Jangan seperti itu, ibu. Zulaikha bukan sampah. Tak pernah sedikitpun hati ini menganggapnya demikian. Saya….” Haruskah ia jelaskan bahwa sang ibu lebih memilih putrinya yang lain, adik Zulaikha sendiri? Karena darah bangsawan yang menurun dari ayah sambung zulaikha? Tidak. Zulkifli memilih bungkam ketimbang harus lebih menyakiti lagi.
“Apakah Zulaikha … Masih bersih?” Alih-alih mendengarkan, beliau malah mengatakan hal lain yang tak pernah disangkanya sama sekali.
“Ibu …? Tentu saja. Aku selalu menjaga hal itu ketika bersamanya. Dan lagi, bagaimana mungkin ibu meragukan anak sendiri?”
Meski telah lama menjalin kasih, namun mereka berdua masih muda-mudi lugu yang menjunjung norma setinggi-tingginya. Tak pernah ada istilah kencan atau kunjungan special dimalam minggu. Pertemuan pun hanya terjadi di sekolah dan beberapa kali ditempat ramai semacam pasar malam atau acara panen raya. Komunikasi saja masih sering via surat yang terselip dalam buku yang sengaja ia atau Zulaikha pinjam, atau yang mereka titip lewat teman yang bisa dipercaya. karena pada jaman mereka dulu teknologi komunikasi macam telpon apalagi HP tak selazim sekarang.
“Baiklah. kupegang kata-katamu. Setidaknya aku bersyukur anakku masih seperti dulu, sehingga tak perlu ada yang mengganjal tentang hal itu. Dan tak perlu kau menceramahiku seperti itu. Kelak, kau akan paham ketika menjadi orang tua.”
Wanita paruh baya itu beranjak pergi tanpa pamit. Namun tak sampai dua meter, ia menghentikan langkahnya.
“Tentu adalah kebahagiaan yang sempurna bagimu beristrikan gadis bangsawan yang begitu cantik dan jauh lebih muda. Tak seperti anakku, gadis biasa yang menua karena sia-sia menunggumu. Ingatlah ini, Zulkifli, semoga kelak kau pun mengalami hal serupa, hingga kau mengerti, bagaimana perasaanku saat ini.”
Flashback off
PoV Zulkifli
Kuambil segenggam bunga yang tadi kubeli sebelum memasuki pemakaman. Air mata luruh begitu saja seiring kenangan tentangmu yang kian menyeruak. Apakah ini karmaku, Zulaikha? Meski hal yang telah terjadi itu bukan inginku, tapi akupun tak ingin pula menyesalinya. Wahida, istriku, perlahan mampu meluruhkan kebekuan hati yang bertahun lamanya hanya berisi tentangmu. Bukan karena ia jauh lebih muda seperti kata ibumu, bukan pula karena kecantikannya yang mungkin saja lebih darimu. Ibumu salah, aku tak sebahagia itu ketika dulu memilikinya. Akupun tersiksa menghadapi kenyataan antara masa lalu dan wanita yang telah kuhalalkan atas nama Tuhan. Izinkan aku untuk mencintainya, sama seperti cinta ini padamu.
Dan tentang ucapan ibumu, Inikah maksudnya?
Anak-anakku pun memiliki kisah yang hampir sama dengan kisah kita. Bedanya, mereka menduakan pasangan sahnya, sedang aku terpaksa meninggalkanmu demi gadis yang akan menjadi pasanganku.
Anak pertamaku, Shirajudin memiliki wanita lain yang lebih dia cintai ketimbang istrinya sendiri. Menantuku itupun lelah membawa rasa sakit karena pengkhianatan suaminya hingga maut menjemputnya. Gadis itu masih begitu muda, bahkan tak berbeda jauh dengan usia Fenita, anaknya sendiri. Tapi Shiraj berkilah dia adalah cintanya. Cinta sejati yang tak pernah sanggup ia berikan pada istri yang kami pilihkan untuknya. Meski akhirnya, Shiraj memilih menghukum dirinya untuk terus sendiri meski telah lama sejak kepergian istrinya.
Anak keduaku, Tak jauh beda. Ghazali adalah anak paling patuh diantara semua saudaranya. Tak pernah ada hal mengecewakan yang pernah diperbuatnya. Dia akan menerima apapun yang menjadi keinginan kami tanpa ada debat sedikitpun. Termasuk jodoh yang kami pilihkan untuknya. Siapa sangka bila dalam hatinya menyimpan perasaan cinta yang begitu mendalam pada anak sepupunya sendiri. Kemenakannya. Gadis yang juga berusia masih sangat belia. Hal yang dikemudian hari membuat goncang rumah tangganya karena akhirnya ia memilih untuk memperjuangkan cinta lain diatas cinta istrinya. Inilah pembangkangan pertamanya pada kami setelah sekian lama menjadi anak dan pria yang baik, demi memenangkan perasaan yang tak pernah terlalu kami pedulikan sebelumnya.
Mungkin yang tak terlalu memberi kami masalah hanyalah Zainal. Anak ketigaku itu tetap bertahan dengan istrinya dan telah memberiku dua orang cucu yang begitu tampan dan cantik. Atau apakah karena Zainal meninggal di usia muda? Ya, ia telah mendahului kami tepat di tiga puluh tahun usianya. Mungkin karena itulah ia tak ‘sempat’ mengikuti ‘jejak’ kakaknya. Ah, aku terlalu su’udzhon. Tapi sumpah yang terkandung dalam ucapan ibumu kerap menghantuiku, dam membuatku mengaitkan kejadian apapun dengannya.
Masyita? Entahlah. Mungkin aku harus mengalah padanya, kan Zul? Tak ada yang lebih berharga didunia ini kecuali anak, kan? Biarlah, aku akan menurunkan ego dengan memenangkan cinta mereka. Biarkan kali ini cinta yang menang. Bukan adat, bukan keangkuhan dan bukan pula pendapat orang tentang keluarga kami. Biarlah kisah kita menjadi pelajaran berharga untukku hingga tidak lagi mengulang kisah serupa.
Sungguh mereka adalah anak-anak yang baik. Meski berasal dari keluarga berada tak lantas membuat mereka tinggi hati dan bertingkah semaunya. Mereka amat menghormati wanita, sama seperti menghormati ibu sendiri. Pacar pun tak pernah punya, karena kami melarangnya agar fokus pada pendidikan. Tentu akan kami pilih jodoh terbaik untuk mereka. Dan Alhamdulillah mereka terima dengan sepenuh hati. Siapa sangka bahwa mereka malah merasakan dan menyimpan cinta pada orang yang bukan pasangannya sendiri. Penerimaan mereka hanya sebatas bhakti tanpa melibatkan rasa. Kesalahan mereka hanya satu, memiliki cinta mendalam pada seorang gadis yang jauh lebih muda dalam situasi yang telah terlarang.
Andai kau berkenan, Zulaikha, Bolehkah aku meminta satu hal padamu? Bukan, bukan karena aku ingin terbebas dari karma ini bila memang demikian. Biarlah ini kujalani sebagai penebusan dosa atas segala rasa sakitmu karenaku. Aku hanya ingin datang dengan patut dan mengatakan ini secara langsung padamu, hal yang tak pernah sanggup untuk kulakukan dulu saat kau masih ada dan bahkan hingga kudengar kabar kau telah tiada tak lama sejak kedatangan ibumu menemuiku.
“Maafkan aku, Zul. Maaf lahir dan bathin atas semua salah dan khilafku padamu. Ikhlaskan janji yang tak pernah sanggup aku tepati. Ringankanlah bebanku dengan maafmu. Semoga kau tenang disana, dan semoga Tuhan memberi segala yang terbaik untukmu. Sekali lagi, … maafkan aku.”
Bunga itu telah tertabur sempurna diatas makammu. Sejenak kupanjatkan Doa. Beriring tangis yang hanya kau yang mampu menyebabkannya. Hingga Suara dering HP memaksaku untuk kembali tersadar.
“Ayah dimana? Cepat pulang, yah. Masyita … Masyita….”
SELESAI