By. Meri Maria
Rencananya akhir pekan ini aku ingin bangun lebih siang. Bekerja sepanjang hari selama seminggu membuat tubuh dan jiwaku terasa letih, namun apa daya, suasana rumah sama sekali tidak mendukung.
Memiliki empat orang buah hati yang masih kecil-kecil membuat keadaan rumah jauh dari kata tenang. Ada yang berteriak, ada juga yang menangis berebut mainan, belum lagi jika sudah di padu suara cempreng Elma, istriku. Suara gaduh ini lebih mirip pasar ketimbang rumah.
Empat tahun lalu istriku melahirkan dua jagoan kembar yang di susul sepasang anak kembar lagi dua tahun berikutnya, otomatis dua kali melahirkan kami langsung punya empat buah hati, jauh dari rencana ku yang hanya ingin punya satu anak saja.
Belum lagi bentuk tubuh istriku yang sudah tak lagi terurus, wajah kucel dengan daster lusuh berbau keringat menjadi pemandangan biasa setiap hari.
"Elma! Mana kopinya?" Teriakku dari kursi santai di teras rumah.
"Sebentar mas, aku lagi bikinin bubur untuk si adek," jawabnya nyaring. Aku hanya menghela nafas panjang. Entah kenapa, aku selalu saja menjadi prioritas kedua bagi Elma, padahal kan bisa nyeduh kopi sebentar, lalu lanjut bikin makanan untuk bayi nya.
Sambil menunggu kopi dan sarapan datang, kubuka kembali aplikasi Facebook milikku. Mencari-cari nama Mina di kolom pencarian. Mina merupakan pacar online yang sudah kukenal dua bulan lalu. Setelah bertemu dan bertatap muka, akhirnya kami sepakat untuk jadian. Tentunya tanpa setahu Elma.
Mina.
Gadis itu benar-benar cantik luar biasa, kulit nya bersih, putih mulus. Aroma tubuh nya harum wangi, serta rambut panjang indah terawat. Jauh jika dibandingkan dengan Elma, istriku. Seperti langit dan bumi.
***
Hari-hari berlalu dengan cepat, kini aku makin tak betah berada di rumah. Mainan anak-anak berhamburan, serta cucian piring setinggi gunung selalu kudapati setelah lelah seharian bekerja.
Sementara Elma selalu saja sibuk dengan bayi-bayinya. Di tambah lagi sekarang dia sering mengabaikan hak batinku, setiap kali di ajak alasannya selalu saja sedang kecapean atau lagi repot. Yang membuat-ku ingin mengakhiri pernikahan yang sangat menyiksaku ini.
Hingga suatu hari.
"Elma, mas mau ngomong sesuatu sama kamu," ucapku saat Elma sedang menyusui salah satu bayinya.
"Iya, mas. Tapi ngomong nya pelan-pelan takut si abang terbangun," jawabnya sambil memelankan volume suaranya.
"Kita bercerai saja, ya? Aku sudah tak sanggup hidup seperti ini," ujarku pelan. Elma tak menjawab, hanya kilatan bening di kedua matanya yang kemudian jatuh bergulir di pipi. Ada rasa kasihan untuknya, tapi kutepis demi hidupku yang lebih baik.
"Kenapa?"
"Mas ingin lepas dari semua ini, bukankah dulu kita pernah sepakat, jika suatu saat ada yang tak bahagia diantara kita, bisa pergi dan mencari kebahagiaan sendiri?"
"Tapi, itu janji kita saat masih pacaran, mas. Bagaimana bisa kamu meninggalkan aku dan keempat anak kita yang masih kecil-kecil?" Kali ini aku benar-benar bingung, jujur melihat Elma menangis begini tak tega rasanya aku meninggalkan mereka, tapi ini demi hidupku. Aku harus tega!
Jika sekarang aku mengalah, itu sama saja aku menggadaikan seluruh hidupku untuk penyiksaan ini. Demi kebebasan dan kebahagiaanku, rasa kasihan harus kukubur dalam-dalam.
***
Akhirnya semua berjalan dengan semestinya, setelah tiga kali sidang, aku dan Elma resmi bukan lagi sepasang suami istri. Sebagai rasa tanggung jawab dan permintaan maafku padanya, sebagian besar harta kuberikan pada Elma dan anak-anak.
Sekarang aku bebas dari jeratan pernikahan, berganti dengan hidup bebas bak burung yang terlepas dari sangkar.
Singkat cerita, Mina dan aku berencana melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius, yaitu menikahinya secara resmi. Sebagai lelaki dewasa muda, tentu aku tak sanggup menahan kesendirian ini berlarut-larut. Untungnya Mina-pun bersedia untuk kunikahi.
Sebulan kemudian, gadis cantik berkulit langsat itu resmi menjadi istriku. Rasa bahagia sekaligus bangga berpadu dalam hati. Mempunyai istri cantik terawat tentu impian setiap pria di muka bumi ini, termasuk aku.
"Sayang, apa benar tidak apa-apa, kalau aku tak bisa memberimu keturunan nantinya?" Tanya Mina saat malam pertama kami. Aku hanya mengangguk, mungkin ada alasan lain mengapa Mina tak bisa memiliki anak. Tapi, buatku itu tak jadi masalah, toh, selama ini aku sudah kenyang dengan tingkah bocah yang kerap membuat pusing.
Saatnya menikmati hidup!
Malam pengantin kami lewati hanya dengan obrolan ringan, diselingi tingkah manja Mina.
Tapi gadis itu tak mau kuajak bermesraan.
"Aku belum siap, mas," bisiknya manja. Aku memahami, ini merupakan hal baru untuk Mina. Aku harus sedikit bersabar untuk itu.
Malam berikutnya pun sama, Mina selalu menolak keinginanku untuk menyentuhnya. Berbagai alasan dia utarakan untuk menolak permintaanku.
Sebulan berlalu.
Kali ini aku benar-benar tak sanggup lagi menahan diri, apalagi melihat Mina selalu tidur dengan pakaian minim, jiwa lelaki ini merasa tertantang. Mungkin Mina menyukai sedikit paksaan untuk itu.
Sepulang dari kantor, aku mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai obat kuat hingga kejutan yang tak akan dilupakan Mina seumur hidupnya.
Detik berlalu, rencana untuk melalui malam pertama yang mengesankan segera dimulai. Layaknya seekor singa kelaparan, kusergap tubuh indah Mina tanpa ampun. Benar saja, perlawanan Mina tak kalah sengit. Tapi, aku memenangkan pertarungan ini.
Sleep! Astaga!
Jantungku nyaris melompat keluar dari cangkangnya, melihat pemandangan menjijikkan di depan mataku. Mina buru-buru menutup bagian itu, sementara aku mundur perlahan. Syok.
"Banci? Kau seorang banci? Bagaimana bisa aku tertipu?" Teriakku. "Kurang ajar, keluar dari rumahku, manusia jadi-jadian!"
"Dasar bodoh! Kamu lupa, huh? Rumah ini sudah dibeli atas namaku?" Suara Mina mendadak nge-bas, ciri khas suara lelaki. Tanpa kuduga dia bangkit dan menghampiriku, telat untuk kabur, kedua tangan Mina menyeret lenganku ke tepi ranjang, kali ini aku benar-benar menggigil ketakutan.
Secepat kilat dia menarik seutas syal yang tergantung di kepala tempat tidur, lalu mengikat kedua tanganku. Tak butuh waktu lama, laki-laki berwujud perempuan itu sudah berhasil melumpuhkanku.
Kedua tangan terlilit erat, kaki di lakban serta mulutku juga tertutup rapat oleh plester. Mina meraih ponselnya di atas meja rias, jari-jarinya menari di layar ponsel yang baru seminggu lalu kubelikan.
"Halo..."
"..."
"Sudah siap, cin? Eike sudah beraksi nih, sekarang ajak teman-teman ke sini. Sekalian bawa mobil untuk angkut barang, ok?"
"..."
"Baaaaay!"
Teman-teman? Siapa yang dimaksud? Makhluk sejenis diakah? Nyali ini benar-benar ciut ke ujung kaki, entah apa yang akan mereka lakukan padaku. Oh, Elma! Apa ini karma untukku?
Tak berselang lama, terdengar suara sebuah mobil berhenti di depan rumah, dibarengi suara riuh tawa. Segerombolan laki-laki berpakaian aneh masuk ke kamarku.
Oh, Tuhan. Tolong lindungi aku.
Mereka menggotong semua barang, sementara Mina hanya sibuk bermain ponsel. Hingga tak satupun barang yang tersisa di ruangan ini, kecuali ranjang tempat Mina mengikatku.
"Gimana? Udah semua?" Teriak Mina.
"Yuu huuu..." Sahut mereka berbarengan. Mina berjalan memutar di bibir ranjang. Tadinya kupikir dia akan melepaskan ikatanku, atau akan menyeret ku juga ke dalam mobil. Tapi, dugaan ku salah, ternyata manusia aneh itu hanya mengambil cincin kawin di jari manisku.
"Lumayan buat beli pembalut, hik...hik..."
Apa? Pembalut katanya?
"Miiin, Parmin! Ada Pak Satpam!" Teriak salah satu dari halaman depan. Mina berlari kecil menuju pintu. Rupanya nama asli Mina itu, Parmin. Pandir sekali aku.
"Mba Mina mau pindah? Kok malam-malam?" Aku bisa mendengar jelas suara satpam pada Mina. Dalam hati aku berdoa, semoga satpam itu curiga dan mengetahui keberadaan ku.
"Iya nih pak, suami saya sedang ke luar kota untuk waktu yang lama. Makanya, untuk sementara saya tinggal di rumah orang tua dulu. Oh, iya titip rumah ya pak?" Jelas Mina.
Kudengar satpam itu tidak curiga apa-apa, wajar karena setahunya Mina memang pemilik rumah ini.
"Oh gitu? Ya udah hati-hati mbak, sekalian seklar listriknya dimatiin aja, takut korslet." Satpam sialan, bisa-bisanya punya ide gila.
Benar saja, Mina menutup semua gorden dan jendela. Melangkah gontai menuju pintu keluar. Lalu.
Klik!
Gelap gulita, sesaat sebelumnya aku bisa mendengar Mina mengunci semua pintu. Sekarang aku benar-benar sendirian, gelap, pengap.
Untuk pertama kalinya aku merindukan suara Elma dan anak-anak. Sedang apa mereka sekarang? Apa kata mereka kelak jika tahu aku menikahi seorang banci, lalu kerampokan? Mungkin lebih baik aku mati saja sekalian, daripada menanggung malu seumur hidup.
Bagaimana seorang Herman Pramudya bisa meninggalkan anak istri hanya demi seorang banci?
TAMAT.
