Aku merasa ada hal ganjil yang terjadi pada daun telingaku. Aku pastikan di depan cermin besar lemari pakaian dalam kamar. Aku raba, mengecil, yah, mengecil.
Menggunakan ruas jari telunjuk, aku mengukurnya, tinggal dua ruas. Aku lengkung jempol dan telunjuk, batas bawah dan atas daun telinga, kemudian memperbandingkan dengan daun telinga istriku yang masih tertidur pulas, tinggi daun telingaku selisih kurang. Ada apa ini?
Berpindah. Menarik kursi dari dalam meja hias tempat istriku bersolek, duduk, menatap lekat-lekat, aku gelengkan kepala ke kanan dan ke kiri, memastikan kondisinya yang sulit aku pahami.
Aku perhatikan dengan seksama, tampak ulir daun telinga yang mengarah ke dalam seolah perlahan tersedot ke dalam, hingga bagian atas daun telinga semakin memendek, dan nyaris papas.
"Yah, ada apa?" Suara istriku terdengar sayup. Aku menoleh saat tangannya pinggulku.
Aku jawab dengan senyum.
"Bunda tanya berkali-kali, tak dijawab, sampai Bunda naikkan volume suara," gerutunya dengan suara datar.
Beberapa kali? Benarkah? Mungkin karena aku terlalu fokus saat bercermin, hingga sapaan atau pertanyaan yang dilontarkan istriku tak terdengar.
Sepertinya selama ini istriku tak memperhatikanku atau bahkan tak memperdulikanku, apalagi hal yang remeh, tentang daun telinga. Rasanya kami memang begitu.
Harus aku akui selama ini kami seringkali bertemu saat salah satu dari kami telah lelap, dan berpisah kala masih pulas. Aku menjaring aspirasi masyarakat, istriku berjejaring dengan sekelasnya.
Aku beranjak dari kamar menuju bagian belakang rumah. Secangkir teh manis dengan asap mengepul sudah disiapkan asisten rumah tangga kami di atas meja kaca yang berkaki kayu warna putih. Bayangan atap membentuk garis diagonal landai. Daun-daun pohon rambat tampak berkilau dengan sisa embun yang masih melekat. Koi terus meliuk-liuk mengitari kolam. Air terjun buatan mencipta alunan pelan saat menyentuh air kolam yang menggenang.
"Yah, bunda pergi dulu. Bunda ada rapat persiapan reuni!" Istriku ijin pamit dari jauh. Aku malas menimpali.
Hari ini, hari pertama absensi setelah masa reses tengah tahun berakhir, harusnya aku berkantor, tapi telinga ini... Ah!
Mendengar dan menampung aspirasi masyarakat tentu akan efektif jika dimulai dengan memasang telinga dengan benar. Lalu, bagaimana bisa mendengar dengan baik jika daun telinga saja tak punya.
Turun menemui masyarakat, mengajak berbincang tentang beragam persoalan yang mereka hadapi, atau lebih jauh, agar mereka dapat hidup layak.
"Pak Dewan, kami ini bekerja di perusahaan pemintalan benang, telah mengabdi selama lebih dari lima tahun, tapi status kami tetap saja sebagai buruh kontrak." Keluh wakil pekerja di suatu sesi, "dari status itu, banyak hak pekerja yang tak didapat, terutama hak memperoleh pendapatan yang layak dan ijin sakit," sambungnya. Aku pura-pura mendengar dengan seksama.
Di tempat berbeda, perwakilan nelayan mengungkapkan kegelisan mereka tentang penambangan pasir laut. Petani memohon agar air irigasi kembali mengalir dengan lancar. Aktivis lingkungan, mengeluhkan pengelolaan sampah, "bagaimana akan menjadikan rakyat sehat, jika sampah berserakan dimana-mana, tak dikelola dengan baik."
Namun tentu saja sebagai wakil rakyat, seolah mendengar itu penting karena itu tugas utamanya, dan terpenting lagi status sebagai wakil rakyat harus dipertahankan, sebisanya sepanjang hayat.
Meski statusnya wakil, tak terbantahkan jika nasibnya jauh lebih beruntung dari yang diwakili, maka tak aneh, jika banyak amanah itu berubah menjadi sebuah profesi.
Udara menghangat, petanda siang menjelang. Gemericik air terdengar pelan.
Telefon genggam bergetar dan kedap-kedip, nama Andri muncul di layar. Aku angkat.
"Iya, Dri. Ada apa?"
Aku tangkap suara yang pelan, sebatas berbisik.
"Dri, bisa nyaringkan suaranya?" pintaku.
"Ini sudah nyaring, pak, kalau lebih dari ini akan mengganggu yang lain." Aku dapat menangkap suaranya.
"Kalo begitu, chat saja."
"Baik, pak."
Komunikasi berlanjut dalam tulisan.
Aku yakini pendengaran ini berkurang seiring menyusutnya daun telingaku. Bukankah daun telinga sebagai penangkap gelombang suara?
Aku bayangkan kepala ini tanpa daun telinga, akankah tampilanku menjadi bak burung atau malah laksana ular?
Jika tanpa daun telinga, bagaimana penampilanku? Jika tanpa daun telinga, apa aku masih bisa dipercaya mereka? Ah, tidak!
Baiknya, aku ke dokter, berkonsultasi dengannya, baiknya seperti apa.
Daun telinga, tak hanya terkait penampilan, tapi juga kepercayaan dan kehormatan. Aku wakil rakyat, anggota dewan.
Bergegas dengan pakaian seadanya, menggunakan jaket ber-hoodie milik puteraku. Aku lajukan sedan hitamku menuju rumah sakit ternama.
Sepanjang jalan, tak kudengar bunyi klakson atau sirine. Pedagang asongan di perempatan jalan hanya komat-kamit. Aku gelengkan kepala, memastikan hampa suara.
Palang otomatis terbuka setelah aku tekan tombol hijau, mencari lahan parkir, dan segera menuju ruang pendaftaran. Usai didata, duduk dalam antrian. Perawat menyebut namaku, aku beranjak ke ruang dokter spesialis THT.
Sayup suara dokter menyapa dan mempersilakan duduk, "Ada yang bisa dibantu, pak?"
Hoodie aku turunkan, "Telingaku, Dokter."
Dari gerak mulutnya dan sedikit suara yang singgah ke telinga, "Kenapa dengan telinganya?"
"Telingaku mengecil, lebih tepatnya menyusut." Sambil aku hadapkan telingaku ke arah dokter.
Saat aku memalingkan muka, raut wajah sang dokter seolah terpana. Mulutnya dengan wajah menunduk mengeluarkan gumaman yang tak jelas. Aku tak dapat membaca gerak mulutnya.
"Bisa ditingkatkan volume suaranya, dokter?" pintaku.
Dokter cukup paham, volumenya diperkeras, dengan wajah menatap lurus, "Sejak kapan daun telinga bapak menyusut?"
"Entahlah, mungkin setahun terakhir, aku tak begitu memerhatikan. Tapi, baru beberapa hari ini," paparku.
"Apa profesi bapak?"
Ragu untuk mrnjawab sebagai wakil rakyat. "Pengusaha."
"Baik, pak, sejujurnya baru kali ini aku temukan penyakit ini. Sebenarnya kami ragu untuk menyebut ini sebuah penyakit. Biasanya masalah telinga itu bersumber di dalam, baik kerusakan gendang telinga atau menurunnya fungsi pendengaran."
"Lantas?"
"Kami observasi seminggu ke depan. Jika keluhannya adalah kualitas suara, bapak bisa menggunakan alat bantu dengar," jawabnya sambil mencorat-coret sesuatu di kertas resep.
"Baik." Aku beranjak dengan membawa selembar kertas resep. Hoodie ditelungkupkan lagi. Di depan meja bertulis apotik, duduk menunggu.
Ah, betapa terganggunya saat indera tak berfungsi dengan baik. Aku rasa mereka yang kehilangan sesuatu dari sebelumnya dimiliki, jauh lebih menakutkan dan merasa kehilangan dibanding mereka yang tak mereka miliki sedari awal.
Lalu, bagaimana jika daun telinga ini terus menyusut, hingga hanya menyisakan lubang telinga saja, pada apa alat bantu dengar menggantung? Aku tarik napas dalam-dalam.
Sepanjang perjalanan pulang, aku dapati kesunyian meski banyak kendaraan dan orang lalu-lalang. Kadang terasa tentram, tapi ini tak menyenangkan.
Usai menekan tombol klakson, gerbang rumah terbuka, segera masuk dan menghentikan tunggangan. Terburu masuk ke dalam rumah.
Kupegangi kedua daun telingaku, aku coba rasakan gerakannya, apakah terus menyusut. Aku rapal doa-doa sebisanya, berharap daun telinga dapat kembali ke kondisi semula, atau minimal tak lagi menyusut. "Tuhan, tolong aku...."
Tak terasa, waktu tetap bergulir meski dalam perasaan cemas. lampu-lampu dinyalakan. Besok mesti ke kantor.
Sungguh-sungguh tak enak rasa gelisah itu, gelisah atas apa yang akan terjadi, dan bayangan itu seakan kelam. Daun telinga ini akan menyusut, masuk ke dalam, tak lagi mampu menangkap gelombang suara, kemudian yang tertinggal hanya lubang telinga tanpa pelindung, namun bisa jadi lubang telinga ini akan mampat, hingga tak ada lagi suara-suara, semua hening.
Bagaimana tampilanku, berdiri gagah, namun tanpa daun telinga. Oh, Tuhan....
Pagi tiba dengan tergesa menjemput kegelisan. Harus dengan apa menutupi daun telinga yang tinggal separuh.
Topi kupluk, tak pantas. Bersurban, terasa janggal. Menggunakan headset, tak sopan. Rambut palsu menjadi pilihan.
Kemeja dibungkus jas biru, dengan songkok hitam penutup kepala. Rambut palsu menutup sisi kanan kiri kepala.
Diperhatikan dengan seksama agar tampilan sealami mungkin, jangan sampai membuat gerakan yang menjadikan rambut di area telinga tersingkap.
Ah, tetap saja ketakutan itu menumbuhkan polah yang canggung. Turun dari tunggangan, langkah kaki tak semantap yang lalu-lalu. Kecurigaan akan pandangan mereka seolah memerhatikan daun telinga yang menyusut.
Rekan-rekan sesama wakil rakyat, berseliweran, saling bertegur sapa, bersalaman, melempar senyum yang tak biasa.
Aku melangkah sambil menunduk menuju ruang kerja.
"Selamat pagi, pak." Tiba-tiba seseorang menyapa, "maaf, mengganggu waktunya, saya Tedi." Diulurkan tangannya.
"Ya, ada apa?" tanyaku.
"Ada yang ingin saya tawarkan kepada bapak." ujarnya dengan senyum meyakinkan.
Sempat ragu, namun sebagai wakil rakyat, aku harus tampak bersahabat, "Baik, ikut ke ruanganku," ajakku.
Lelaki perlente itu membuntut.
"Silakan duduk." Aku mempersilakan. "Apa yang ingin ditawarkan?" tanyaku tak sabar.
Lelaki berambut hitam mengilap itu tersenyum percaya diri.
"Saya ingin menawarkan daun telinga, pak."
"Apa?!" Aku tak percaya apa yang diucapkan.
"Mari bapak ikut saya." ajaknya.
Melangkah menuju pintu. "Bapak perhatikan mereka." Tunjuknya.
"Mereka rekan-rekanku, ada apa dengan mereka?" tanyaku.
"Panggil salah satu dari mereka." Pintanya.
"Memang kenapa?" tanyaku.
"Panggil saja." Ucapnya setengah berbisik.
Aku panggil salah seorang dari mereka, kuulang beberapa kali, mereka terus berjalan seolah tak memerdulikanku. Aku coba menyebut nama rekan lain, pun tak diperdulikan. Ada apa ini?
Tedi tersenyum percaya diri. "Mereka tak dapat mendengar. Mereka tak lagi memiliki daun telinga." Ujarnya dengan senyuman.
Aku terperangah.
"Yang terpasang di sisi kanan kiri kepala mereka hanya daun telinga palsu, agar penampilan mereka seolah alami, atau sebisanya lebih menarik, meski kualitas pendengaran mereka jauh dari layak." Paparnya meyakinkan.
Aku coba pandangi rekanku satu persatu. Daun telinga itu....
"Bapak tertarik dengan daun telinga palsu ini? Harganya hanya sepersekian dari gaji yang bapak bawa pulang." sambil membuka kotak berisi beberapa pasang daun telinga.
