https://ceritacerpendannovel.blogspot.com/
"Huhuhu ... padahal aku udah baik sama mertuaku Mbak, tapi dia malah jelek-jelekin aku, huhuhu ...."
Pina menangis di depanku, aku begitu kasian dengannya. Dia baru menikah dua bulan yang lalu dengan anak tetanggaku, entahlah aku antara yakin dan tak yakin perkataannya itu.
"Aku itu sedang nabung untuk beli motor Mas Gilang, makanya aku hemat, tapi katanya aku pelit nggak mau kasih uang, tiap masak nasi selalu ditinggalkannya aku sisa yang gosong, huhuhu ...."
"Kamu yakin begitu? Mbak rasa mertua kami baik-baik aja kok, setiap dia belanja kesini selalu memuji kamu, bahkan dia selalu buat lauk yang enak untuk kamu," ujarku karena memang begitu adanya.
Foto oleh Oleg Magni dari Pexels
"Dia bohong itu Mbak, sekarang aja aku dan suamiku diusir dari rumahnya, padahal Mas Gilang itu anaknya sendiri tapi dia tega usir kami, untung aja ada Mbok Surti yang baik, dia mau kontrakan rumahnya untuk kami tinggal," katanya lagi sambil tersedu-sedu.
Apa benar Buk Eva seperti itu? aku rasa dia baik selama ini tak pernah ada sifat buruk. Kalau benar Buk Eva mengusir Gilang dari rumahnya, berarti itu benar-benar keterlaluan!
"Tega ya mertua kamu, luarnya aja tampak baik rupanya jahat," ucapku. Aku begitu kesal dengan Buk Eva.
"Nggak apa-apa Mbak, dia pasti dapat karmanya, dia juga punya anak perempuan, besok anaknya pasti merasakan seperti aku juga, huhuhu."
Kasian kali Pina, padahal dia menantu yang rajin menurutku, setiap pagi aku selalu melihat dia menyapu halaman rumah mertuanya dan ramah dengan semua tetangga.
Sekitar lima belas menit dia bercerita denganku, siang ini kebetulan kedaiku sunyi hanya anak-anak yang membeli jajan, jadi dia leluasa curhat denganku di dalam kedai.
Pina dia seorang janda yang menikah dengan Gilang yang juga duda, mereka dijodohkan oleh Nenek Gilang yang di kampung. Pina sudah punya anak satu orang sedangkan Gilang belum, kata Pina ia tak diperbolehkan mertuanya untuk membawa anaknya.
"Untung aja anakku nggak ikut sama aku Mbak, kalau sempat anakku ikut aku jadi kasihan sama dia, cukup aku yang dikasari sama mertuaku jangan sampai anakku juga, dia juga nggak memperbolehkan aku membawa anakku kalau mau menikah dengan Mas Gilang," ucapnya. Kini dia tak menangis seperti tadi.
"Ini aja aku nggak tau Mbak mau masak pakai apa, di rumah Mbok Surti nggak ada perabotannya karena udah dibawanya ke rumahnya, alat masak kami juga nggak ada, mertuaku nggak boleh aku membawa barang apapun dari rumahnya kalau nggak dia menyumpahi kami."
Perkataan demi perkataan Pina membuat aku tau sekarang bagaimana sifat Buk Eva. Buk Eva pasti mendapatkan karmanya!
Aku kasihan dengannya, buk Eva emang benar-benar jahat. Bagiku Pina istri yang cerdik karena ia bisa menyimpan uang selama dua bulan dan bisa langsung membeli motor walaupun bekas.
"Aku utang beras dua kilo Mbak, sama mie instan dua untuk makan kami nanti malam, nggak apa-apa siang ini puasa dulu," ucapnya.
"Ya ampun, kamu kalau mau utang lebih juga nggak apa-apa kok, dari pada makan mie instan, nggak sehat," kataku.
"Boleh Mbak? aku utang gula seperempat sama teh yang seribuan ya Mbak, sama cabe satu ons," kata Pina menyebutkan barangnya.
Sekarang dia tak menangis seperti tadi, sungguh luar biasa hatinya.
Saat aku menyiapkan barang-barang pesanannya, tiba-tiba ....
"Sari ... beli minyak goreng satu liter!" teriak Buk Eva.
Ya, yang datang adalah Buk Eva mertua Pina.
"Tunggu Mbak!" ketusku.
Sekarang penilaianku terhadap Buk Eva udah berubah, aku fikir dia dulu baik tapi ternyata cuma cover saja.
Aku melihat kearah tempat duduk Pina tadi, terlihat dia tak ada ternyata ia bersembunyi di balik kulkas minuman sedangkan Buk Eva di teras.
Kasian aku dengan Pina, sampai ia takut bertemu dengan mertuanya ini.
"Kamu lihat apa tadi Sar?" tanya Buk Eva.
Mungkin dia heran melihat aku masuk ke dalam kedai padahal minyak goreng posisinya di depan.
"Nggak Buk," jawabku.
"Buk ... Jangan kasar sama menantu," ujarku ke Buk Eva.
Tentu saja aku menyampaikannya, aku sebagai wanita juga merasakan kesedihan Pina walau mertuaku tidak seperti itu.
"Maksud kamu apa Sar?" tanya Buk Eva.
Apa dia tidak mengerti atau hanya pura-pura tidak tau.
"Buk Eva ngusir Pina ya dari rumah? kasian dia Lo kayak tertekan gitu," tanyaku agar rasa penasaran sekaligus bisa tau siapa yang benar ataupun salah.
"Ngomong apa lagi dia! dasar menantu edan, taunya jelek-jelekin mertua aja!"
Buk Eva tiba-tiba marah saat aku menanyakan seperti itu, membuat aku jadi tak enak hati.
"Maaf ya Buk, saya nanya sebab tadi Pina kesini curhat ke saya," ujarku.
Aku sadar ada Pina di dalam, jadi aku melakukan ini untuk membela Pina.
"Jadi dia curhat ke kamu juga? capek aku berdebat dengan dia, lagian dia sendiri yang pengen pindah dari rumahku, bukan aku yang usir.
Anakku si Gilang juga ikut-ikutan sama dia, kayak dikasih pelet gitu. Emang nggak tau diri dia! Tiap hari aku yang masak di rumah, uang dapur aku nggak pernah minta sama dia atau Gilang.
Kamu aja lihat sendiri kan? tiap aku belanja kesini bagaimana, jarang aku kasih Keluargaku mie instan, kamu bisa nilai sendiri Sar. Kamu jangan terpengaruh sama omongan dia Sari, kita udah lama tetanggaan, Ibuk nggak mau kita jadi musuhan karena dia.
Kalau kamu lebih percaya omongannya, lihat aja selanjutnya. Ibu nyesal nikahin dia sama Gilang!"
Buk Eva berbicara panjang lebar, dia terlihat emosi namun menahannya. Kemudian dia membayar dan pulang.
Aku sekarang jadi tak tau siapa yang benar atau salah.
Setelah Buk Eva pergi aku kembali masuk ke dalam, terlihat Pina pun keluar dari persembunyiannya.
"Huhuhu Mbak liat sendiri kan bagaimana dia samaku, sampai nyesal nikahin aku sama mas Gilang, mungkin mas Gilang bercerai dulu karena istrinya dulu diperlakukan sama sepertiku." Pina terlihat menangis lagi.
Aku sedih melihat Pina, aku takut dia depresi karena mertuanya.
"Ini barang-barang kamu, semuanya empat puluh ribu, kamu bayarnya kapan-kapan aja," ucapku. Aku tak tega menagihnya.
"Dan kan kamu bilang nggak punya alat masak dan perabotan? kebetulan adik Mbak di desa sebelah dia kreditin perabotan gitu, kalau kamu mau ambil kasur, kuali dan kawan-kawannya. Kalau kamu mau biar Mbak bilang, biar kamu di kasih kredit, asalkan ada DP baru bisa," jelasku.
"Serius Mbak?" Dia terlihat tak percaya.
"Iya," jawabku.
"Makasih ya Mbak, Mbak baik banget sama aku," ucapnya kemudian Pina memelukku.
Saat dia memelukku, aku merasa seperti ada sesuatu dibalik bajunya. Namun aku tak mau soudzon, aku yakin Pina tak akan mencuri.
"Aku pulang dulu ya Mbak," ucapnya pamit dan mengambil barangnya yang sudah aku masukkan ke plastik.
Kemudian dia pulang ke rumah Mbok Surti yang berjarak tiga rumah di belakang rumahku. Sedangkan rumah mertuanya berjarak empat rumah di samping rumahku tepatnya pas di pangkal gang.
Aku memperhatikan Pina keluar dari kedaiku, ia begitu prihatin dengan pakaian seperti itu.
its, tunggu. Apa tadi yang dia keluarkan dari bajunya?
***
Mohon dukungannya untuk cerbung ini dengan cara like, komen, dan subscribe.
Cerita ini akan mengandung komedi dan kekeluargaan dan juga bersih dari pelakor. Wkwkwk
