"Mak, besok kalau aku dah punya banyak uang, aku ganti baju lusuh emak dengan baju baru, ya! Pasti emak nanti suka. Doain rezekiku makin lancar ya, Mak."
"Emak doain tiap hari, Nak."
"Oya, Mak. Besok kalau aku dah punya banyak uang, aku juga mau ajakin emak jalan-jalan. Biar emak tau tempat yang bagus ya, Mak."
"Aamiin, emak seneng dengarnya, Nak. Makasih, ya."
Hari berganti, bulan berlalu, tahun beranjak. Akhirnya, aku bisa membelikan baju baru untuk emak.
Kebaya warna putih, bawahan sedikit ada motif bunga berwarna hijau dipadukan dengan putih tulang, serta hijab instan dengan warna senada baju. Semua aku beli menggunakan uang gajian bulan ini, ditambah uang lembur.
Tak lupa, dua tiket masuk ke ragunan sudah aku kantongi. Rezeki yang Allah berikan bulan ini lebih dari cukup. Sungguh, sudah tidak sabar aku ingin segera melihat wajah emak yang merona bahagia.
***
Pagi ini, aku berjalan menuju terminal bus tujuan Yogyakarta. Menggendong tas berisi bajuku untuk dipakai selama di kampung, satu jinjing plastik dengan aneka macam kue untuk persiapan lebaran dan satu jinjing lagi baju baru untuk emak.
Bus yang akan membawaku pulang kampung rupanya sudah tiba, aku pun segera masuk dan duduk di barisan ke dua sisi kiri.
Bismillah. Mudik. Ingin rasanya aku segera memeluk tubuh emak, mencurahkan segala rindu. Menumpahkan segala kebahagiaan, setelah sekian lama tidak bisa membelikan baju baru untuk emak.
Perjalanan selama tujuh jam akhirnya sampai. Kebetulan cuti yang aku gunakan, sepuluh hari sebelum lebaran, jadi jalan Pantura belum terlalu padat oleh pemudik.
Aku berjalan begitu cepat, bahkan dada ini seolah begitu menggebu ingin segera jumpa. Jumpa dengan sosok orang tua satu-satunya.
"Emak, Assalamu'alaikum?"
Tak ada jawaban. Pintu rumah terkunci. Kembali jemariku menggedor. Sepi, tak ada suara yang menandakan ada kehidupan di sana. Apa emak sedang berada di luar atau sedang main ke tetangga?
"Maaak ... Icha datang! Baju baru buat emak udah Icha beliin! Buka pintunya, Mak!"
Hening. Bahkan hanya desau angin yang menjawab teriakanku.
Daun-daun kering tiba-tiba tersapu begitu saja oleh embusan angin. Seperti telah lama rumah ditinggal.
"Maaak ...."
Suaraku tiba-tiba melemah, sepertinya tenaga ini hilang begitu saja. Ingin berteriak pun mati rasa. Rasa yang tadinya menggebu seolah pilu melihat gubuk ini seperti kuburan. Sepi.
Bulir bening kini tumpah ruah, firasat tidak baik menyambangi pikiranku. Ada apa dengan emak? Dia di mana?
"Nak, lagi ngapain? Kok tumben main ke gubuk emakmu itu."
Suara dari samping rumah mengagetkanku. Itu tetangganya emak.
"Bule, emak ke mana? Kok sepi?"
Tak menjawab. Dia hanya membantuku untuk duduk di kursi depan rumahnya. Lalu mengambil satu gelas air minum bersama kue khas lebaran.
"Sabar, ya. Emak kan udah lama gak ada? Udah lebih dari sepuluh tahun. Apa Icha lupa?"
Ya, bahkan aku lupa dia telah lama tiada. Dia telah lama meninggalkanku seorang diri. Hingga kadang rinduku seolah menutup segala ingatan tentang kepergiaannya, yang aku ingat hanya ingin memberikan baju baru dan tiket untuknya jalan-jalan.
Namun, aku lagi-lagi harus tersadar dari mimpi, bahwa bukan tiket ke ragunan yang emak butuhkan. Akan tetapi, tiket anak saleha yang mampu membawanya ke surga.