Cerpen tentang ibu hamil, Bayi Posisi Sungsang

Curhat lewat cerpen atau cerita pendek

#cerpen

By. April Membaraa 

"Bu, ini di dalam celanaku ada bercak darah," kata anak perempuanku sambil menunjukkan celana yang sudah dilepasnya.

Kulihat celana dalam yang masih dipegang olehnya.

"Wahhh, Nduk. Ini mau melahirkan. Ayo, kita ke bidan sekarang!"

"Apa, Bu? Aduh ... jadi takut," ujarnya.

"Tidak apa. Ayo, buruan," kataku.

Langsung kumatikan kompor dan menghentikan pekerjaan rumahku. Aku pun bergegas ganti pakaian. 

Lubna adalah anak ketiga. Sudah menikah dan suami bekerja di luar kota. Sebelumnya mereka mengontrak di kota, karena hendak melahirkan, Lubna tinggal sementara bersamaku. Agar dengan mudah, aku bisa merawatnya. Ini adalah kehamilan anak pertama bagi Lubna. Cucuku sekarang akan berjumlah empat. Walaupun aku sudah melahirkan sendiri ... lima anak, tetapi menghadapi anak sendiri yang akan melahirkan, rasanya campur aduk. Ada takut dan bingung. 

Setelah berpamitan kepada suami, aku mengantarnya ke bidan terdekat. Kebetulan rumah bidan desa tidak begitu jauh dari rumah. Tak berapa lama, sampailah kami di tempat bidan.

"Iya, Bu. Ini hendak melahirkan, baru pembukaan satu. Namun, posisi bayinya sungsang jadi kami tidak bisa membantu persalinan secara normal. Lebih baik dirujuk ke rumah sakit saja," kata bu bidan.

"Bisa ditolong tidak, Bu? Bantu persalinan secara normal?" tanyaku.

"Maaf, Bu. Tidak bisa. Sekarang sudah peraturan dari pusat. Kalau posisinya normal kami masih bisa membantu, tetapi kalau sungsang begini, kami tidak berani mengambil resiko. Sebaiknya segera dirujuk ke rumah sakit." Jelas bu bidan.

"Baiklah, Bu." Jawabku.

Aku masih berharap walau kondisi bayi anakku sungsang, tapi masih bisa melahirkan secara normal. Soalnya, ketika aku melahirkan Lubna juga sama, dia posisi sungsang di dalam perutku. Dan dilahirkan dengan normal, dibantu oleh Bu Bidan ini. Aku dan Lubna menuju pusat kesehatan masyarakat yang terletak di seberang tempat bu bidan. 

Hanya menyebrang jalan, kami pun sudah sampai. Langsung menuju ke tempat pendaftaran. Di tempat pendaftaran langsung ditunjukkan ke tempat pendaftaran persalinan.

"Suster, apa benar di sini tidak bisa membantu persalinan secara normal dengan posisi bayi yang sungsang?"

"Benar, Bu. Kami tidak berani, sudah peraturan harus dirujuk ke rumah sakit. Ini akan kami buatkan surat rujukan persalinan ke rumah sakit."

Aku dan Lubna menunggu dengan cemas. Dalam keadaan seperti ini membuatku bingung dan khawatir. Mana suami Lubna baru saja berangkat kemarin pagi karena bekerja setelah libur selama dua minggu di rumah, karena cuti lebaran. 

BACA JUGA :

Hari ini anakku sudah menghubungi suaminya untuk segera pulang kembali. Setelah dikabari sore ini juga suaminya akan pulang, aku tahu dari anakku. Sebenarnya HPL (Hari Perkiraan Lahir) masih dua minggu lagi, tapi kurang dua minggu sudah akan melahirkan. 

"Ini, Bu. Surat rujukannya. Maaf, kebetulan mobil ambulance sedang keluar semua, jadi kami tidak bisa mengantar."

"Iya, tidak apa, Sus. Nanti kami menyewa mobil sendiri saja."

Kami bergegas ke rumah dan segera berkemas menuju rumah sakit rujukan yang telah ditunjuk pihak pusat kesehatan masyarakat. Kebetulan jauh hari, Lubna sudah kuperintah agar menyiapkan keperluan persalinan jauh hari, jadi hari ini tinggal membawanya saja. Suamiku mencari mobil yang bisa disewakan untuk mengantar kami.

Tidak lama mobil pun datang. Aku dan Lubna segera menuju rumah sakit. Suami menunggu di rumah, sambil menunggu anak bungsu kami yang belum pulang kerja. Dalam perjalanan Lubna berbicara bahwa perutnya sudah mulai bereaksi mulas, sepertinya bayi sudah tidak sabar ingin keluar. 

"Aduh, Bu. Sakit ... sakit, Bu."

"Sabar ya, Nduk. Di bawa dzikir, nanti bisa tahan sampai ke rumah sakit. Pak, bisa tolong agak cepat menyetirnya?"

"Iya, Bu."

Aku sudah panik luar biasa menghadapi anakku yang akan melahirkan sambil terus berdoa, kugenggam erat tangannya. Dia sudah tidak karuan, aku bisa merasakan apa yang dia rasakan saat ini. Kekhawatiran dan ketakutan terpampang jelas di raut wajahnya.

"Sabar ya, Nduk. Bentar lagi. Sabar ya, Dede bayi. Kalian berjuang bersama." Sambil mengelus pelan perut putriku, kuberikan semangat kepadanya.

Satu jam perjalanan akhirnya sampailah kami di rumah sakit langsung masuk ruang UGD. Turun dari mobil dengan disambut kursi roda oleh perawat aku mengikuti kemana mereka akan membawa anakku.

Dibawalah Lubna ke dalam sebuah ruangan. Kudengar suaranya, masih menahan rasa sakit. Tidak tega sebenarnya, tapi aku tidak bisa menunggui sampai ke dalam. Lalu aku mendaftar ke bagian pendaftaran setelah dipanggil oleh perawat yang menanyakan data-data Lubna. 

Kurang lebih sepuluh menit kemudian, anakku dibawa ke ruang bersalin karena sudah pembukaan lima. Aku sudah hampir takut kalau sampai di operasi bagaimana? Mendengar kata operasi saja sudah takutnya minta ampun apalagi ... bagaimana kalau sampai benar dioperasi? Aku terus berdoa dan mengikuti di belakang perawat yang mendorongnya, melewati lorong rumah sakit. Setelah masuk ruangan bersalin, aku beranikan diri bertanya kepada dokter yang menanganinya. 

"Dokter, bagaimana? Apakah anak saya bisa melahirkan secara normal?"

"Bisa, Bu. Nanti akan kita bantu persalinan normal."

"Baik, Dok. Terima kasih."

Pintupun ditutup. Dengan gundah gulana, aku menunggu anakku di luar. Suaminya sedang dalam perjalanan pulang. Setelah menunggu kurang lebih seperempat jam, kudengar suara tangis bayi yang nyaring di telinga. 

"Alhamdulillah," ucapku penuh syukur.

Dokter ke luar dari ruangan. Tak lama suster pun menyusul ke luar sambil membawa beberapa peralatan. Dokter yang tadi kutanyai pun keluar juga sambil mengajakku bicara. 

"Cucunya sudah lahir, Bu. Keduanya sehat. Bayinya sedang dibersihkan. Silahkan kalau mau menjenguknya," jelas bu dokter.

"Iya, Dok. Terima kasih." Jawabku dan senyum mengembang di bibir ini.

Aku menuju ke ruangan. Kulihat Lubna sedang istirahat kudatangi dia dan aku menciumnya. 

"Alhamdulillah ya, Nduk. Bayinya sehat dan laki-laki."

"Iya, Bu. Terima kasih ya, Bu sudah menemani Lubna."

"Iya, sama-sama."

Setelah selesai dibersihkan dan anakku sudah agak pulih kondisinya. Mereka membawa anakku ke ruangan perawatan. Di sini kami menginap selama dua hari, suami Lubna juga sudah datang. 

Setelah terlepas tapi pusarnya, kami mengadakan syukuran kelahiran cucu keempatku ini, sekalian memberinya nama.

Aku bersyukur, walau posisi bayinya sungsang masih bisa melahirkan secara normal, karena mendengar kata operasi, hati ini tidak karuan dan bingung. 

Kasih sayang orang tua sepanjang jalan, semoga kasih sayang anak pun bisa seluas langit dan bumi kepada orang tuanya. Bagaimana perjuangan seorang Ibu melahirkan anak-anaknya ke dunia ini dengan rasa cemas, senang, takut dan lainnya. 

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama