Cerpen seru Mempertahankan Keperjakaan

 belas tahun yang lalu usiaku baru 13 tahun, ketika seorang pelaut membawaku ikut dengannya. 

Ya, aku sebatang kara setelah bencana banjir bandang tanpa ampun meluluhlantakkan desaku. Bencana yang merenggut habis semua keluarga dan kerabatku.

Pelaut itu juga berasal dari desaku. Aku dengar cerita dari orang-orang, sepuluh tahun yang lalu dia meninggalkan desa ini. Tak ada yang tahu kemana dia pergi ketika itu. Baru kali inilah dia muncul lagi.

Rupanya dia tergerak pulang setelah membaca berita di sebuah media tentang desa kelahirannya yang dilanda bencana hebat. Tak berbeda denganku, keluarganya pun tak bersisa. Semua menjadi korban gulungan air bah dahsyat dini hari itu.

Beberapa hari setelahnya, dia melihat aku sendirian bersedih si tenda pengungsian.

"Berapa umurmu?" Tanyanya padaku. 

"Tiga belas," jawabku.

"Ah, tak mungkin, kau terlalu besar dan terlihat terlalu tua untuk ukuran anak 13 tahun. Tubuhmu kokoh dan bagus, cocok jadi pelaut. Mau ikut denganku? Aku akan membawamu menjelajah samudra, berkeliling dunia." 

Dia tidak percaya usiaku baru 13 tahun. Memang, tubuhku jauh lebih besar dibanding rata-rata anak-anak seusiaku. Karena sering ikut membantu ayah bertani, otot-ototku juga terlihat keras dan kuat. Oleh karena itu mungkin, aku terlihat jauh lebih tua daripada umurku.

Ditambah pula, secara genetik, aku memang keturunan bertubuh besar. Ayahku besar dan berotot secara alami. Ibuku pun demikian, tinggi besar. 

Karena sebatang kara, aku putuskan mau ikut dengannya. Biarlah samudra nasib yang mengombang ambing hidupku selanjutnya. Begitu pikirku. Toh, aku tidak punya pilihan lain yang lebih baik.

Pelaut itu memperlakukan aku dengan baik. Mungkin karena kami berasal dari desa yang sama dan dia kasihan padaku yang sebatang kara. 

Aku akhirnya benar-benar dia bawa berlayar dengan sebuah kapal dagang yang lumayan besar. Aku tak paham sebagai apa dia di kapal itu. Yang jelas, sepertinya dia cukup disegani para anak buah kapal. 

Dia menitipkan aku pada juru masak di departemen 'steward'. Aku dijadikan 'mess boy', semacam pelayan yang bertugas membantu juru masak.

Suatu hari si pelaut memanggilku ke ruangannya. Dia menyerahkan berbagai dokumen atas namaku. Aku sama sekali tidak paham bagaimana caranya dia bisa memperoleh itu semua. Yang jelas, dokumen itu lengkap. Ada KTP, passport, dan berbagai dokumen izin sebagai awak kapal.

"Ini semua dokumen yang kau butuhkan untuk bisa berlayar ke luar negeri, simpan baik-baik," katanya.

Aku yang sebenarnya masih anak-anak, tidak terlalu paham dengan segala dokumen itu. Aku hanya melihat isinya sekilas. Di berbagai dokumen itu usiaku tertera 18 tahun, padahal usiaku sebenarnya baru 13. Tapi, sudahlah. Aku tak terlalu perduli. Aku turuti saja perkataannya. Semua dokumen itu aku simpan baik-baik.

******

Sehari-hari aku berupaya bekerja membantu juru masak sebaik mungkin. Aku juga ringan tangan mengerjakan banyak hal lainnya. Tak jarang aku juga diminta memijat para kelasi yang mengeluh pegal-pegal. Singkatnya, semua dengan senang hati ku kerjakan. 

Lambat laun, para awak kapal menjadi senang padaku. Karena aku tak banyak tingkah, penurut, dan rajin bekerja.

Selang beberapa bulan, tubuhku tumbuh makin berisi karena bekerja, makan, dan istirahat secara teratur. Apalagi, di kapal, makanan melimpah ruah dan bergizi.

Karena hampir tak pernah bekerja di sekitar anjungan kapal, sehingga jarang terpapar sinar matahari, kulitku berubah menjadi bersih dan cerah. Akupun terlihat semakin tampan dan dewasa di usia yang sebenarnya belum genap 14 tahun.

*****

Suatu malam, aku disuruh mengantar pesanan makanan ke sebuah kamar di ruang kabin awak kapal. Menurut juru masak, itu kamarnya 'chief engineer'.

Sambil membawa nampan penuh makanan, aku ketuk pintu kamar itu. Terdengar suara mempersilakan masuk dari dalam. Tanpa ragu, aku putar handle dan mendorong pintu perlahan.

Setelah pintu terkuak, aku masuk. Di dalam kamar, rupanya ada dua orang pria yang sedang rebahan sambil merokok di ranjang. Dua-duanya hanya memakai celana dalam. Salah seorangnya tentu sang chief engineering, sedangkan yang satunya lagi, aku tak tahu siapa.

Mereka berdua memperhatikan aku sejak berjalan masuk sampai selesai memindahkan makanan dari nampan ke meja di sudut kamar.

"Silahkan di makan, Bapak-Bapak, saya permisi dulu," ujarku sambil sedikit membungkukkan badan memberi hormat, lalu melangkah meninggalkan kamar.

Baru saja aku membalikkan badan, salah seorang dari mereka berseru.

"Hey, Boy, sini dulu!"

Langkahku terhenti, kemudian berbalik badan, dan berjalan kembali mendekati mereka. Mereka sudah berpindah posisi. Dari yang tadinya rebahan, sekarang duduk di pinggir ranjang.

"Ya, Pak, ada apa?"

"Aku tidak pernah melihatmu, kau baru?"

"Nggak, kok, Pak. Sudah hampir setahun," jawabku sopan.

Salah seorang dari mereka menarik tanganku. Setengah memaksa, aku mereka posisikan duduk di antara mereka.

Kemudian mereka meggerayangi tubuhku. Yang seorang mengusap-usap bibir dan pipiku. Sementara, yang satunya lagi menjelajahi sekujur tubuhku. Kemudian tangannya terhenti di selangkangan dan meremas-remasnya. 

Aku kaget, tapi hanya diam. Tak tahu harus berbuat apa. Aku tak paham apa yang sedang mereka lakukan padaku. Aku hanya merasa tak nyaman dan merinding.

"Berapa umurmu? Kau masih perjaka?" Tanya yang tangannya sedang berada di selangkanganku.

"Mau empat belas," jawabku agak bergetar. Aku tak mengerti apa maksud "perjaka" yang dia tanyakan.

"Ah, gak mungkin belum empat belas. Mana bisa kau berada di kapal ini kalau masih anak-anak."

"Kenapa kau baru kulihat sekarang, ya? Siapa yang membawa mu ke kapal ini?" Kali ini, yang tadi mengusap-usap bibir dan pipiku yang bertanya sambil mengusap-usap tengkukku.

Aku sebutkan nama pelaut yang membawaku ke kapal ini. Tiba-tiba mereka kaget dan seketika berhenti mengacak-acak diriku. Entah kenapa. 

"Oh, ya sudah, silahkan kau pergi. Terimakasih makanannya," kata si pemijat selangkanganku tadi. Wajahnya terlihat khawatir.

Akupun pergi meninggalkan mereka dengan perasaan heran. Tidak paham dengan apa yang mereka lakukan padaku barusan.

*****

Beberapa hari kemudian, sang pelaut kembali memanggilku ke ruangannya. Sebelum dia berkata apa-apa, aku segera menceritakan pengalamanku di kamar chief engineering beberapa hari yang lalu.

Dia tampak kaget mendengar ceritaku. Sesaat dia terdiam. Rahangnya bergemeretak seperti menahan geram.

"Kenapa kau tidak langsung cerita padaku?"

"Kenapa, memangnya?" Tanyaku.

Aku benar-benar tak paham, kenapa si pelaut terlihat begitu marah mendengar cerita ku itu.

"Sudahlah, lain kali kau jangan dekat-dekat lagi dengan kedua orang itu."Nada bicaranya masih terdengar tidak senang. Aku hanya mengangguk pelan dan tak berani bertanya lagi.

"Kau harus jadi laki-laki sejati. Besok, kita berlabuh di Pelabuhan Kaohsiung, Taiwan. Kau boleh turun ke darat. Ikut aku. Kau perlu mengetahui surganya para lelaki tulen di sana. Saatnya kau melepas keperjakaanmu. Pada perempuan. Bukan pada gay! Sekarang kau berisirahatlah."

Lagi-lagi aku cuma mengangguk pelan dan segera berlalu dari hadapannya. Aku makin bingung saja. Besok boleh turun ke darat? Ya, aku senang mendengarnya. Karena selama ini selalu tidak diperbolehkan turun. Sekarang malah diperintahkan turun. Tentu aku senang. Tapi, omongannya selanjutnya tadi, tetap tak aku pahami. "Menjadi laki-laki sejati? Keperjakaan? Gay? Ah, sungguh aku tak paham."

*****

Sebagaimana yang telah disebut sang pelaut, keesokan harinya, kapal kami bersandar di pelabuhan Kaohsiung, Taiwan. Taiwan, sebuah negara yang diklaim pemerintah komunis Tiongkok masih merupakan bagian dari negara mereka. Di zaman perang dunia kedua, wilayah ini disebut Formosa.

Kaohsiung merupakan pelabuhan utama di Taiwan dan menjadi pusat ekspor dan impor. Lebih dari 60% aktivitas ekspor/impor terjadi disini. Oleh karena itu, kapal-kapal dari berbagai negara dan benua datang dan pergi silih berganti di pelabuhan yang amat luas ini. 

Seperti yang sudah dijanjikan sang pelaut, malam ini aku dibawa serta turun ke darat. Seturunnya dari kapal, kami naik taksi dan turun di sebuah bar yang sangat gemerlap, "The Lighthouse Bar and Grill", namanya.

Setelah makan dan minum di sana, kami kembali naik taksi. Selang beberapa menit, kami kembali turun di depan sebuah bangunan besar. Sepertinya sebuah hotel. 

Aku ikuti sang pelaut dari belakang memasuki hotel itu. Sesampainya di lobi, dia langsung menuju meja resepsionis. Sepertinya dia sudah terbiasa ke hotel ini. Para resepsionis terlihat sudah cukup akrab dengan dia. 

Sekarang di tangannya ada dua kartu. Satu kartu dia serahkan kepadaku.

"Ayo, kita menuju sorga dunia," katanya seraya menepuk pundakku.

Kami menaiki lift, dan keluar di lantai 7. Kemudian berjalan ke arah kanan menyusuri lorong di depan lift. Di ujung lorong, ada sebuah pintu ruangan yang cukup besar. Di depan pintu itu berdiri dua orang security bertubuh gempal. 

Sang pelaut mengangguk ke arah mereka sambil memperlihatkan kartu yang tadi dia peroleh dari resepsionis. Lalu, salah seorang security membukakan pintu untuk kami. Sang pelaut bergegas masuk, aku terus membuntutinya.

Sesampainya di dalam, aroma alkohol segera menyeruak. Alunan musik slow terdengar jazzy. Ruangan itu gemerlap dengan setingan bar mirip tempat kami makan dan minum tadi.

Beberapa detik kemudian, aku ternganga. Rupanya ruangan bar itu penuh dengan perempuan berpakian minim. Ada yang berjalan hilir mudik, ada yang sedang menemani para pria minum di bangku-bangku bar. Dari wajah-wajahnya, mereka pasti berasal dari berbagai ras di seluruh dunia.

"Kau tunggu di sini," kata sang pelaut ketika kami baru saja sampai di deretan sofa tamu di salah satu sudut ruangan yang penerangannya terang-redup silih berganti. Lalu, dia pergi entah kemana.

Tak lebih dua menit kemudian, dia kembali. Diapit oleh dua orang perempuan bule yang berbusana sangat minim.

"Ini kunci kamar mu, silahkan kau bawa bule ini. Saatnya kau jadi laki-laki sejati," katanya seraya menyodorkan kunci kamar padaku kemudian mendorong pelan punggung salah seorang perempuan bule itu ke arahku.

"Elena, kau layani temanku ini dengan baik." 

Itu kata-kata terakhir sang pelaut sebelum dia menghilang dengan perempuan bule yang satunya lagi.

Tinggal aku sendiri di sofa itu. Aku benar-benar kikuk. Tak paham dengan situasi yang sedang kualami. 

Bule yang tadi disebut namanya Elena itu segera mendekati aku. 

"Ayo kita ke kamar," ajaknya sambil menggamit tanganku.

Aku benar-benar bingung. Apa maksud sang pelaut menyuruhku ke kamar dengan bule bernama Elena, ini? Karena setengah di tarik, aku ikuti saja dia.

Sesampainya di kamar, bule itu langsung naik ke ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya.

Sedangkan aku, masih saja tidak mengerti harus berbuat apa. Aku memilih duduk di kursi di dekat jendela kamar.

"Ayo Boy, cepat ke sini. Tunggu apa lagi?" 

Aku kaget, Elena kembali berbicara dalam bahasa Indonesia yang fasih, walau logatnya ganjil.

"Oh, Tante bisa berbahasa Indonesia? Memangnya Tante berasal dari mana?" Tanyaku lugu.

"Hahaha, kau lucu sekali, Boy. Aku berasal dari Uzbekistan. Dulu aku pernah bekerja di Jakarta dua tahun, di Alexis. Kau tahu Alexis kan?" Di sana pelangganku kebanyakan orang Indonesia. Makanya aku lumayan bisa berbahasa Indonesia."

"Ayolah, Boy, kau mau duduk saja di sana? Cepat ke sini, aku sudah dibayar oleh bosmu. Kau bebas mau melakukan apa saja."

Aku semakin bingung mendengar kata-kata Elena. Memangnya apa yang harus kulakukan padanya?"

Melihat aku masih tak beraksi, Elena berdiri di atas ranjang. Sambil tersenyum binal, tangannya bergerak hendak melucuti pakaiannya yang minim itu.

Aku gelagapan melihatnya. Aku tutupi wajah dengan dua telapak tanganku. Kemudian bangkit dari duduk.

Aku intip dari sela jari. Rupanya Elena mendekat ke arahku.

Beberapa inchi menjelang dia sampai di hadapanku, aku tak tahan lagi. Aku segera berbalik arah, berlari ke arah pintu, membukanya, dan berlari secepat mungkin. Meninggalkan Elena yang sudah polos tanpa sehelai benangpun.

*****

Begitulah pengalamanku 15 tahun yang lalu. Dua kali keperjakaanku hampir terenggut. Sekali oleh gay, dan sekali lagi oleh PSK bule.

Untunglah, Tuhan masih melindungiku. Saat itu aku benar-benar masih anak-anak. Belum punya libido karena belum baligh.

Setelah kejadian itu, aku terus berlayar. Bertahun-tahun aku berhasil tetap mempertahankan keperjakaanku. 

Sejak kejadian itu pula, sang pelaut tak pernah lagi mengajakku ke dunia hitam. Dia juga sangat melindungi aku dari kemungkinan gangguan para awak kapal yang berorientasi sex menyimpang.

Hingga, akhirnya aku menikah dengan seorang gadis baik-baik tepat di usiaku dua puluh lima tahun.

Keperjakaanku kupersembahkan padanya di malam pertama. Dan akupun berhenti berlayar selama-lamanya.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama