Cerpen seru "mati kutu."

 Cerpen

"Assalamu'alaikum," ucapku ketika membuka pintu rumah.

Kulihat sekeliling rumah masih berantakan, berjalan ke dapur kulihat piring masih berserak. Yang bikin bertambah emosi ketika kubuka tudung saji, hanya ada telur dadar.

"Sebenarnya ngapain aja sih kerjaan si Jaenab itu," sungutku dalam hati.

"JAENAAAAAAAAAB!!!!" Teriakku.

"Iya, Bang. Assalamu'alaikum, udah lama pulang?" Tanyanya, kulihat ia lari tergopoh-gopoh sambil menggendong Farhan.

"Sini kau!" Hardikku 

"Ada apa, Bang?"

"Ada apa kau tanya? Apa matamu gak bisa lihat rumah masih berantakan, apa kerjaanmu seharian ini?"

"Farhan demam, Bang. Dari tadi mencret dan muntah. Ditinggal sebentar aja udah nangis, biasa juga kalau Farhan gak sakit, rumah gak pernah berantakan."

"Alah, alasan aja kau ini."

"Tadi aku pergi bawa Farhan ke bidan, rupanya bu bidannya lagi dinas di puskesmas. Abang kan tau rumah bidan jaraknya gak dekat, mau minta tolong sama tetangga sebelah, aku segan."

"Udah gak usah banyak alasan kau, coba kau tengok si Esi itu! Selalu rapi, rumah juga bersih."

"Astaghfirullah, kenapa jadi banding-bandingkan aku sama Esi. Jelas dia seperti itu, kerjaannya memang jual diri."

"Gak usah banyak alesan, sebagai istri seharusnya kau tau menyenangkan suami, Esi itu hanya sebagai contoh untukmu sebagai perempuan. Ini apaan, daster lusuh, muka pun tak pernah memakai bedak. Mana bau badanmu sudah semerbak dari kejauhan.

"Cukup ya, Bang. Oooh jadi kau mau agar aku seperti Esi?

Baiklah, kau fikir duit 700 ribu perbulan itu udah banyak sekali, iya? Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari saja aku musti mengirit.

"Ooh jadi kau tidak mensyukuri duit yang kukasih?

Udah bagus aku mau menafkahimu." 

Aku memang hanya memberinya duit 700 ribu setiap bulan, gajihku memang 3,8 juta. Tapi enak kali dia kalau kukasih banyak-banyak, akukan perlu nongkrong bareng temen-temen juga.

Jaenab tidak menjawab, malah melangkah ke kamar dan menutup pintu dengan keras 

"Dasar istri tak tahu diri."

Akupun melangkah ke luar, mencari angin segar.

Udah pulang kerja capek, malah disuguhi pemandangan seperti itu. Bukan pertama kali begitu, udah yang ke berapa kali. Alasan selalu saja karena Farhan sakit.

Aku memutuskan untuk menginab ke rumah orang tuaku, yang berjarak tak jauh dari rumah kami.

Biarkan si Jaeban mikir kesalahannya.

Esoknya, setelah pulang dari kerja, aku memutuskan pulang ke rumah.

Kulihat rumah masih seperti semalam,  tak kulihat juga sosok Jaenab dan Farhan.

Tiba-tiba kudengar suara deru motor, akupun melangkah ke depan, melihat siapa yang datang. Kulihat seorang wanita cantik menuju kerumahku, tapi pandangan mataku menuju ke anak kecil yang sedang digendongnya.

"Itukan si Farhan." Batinku.

Semakin dekat langkah wanita itu, semakin kusadari rupanya si Jaenab.

"Loh udah pulang kerja, Bang?" tanyanya.

Akupun masih melongo, melihat Jaenab yang sangat cantik, ditambah lagi wanginya yang bikin bulu kuduk meremang. Rasanya ingin kuterkam saja.

"Bang?" tanyanya sambil melambaikan tangan di depan wajahku.

"Eeh i iya, k kenapa?" tanyaku gelagapan.

"Aku tanya, udah lama pulang. Kok malah bengong".

"Belum lama kok, tadi aku mampir ke warung Bang Madun dulu."

"Oooh... ya udah. Nanti aku titip Farhan, tolong jagakan ya!"

"Emangnya kau mau ke mana?"

"Aku mau ikut orkes Bang Munir, aku udah daftar jadi penyanyi aktif. Lumayan gajihnya sekali ikut  bisa 300 sampai 500."

"APA? Gak gak gak, ga boleh."

"Ga bisa, duit yang abang kasih semalam udha habis kubuat nyalon, beli pakaian yang layak. Sebenernya kurang, tapi aku tadi minjam sama si Saodah."

"APA??"

"Gak usah sok kaget, kan abang mau aku seperti si Esi. Sekarang udah aku turutin, kenapa seakan-akan abang kaget. Masih sukur aku jadi penyanyi."

"Maksudku bukan begitu, Jaenab."

"Jadi gimana? Apa abang fikir duit 700 ribu itu sudah banyak? Cukup buat makan sehari-hari aja sukur, boro-boro buat beki skin care, deodorant, dan parfum."

"Maafkan abang, semalam karena emosi."

"Udahlah, Bang. Bukan sekali dua kali abang bicara gitu, kali ini aku turuti kemauan abang. Udah ya aku mau berangkat dulu, entar telambat. Si Farhan juga jangan lupa entar dikasih makan, dia anak kandungmu. Maka perlakukan dengan penuh kasih sayang."

"Gak boleh, mulai sekarang abang akan kasih gajih penuh sebulan untukmu."

"Gak usah, Bang. Itu juga gak cukup, aku juga gak mau kelak kau mengungkit jika uang belanja pemberianmu itu habis.

Udah dulu ya, aku mau berangkat, entar telambat."

Setelah memberikan Farhan ke padaku, Jaenab langsung pergi. Beruntung Farhan lagi tidur, jadi tidak ada drama tangis-tangisan.

Tak lupa pula akupun hanya bisa melongo, menyesali ucapanku.

Ucapanku yang sudah melukai hati istriku, atas kebodohanku.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama