Cerpen "Pencuri Rokok"

'Perasaan, rokokku makin cepat aja habis,' batin Amir heran. 


'Biasanya aku membeli rokok maksimal hanya sepuluh bungkus dalam seminggu. Kenapa sudah beberapa minggu ini rasanya lebih? Dalam seminggu ini kalau tidak salah sudah dua belas bungkus aku membeli rokok,' batinnya lagi. 


Meski tak menghitung secara persis, Amir merasa banyaknya rokok yang ia hisap tiap hari masih sama saja seperti biasa. Tidak bertambah. Tapi kenapa sekarang rokoknya bisa habis lebih cepat sehingga dia harus beli rokok lebih banyak per minggunya? Ia tak habis pikir. 


Iseng, sebelum tidur ia hitung jumlah batang rokoknya yang tersisa. 


'Sisa dua belas batang,' batinnya setelah menghitung. 


Kemudian rokok ia tinggalkan begitu saja di meja makan, lalu pergi tidur. 


Keesokan harinya, usai shalat subuh, Amir hendak merokok. Sebelum mengambil sebatang dari bungkusnya, kembali iseng dia hitung jumlahnya. 


'Cuma sepuluh! Hilang dua!' 


Benar ternyata. Perasaannya tak salah. Rokoknya ada yang mengambil, makanya habis lebih cepat dari pada biasanya. 


Amir berpikir. Siapa yang mengambil? Tak ada orang lain di rumah ini. Ia tinggal berdua saja dengan putra semata wayangnya, Zidan, yang masih kelas lima SD. 


Apa Zidan mulai nakal dan coba-coba merokok? 


Tak mungkin rasanya. Sebab, Zidan suka main bola. Dia ikut sekolah sepak bola karena cita-citanya memang ingin jadi pemain sepak bola. Namanya, Zidan, adalah pemberian almarhumah mamanya yang penggemar berat bintang sepak bola Prancis ketururan Aljazair, Zinedine Zidan. Jadi, sejak lahir, mamanya memang ingin kelak Zidan menyukai sepak bola. 


Di sekolah sepak bolanya, para pelatih selalu menekankan anak-anak untuk menjauhi rokok. Rokok itu "haram" bagi seorang atlet. Jadi, tak mungkin rasanya Zidan yang mencuri rokok itu. 


'Tapi, kalau bukan Zidan siapa lagi? Jelas tak mungkin ada maling masuk cuma untuk  mengambil dua batang rokok,' pikir Amir lagi. 


Amir bergegas ke kamar Zidan untuk menanyakannya. Namun, sampai di depan kamar, ia berubah pikiran. 


'Lebih baik kubuktikan saja langsung,' batinnya. 


Malam harinya, Amir kembali menghitung jumlah sisa rokoknya. Ada empat belas batang. Seperti malam kemaren, rokok kembali ia tinggalkan di meja makan, lalu ia masuk kamar. 


Tapi, kali ini Amir tidak tidur. Lampu kamar ia matikan. Pintu ia biarkan terbuka sedikit sekira untuk bisa mengintip ke arah meja makan di ruang tengah. 


Satu jam Amir menunggu hingga kemudian terdengar engsel pintu kamar Zidan berderit pelan. 


Amir bergegas mengintip. 


Terlihat Zidan jalan agak berjinjit ke meja makan supaya tidak berisik. Kemudian dia ambil bungkus rokok lalu mengeluarkan dua batang dari dalamnya. Setelah itu, bungkus rokok dia letakkan kembali. Zidan pun balik badan dan kembali jalan berjinjit menuju kamarnya. 


Baru tiga langkah, Zidan dikagetkan oleh gelegar suara papanya. 


"Zidan!" 


Zidan kaget bukan kepalang. Dua batang rokok di tangannya sampai terlepas dan jatuh ke lantai. 


"Eh ... Papa ... " wajah Zidan pucat. 


"Jadi, selama ini tiap malam kamu curi rokok Papa, ya?! bentak Amir garang. 


"Ndak, kok, Pa ... Zidan cuma --" 


"Sudah tertangkap basah masih mau bohong?!"  potong Amir. Amarahnya meledak. 


Dengan emosi Amir mendekati Zidan, menariknya dengan kasar, lalu memukuli bocah itu. 


Betubi-tubi ia hajar paha, bokong, dan bahu Zidan. 


Zidan berteriak-teriak minta ampun sambil berusaha menepis pukulan dan tamparan papanya itu. 


Namun, Amir benar-benar hilang kendali. Dia terus saja menghajar habis-habisan. Rasa kecewa dan marah benar-benar menguasainya. 


Sepeninggal istrinya, ia mati-matian berusaha merawat dan mendidik Zidan sendirian. Ia bahkan belum berniat menikah lagi supaya kasih sayang dan perhatiannya bisa tercurah sepenuhnya pada Zidan. 


Sebab, ia takut Zidan pelan-pelan berubah menjadi nakal karena kurang kasih sayang. Sebagaimana banyak terjadi pada anak-anak yang ditinggal mati ibunya. 


Namun, apa yang ia takutkan itu sekarang terjadi. Zidan mencuri rokok. Pasti dia sembunyi-sembunyi menghisapnya  


Amir menduga, rokok itu dihisap Zidan di halaman belakang mesjid tiap pulang mengaji. Memang, pernah beberapa kali orang dewasa yang pulang dari mesjid memergoki anak-anak pada merokok di sana. 


Selama ini Amir tak terlalu peduli. Ternyata Zidan salah seorang dari anak-anak itu. Amir sungguh kecewa. Teringat sumpah pada mendiang istrinya untuk mendidik Zidan dengan baik hingga tumbuh dewasa. Tentu sekarang istrinya sangat kecewa di alam sana. Makanya emosi Amir jadi tak terkendali. Ia merasa gagal menjalankan sumpah. 


Zidan terjatuh di lantai karena didorong dengan kasar. Namun, Amir belum lepas juga amarahnya. 


Ia kembali mengayunkan pukulan ke arah lengan bagian atas. Bersamaan dengan itu, Zidan berusaha berguling untuk menghindar. Malang, karena gerakan menghidar itu, tamparan yang sebenarnya mengarah ke lengan justru mendarat dengan sangat telak di pelipis kanan Zidan. 


Seketika tubuh Zidan terkulai lemas.  


Amir masih melancarkan beberapa tamparan lagi ke kaki sebelum tersadar bahwa tubuh anaknya ternyata tak bergerak-gerak lagi. 


Amir mendadak pucat mengetahui Zidan sudah tak sadarkan diri.  


Tamparan yang tak sengaja mengenai pelipis Zidan tadi memang sangat telak. Tangan Amir yang kekar melayang penuh tenaga. Tak heran kalau efeknya begitu buruk pada bocah ringkih itu. Ia langsung pingsan. 


Dengan cemas Amir memegang urat nadi di leher Zidan, masih berdenyut. Dia tempelkan pula telinganya ke dada, juga masih terdengar detak jantung.  


'Pingsan,' gumamnya gusar.


Segera dia bopong tubuh Zidan ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur. 


Ia atur nafasnya yang masih tersengal lalu berpikir. 


Tadinya ia mau melarikan Zidan ke dokter. Takut hal yang fatal terjadi. Tapi ia urungkan, karena khawatir akan dituduh telah melakukan kekerasan pada anak dan harus berurusan dengan polisi. Toh akhirnya Zidan juga yang akan jadi korban karena tak ada yang mengurus. Lagi pula, sepertinya Zidan cuma pingsan biasa. Pasti segera sadar. 


Akhirnya, Amir memutuskan tak jadi membawa Zidan ke dokter. Ia oleskan minyak angin agak banyak ke hidung anak itu sambil menepuk-nepuk pipinya. 


Benar saja, tak lama kemudian Zidan menggeliat sadar. 


"Zidan ... Alhamdulillaah ... maafkan Papa, Nak. Papa nggak sengaja," ujar Amir sambil mengusap-usap kening dan kepala Zidan. 


"Pa ... Zidan capek ... mau tidur lagi ... " ujar Zidan lemah. 


"Tidurlah, Nak. ... maafkan Papa ... Papa akan jagain Zidan di sini sampai pagi. 


Hanya dua menit berselang, Zidan tertidur pulas. 


Amir mendesah panjang. Menyesali emosinya yang tadi tak terkendali. Nyaris saja ia mencelakai darah dagingnya sendiri. Meski demikian, ia memang sangat marah mengetahui Zidan yang masih sekecil itu sudah beberapa minggu ini merokok dari hasil mencuri. 


Amir pindah duduk ke meja belajar Zidan. Dalam kondisi gelisah begini, biasanya ia sangat ingin merokok. Namun, entah kenapa, kali ini selera merokoknya hilang. 


Ia duduk termangu sambil meremas--remas rambut. Lalu perhatiannya tertuju pada sebuah buku di meja belajar Zidan. Ukurannya lebih kecil dari pada buku tulis biasa. Di covernya tertulis tulisan tangan Zidan, "Diary". 


Segera ia raih buku itu. Lalu dengan tak sabar membalik cover-nya. 


[Diary ini adalah tempat curhat Zidane pada Mama] 


Demikian tertulis besar-besar pada lembaran pertama. 


Amir terus membalik lembar demi lembar. 


12 Februari

Mama ... Mama tenang ya di alam sana. Zidan tak akan kecewakan Mama. 


17 Februari

Mama ... Zidan sudah mulai latihan bola lagi. Papa yang ngantar. Cuma, Zidan sedih. Nggak ada Mama lagi yang nungguin Zidan latihan. Papa cuma antar jemput. Karena harus kerja. Zidan kangen Mama. 


20 Februari

Ma ... belakangan Papa makin banyak merokok. Pelatih bilang merokok itu bahaya. Zidan takut Papa meninggal, Ma. Zidan tinggal dengan siapa lagi kalau tak ada Papa? 


Amir mengusap matanya. Terharu membaca ungkapan-ungkapan lugu anaknya. 


3 Maret

Ma, Zidan tak mau Papa sakit dan meninggal karena terus merokok. Apa yang bisa Zidan lakukan, ya, Ma? Supaya Papa bisa berkurang merokoknya? Zidan bingung. 


20 Maret

Ma ... maafkan Zidan. Hari ini Zidan mencuri. Dan Zidan akan terus mencuri. Tapi untuk kebaikan Papa. Zidan tiap hari mencuri rokok Papa dan membuangnya. Supaya berkurang rokok yang Papa hisap. Zidan sayang Papa. 


Amir terperanjat. 


Rupanya itu alasan Zidan terus mencuri rokoknya. Dalam logika kanak-kanaknya, Zidan berpikir, jika rokok Ayahnya diambil, maka Ayahnya akan makin sedikit merokok dan makin terjauh dari penyakit akibat rokok. 


"Ya Allah ... aku sudah menuduh anakku merokok dan memukulinya. Padahal dia justru ingin melindungiku dari bahaya rokok," sesal Amir. 


1 April 


'Hari ini. Ini baru saja di tulis Zidan,' batin Amir. 


"Ma, hari ini Zidan mulai mencuri rokok Papa dua batang setiap hari. Semoga Papa makin sehat, ya, Ma ... Zidan rindu Mama ... Ya Tuhan ... gimana caranya Zidan bisa melihat wajah Mama ...? Zidan kangen Mama, Tuhan ... Zidan ingin ketemu Mama ... 


Bulir-bulir bening jatuh dari pelupuk mata Amir. Menetes di atas kertas buku diary. Melunturkan sebagian guratan tinta.


Dada Amir sesak. Dia mendekat ke tempat tidur lalu mendekap Zidan dan mencium keningnya.


Kemudian, dia terperanjat seketika. Tubuh Zidan dingin dan kaku. Dia pegang nadi di lehernya, tidak berdetak. 


"ZIDAAAN!!!" Amir histeris.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama