Cerita tanpa judul

 #by_Yuyun_Yuningsih_Nollen

"braakk…." Tiba-tiba kulempar piring yang berisi nasi goreng ke sudut ruangan di dapurku. 

"Kenapa kamu ini? Kalau kamu tidak senang dengan ucapanku, bilang saja bukan begitu caranya" suamiku bang ikhsan berdiri dan meneriakiku.

"Abang kata, bilang saja?" Suaraku gemetar menahan amarah dan panas dimata "kapan Abang mau mendengarkan sanggahan ku, jangankan mendengarkan keluh kesah sekedar mendengar alasankupun Abang tak mengizinkan aku membuka mulutku ini" kini aku menangis histeris.

"Karena semua yang akan kamu ucapkan selalu itu-itu saja, hal yang tak penting, aku tak meminta banyak darimu, hanya menurut apa yang aku bilang itu saja, apa susahnya?" Sungutnya mulai menceramahiku seperti biasa, meski aku selalu diam sebelumnya.

"Bang aku pasti menurut semua yang Abang minta selama itu benar, tapi jika Abang pikir selalu komplain tentang mereka yang tidak ada urusannya dengan kita, aku harus ikut juga Bang? Aku diam saat Abang maki-maki orang bodoh di luaran, yang sebenarnya kita saja tidak paham, itu bukan berarti aku memihak mereka Bang, sekarang Abang marah-marah karena aku sakit kepala, dan Abang pikir aku pura-pura, padahal Abang tahu aku tidak cukup tidur bantuin pekerjaan Abang," mataku tak kuasa menahan bendungan air mata yang memaksa berderaian.

"Lantas apa namanya jika semua yang aku bilang, kamu selalu tidak setuju, tak pernah ada di pihakku,"

"Karena ada yang lebih penting dari ngurusin orang Bang" aku kembali terisak, ada sakit yang teramat sangat mengigiti dalam hati "sekarang aku tanya, apa pernah Abang ikut pusing ngurusin rumah ini, bahkan sekedar tau bagaimana aku memperbaiki atap yang boror, toilet mampet, ganti lampu, bahkan pintu yang berderik, tidak kan Bang? Aku selalu memperbaiki sebelum Abang tahu, kalau tidak masalah itu akan menjadi perang dunia dalam rumah tangga ini. Apa Abang pernah mengurusi anak-anak kita masuk sekolah? Hingga bisa sampai sekarang mereka di SMA dan SMP, jangankan ngurusin sekolahnya, Abang saja suka lupa hari kelahiran mereka" aku menarik nafas

"Ya itu karena aku harus mencari uang buat kalian, ingat buat kalian," suamiku melotot dan mengetuk-ngetukan jarinya di meja makan.

"Itulah bang, kami bukan hanya memerlukan uang Abang, tapi sedikit perhatian Abang juga, kami hanya memerlukan Abang ada buat mereka, anak Abang, walau hanya satu jam setiap harinya, untuk mereka bang, bukan untukku. Aku telah terbiasa tak di tegur Abang, telah terbiasa mendapatkan perlakuan sinis, atau hanya teriakan  Abang saat tidak puas dengan kerjaku, walau aku kira aku telah melakukan apa yang aku bisa," sekali lagi rasa sakit itu datang menghimpit dada hingga menyesakkan.

"Jika kamu tidak suka, kenapa baru kamu bilang hari ini, hah?" Ucapnya masih tanpa rasa menyesal.

"Kenapa Abang bertanya? bukankah selama ini Abang melarangku untuk melakukannya? Kali ini aku berusaha memberanikan diri melawan, karena Abang tak kunjung sadar, aku tak kuat lagi Bang, aku ingin menyerah saja, meski kesengsaraan materil akan aku alami, aku ikhlas, asal aku tak selalu menjadi orang munafik yang hanya diam tapi dalam hatiku pemberontak. Aku minta meyudahi saja Bang, biar aku yang akan memperjuangkan hidupku dan anak-anakku.

Aku juga rindu orang tuaku yang telah 3 tahun ini tak pernah aku temui karena Abang melarang menengoknya," dan saat itu pula kilasan wajah kedua orang tuaku melintas, membuat hatiku kian teriris.

Suamiku terdiam, saat aku bilang aku ingin menyerah, dia kembali terduduk dan berkata.

"Jangan harap itu bisa terjadi" 

Emosiku kian tak karuan daripada aku menyakiti anak-anakku dengan teriakanku, aku segera bergegas meraih kunci mobil dan meninggalkan rumah.

Aku melaju meninggalkan area perumahan dimana aku tinggal, menyusuri jalanan ke arah belakang komplek, yang masih terdapat hamparan sawah yang sebagian telah menguning.

Tepat di bawah pohon tinggi nan rindang ku parkirkan mobilku di sana.

Aku menangis sesegukan, semua beban yang aku pikul selama ini, aku tumpahkan dengan air mata.

Tak seorangpun tau sakitnya aku di perlakukan dingin oleh suamiku, tapi aku harus selalu manis seperti anggora peliharaan.

Tak seorangpun bisa merasakan dan paham sakitnya aku, disaat aku selalu menjadi istri yang penurut, mandiri, serba bisa, tapi selalu salah dimata suamiku.

Tak pernah sekalipun aku mencurahkan apa yang aku rasa, di saat aku sakit, di saat sedih, bahkan aku kerap mengabaikan rasa lapar meski aku tinggal di gudang makanan, kepada orang lain.

Tak seorangpun aku percaya atas keluh kesahku, karena yang aku dapat hanya, cibiran, nyinyiran dan perasaan tidak nyaman karena orang akan mengetahui dan lagi-lagi aku yang tersalahkan.

Aku selalu mencurahkan segala keluh kesah ini kepada sang pemberi nyawa, seperti saat ini.

Namun terkadang aku butuh seseorang yang hanya mendengarkan tanpa harus membuka mulutnya kepada orang lain.

Aku hanya butuh seseorang yang bisa menggenggam jemariku dan berkata "yang tabah, aku akan selalu mendendangkan".

Tamat.

Semoga dengan cerita ini akan membuka hati nurani kita, untuk sedikit peduli terhadap sesama perempuan tanpa harus menghakimi, atau sekedar menjadi bahan pembicaraan.

Emosi bisa dipicu oleh berbagai sebab. Terkadang beberapa diantar mereka mencurahkan lewat jempolnya dalam suatu komentar, meski akhirnya menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Ingatlah tak banyak diantara mereka yang mempunyai keberanian untuk mengutarakan keluh kesahnya, hingga mereka terjebak tak mempunyai jalan keluar hingga bunuh diri karena berpikir tak seorangpun bisa menolongnya.

Stop bullying, posisikan diri anda menjadi korban, maka anda akan sedikit bisa memahaminya.

Terim kasih atas kepedulian anda membaca cerita ini.

Selamat siang dan teruslah berpositif thinking!

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama