Cerpen seru SI SULUNG YANG DIHORMATI

"Penyumbang terbesar tahun ini adalah Pak Amri dengan nominal 30 juta. Semoga rejeki beliau melimpah ruah dan bisa menjadi teladan bagi kita semua. Amanah dari Bapak Amri ini insya Allah akan kami kelola dengan baik. Berkat beliau, ramadhan tahun ini insya Allah kita bisa sholat tarawih bersama di mesjid yang kita 

cintai ini."


Suara pengurus mesjid bergema  melalui pengeras suara yang bisa didengar seluruh warga kampung Nagasaribu. Amri dan istrinya yang sedang makan saling berpandangan. Setahu Linda, di kampung itu cuma suaminya yang bernama Pak Amri dan tidak mungkin lelaki kere di hadapannya yang menyumbang uang sebanyak itu untuk pembangunan mesjid tua mereka.  Lalu siapa lagi yang dimaksud?


"Wah, terima kasih ya, Pak Amri. Berkat sumbangan Bapak, para warga banyak yang ikut tergerak mau menyumbang juga. Gak nyangka, walau hidup sederhana Pak Amri punya banyak uang," ujar Pak Dian. Lelaki berpeci hitam itu baru saja dari mesjid menyumbang sebagian rejeki karena baru siap panen padi.


Pak Amri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sungguh ia bingung dengan apa yang didengar.


"Jadi Abang lebih pentingin pembangunan mesjid daripada anak istri yang serba kekuarangan? Aku kecewa, Bang," seru Aminah dan masuk ke kamar.


Amri mengetuk-ngetuk pintu kamar berusaha membujuk sang istri yang akhir-akhir ini mengeluhkan masalah keuangan. Anak sulung mereka akan masuk SMA dan yang bungsu masuk SMP. Untuk itu mereka harus mengumpulkan dana yang tidak sedikit. Dia tak ingin kalau nasib anak mereka seperti sang bapak yang hanya lulusan SMP karena terkendala biaya. Mengalah dan mengais rejeki demi sekolah adik-adiknya.


Suara klakson terdengar di halaman rumah pusaka yang ditinggali Amri dan keluarga. Ia menghentikan gerakan tangannya mengetuk pintu dan langsung melihat siapa yang datang. Dari mobil chevrolet warna putih keluar Deni, adiknya Amri yang tinggal di kota.


"Deni? Kalian datang, Den? Kenapa gak ngabarin dulu? Tahu gitu Abang akan minta kakakmu masak ayam rendang kesukaan kalian," seru Amri dan memeluk adiknya. Rasti, istri Deni yang sedang menggendong anaknya nomor dua langsung menyalami abang iparnya dengan seulas senyum.


Amri mengajak Deni dan Rasti masuk dan duduk di atas tikar plastik anyam yang sudah banyak bolong karena dimakan usia. Ia lalu memanggil ibu mereka, Bu Hafsoh yang sudah pikun. Sang lansia itu sedang bermain dengan anak bungsunya di kamar belakang.


"Ya Alah, Bu! Bagaimana kabarnya, Bu?" seru Deni, setengah berlari menyongsong ibunya. Badannya sehat, hanya ingatannya yang terganggu.


"Baik, Alfi," balas Bu Hafsoh singkat. Soal nama keempat anaknya, dia masih mengingat dengan jelas. Namun sudah sering ketukar dan sekarang sedang memanggil nama anaknya yang nomor tiga. 


"Ibu sudah makan?"


"Belum, mereka gak kasih Ibu makan," balas Bu Hafsoh. Deni tertawa dan menciumi pipi keriput ibunya. Ia  melihat dengan jelas kalau sang keponakan tadi sedang menyuapi neneknya.


"Kalian datang, Den, Ras? Kok gak bilang-bilang?" ujar Linda yang akhirnya keluar dari kamar. Walaupun ia masih kesal dengan sang suami, dia tak mau menunjukkannnya di depan tamu mereka.


"Iya, Kak. Kami menginap di rumah Ibu semalam dan keponakan Kakak yang paling besar nempel aja sama neneknya. Jadinya di tinggal deh," jelas Rasti terkekeh. Ia memang berasal dari kampung sebelah, gadis yang berasal dari keluarga terpandang.


"Ooh, kalian pasti belum makan kan? Kakak masak dulu ya!" ujar Linda, tapi ditahan adik iparnya.


"Kakak gak usah masak hari ini. Kami datang sengaja gak ngasih tahu karena tak mau membuat Kakak repot. Ini ada nasi dan sup daging sapi. Aku bantu Kakak nyiapin piring," ujar Rasti. Bayinya yang berumur satu tahun sudah berpindah ke pangkuan Lenny, keponakannya.


"Gak usah, Ras. Kamu duduk saja," larang Linda. Ia tak enak hati kalau adik iparnya melihat keadaan dapur mereka yang memprihatikan. 


"Ini rumah mertuaku juga, Kak. Jangan bikin Rasti seolah jadi raja di sini," balas wanita berwajah manis itu. Ia dengan cekatan mengambil beberapa piring dan baskom plastik.


Dengan rasa malu dan segan, Linda dan Amri makan makanan enak yang dibawa adik mereka. Sedangkan dua anak Amri begitu lahap karena mereka jarang makan seenak ini.

***


"Den, kamu tahu gak siapa yang namanya sama kayak abang di kampung ini?" celetuk Amri. Ia masih kepikiran dengan pengumuman tadi pagi.


"Setahuku gak ada, Bang. Memangnya kenapa?"


"Kata mereka Abang menyumbang 30 juta. Pasti mereka salah orang. Abang cuma mampu menyisihkan uang recehan setiap sholat shubuh untuk mesjid kita," balas Amri. Sedekah shubuh memang sudah rutin dia lakukan sejak lajang walaupun nominalnya tidak banyak.


"Maaf ya, Bang. Deni yang memberikan uang itu atas nama Abang. Ada hak Abang di setiap gaji yang Deni terima. Namun Abang selalu menolak. Ya udah, aku sumbamgin aja atas nama Abang," balas Deni nyengir. Dia sudah tak punya cara agar abangnya menerima pemberiannya.


"Kamu?" Amri masih tak percaya dengan yang ia dengar.


"Cepat masukin barang-barangnya, Pak!" seru Rasti. Amri langsung berdiri melihat dua orang lelaki sedang mengangkati barang-barang dari mobil chevrolet yang tadinya ditutupi terpal itu ke dapur mereka lewat pintu samping.


"Apa ini, Den? Rasti? Kenapa banyak semen dan juga beras?" seru Amri bingung.


"Ini kami bawa dari kota, Bang. Jadi jangan suruh kami membawa barang ini lagi. Kami tidak akan kuat. Rasti harap Abang dan Kakak tidak menolak lagi."  Kali ini Rasti yang bicara. Setiap Deni memberikan uang, Amri memang langsung memasukkan uang itu lagi ke kantong adiknya. Namun kali ini dia tidak mungkin melakukannya.


"Abang yang membiayai kuliahku hingga bisa punya pekerjaan yang layak. Jadi ijinkan kami membalas sedikit kebaikan Abang. Maaf, Bang, kami tidak bisa lama. Mungkin bulan depan kami bisa menginap di sini! Abang simpan dulu kunci mobil ini, nanti akan ada orang yang mengambilnya," ujar Deni. Ia dan istri memang sering pulang kampung dan kali ini harus pulang cepat. Bukan apa-apa, Deni takut kalau Amri akan menolak jika tahu isi lain di dalam karung beras itu.


Sebuah mobil pribadi berwarna hitam berhenti di halaman. Supirnya Deni membantu membawa tas majikannya.


"Bu! Kami pulang dulu ya! Ibu jangan terlalu merepotkan Bang Amri sama Kak Linda," ujar Deni sambil memeluk ibunya. Sudah sering ia meminta agar Bu Hafsoh ikut dengannya, tapi Amri menolak dengan alasan takut ibunya hilang karena sudah pikun. Susah mencarinya di kota besar.


"Iya, iya," balas Bu Hafsoh dengan ekspresi datar. Rasti bergantian pamit pada mertuanya dan menyelipkan beberapa lembar uang ke saku baju Bu Hafsoh tanpa sepengetahuan abang dan kakak iparnya.


Linda membekap mulut, tak kuasa menahan tangis saat kedua adik iparnya pulang. Selama ini dia mengira kalau adik iparnya lupa akan jasa suaminya. Namun baru ia tahu kalau lelaki yang menikahinya lah yang selalu menolak pemberian Deni.


"Rasa hormat dan kasih sayang Deni telah menyadarkanku bahwa kamu memang suamiku yang terbaik, Bang. Maafkan aku selalu mengeluh dan menyalahkan sikap baikmu yang menurutku berlebihan," seru Linda dan memeluk suaminya yang kurus.


"Ibuuu! Bapaaak! Lihat ini!" seru Lenny dari dapur. Tergopoh sepasang insan itu melihat apa yang terjadi di belakang.


"Ya Allah! Ya Allah!" lirih suara Linda, tak kuasa mengatakan hal lain saat melihat benda yang dipegang kedua anak mereka.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama