Cerpen keseharian "Bapak Mertua yang Menyusahkan "

 Bapak Mertua yang Menyusahkan 


#cerpen


"Abang gak bisa begini, Bapak sudah keterlaluan menurutku. Sudah menyusahkan kita. Abang bicaralah. Jangan diam saja. Masa iya Bapak kayak anak-anak begitu!" 


Aku akhirnya protes pada Bang Irham, suamiku. Sudah tak tahan melihat tingkah bapak mertua yang sudah sangat menyusahkan, sementara suami cuma diam. Pasrah saja menghadapi polah bapaknya yang menurutku melebihi bocah SD begitu. 


"Ham, minggu depan Kau sibuk, gak? Bapak pengen main ke Taman Safari. Katanya sudah buka lagi. Bisa, kan? Sejak pandemi kita udah gak pernah lagi ke sana, hampir dua tahun, loh." Demikian tadi Bapak mengajak Bang Irham. 


Suami cuma mengangguk mengamini keinginan Bapaknya. Aku yang kesal karena menahan hati melihat sikap bapak dan anak itu. 


Bagaimana nggak kesal. Zaman susah begini, mau ke Taman Safari? Sekali jalan, akan menghabiskan uang setidaknya satu jutaan. Buat beli bensin mobil, bayar tol, dan tentunya tiket masuk Taman Safarari yang amat mahal itu. Belum lagi biaya untuk makan atau jajan di perjalanan dan selama rekreasi di sana. 


Padahal, kondisi ekonomi kami masih belum stabil sejak pandemi melanda. Bisa dibilang kesulitan malah. Bang Irham kena PHK karena perusahaannya melakukan efisiensi, antara lain dengan merumahkan sebagian karyawan. Kami bertahan hidup dari pesangon yang dia peroleh. 


Pesangon itu tak bertahan lama. Jumlahnya segera menipis karena terpakai terus untuk berbagai kebutuhan yang selama pandemi justru makin membengkak. 


Untung kami punya mobil. Dengan mobil itu Bang Irham mencari penghasilan dengan bekerja sebagai pengemudi taksi online tak lama setelah aturan pembatasan sosial mulai dikendurkan pemerintah. 


Awalnya, hasil dari taksi online itu lumayan. Bisa memenuhi kebutuhan harian kami. Bahkan bisa ditabung sedikit-sedikit. Tapi, makin ke sini, narik makin seret hasilnya. Makin susah dapat penumpang. Mobilitas orang sepertinya makin berkurang seiring makin buruknya kondisi perekonomian karena pandemi yang berkepanjangan. 


Penghasilan Bang Irham pun jadi tak menentu. Bahkan, pernah beberapa hari dia tak memperoleh sewa sama sekali. 


Dalam kondisi demikian, tentu aku merasa kesal dengan polah Bapak mertua yang seolah tak paham kesulitan kami. Beliau berulang-ulang memberatkan Bang Irham dengan permintaannya yang macam-macam dan hampir semuanya butuh biaya tak sedikit. 


Sebelum ngajak ke Taman Safari itu, Bapak juga sering ngajak makan di restoran favoritnya yang jelas-jelas mahal. Ketika mal dan bioskop kembali buka, dia juga sering ngajak kami main ke mal kemudian nonton. Benar-benar persis kanak-kanak. Akan tetapi, Bang Irham pun selalu menuruti semua. 


"Biar sajalah, Wi... Kasihan Bapak. Beliau kesepian setelah Ibu meninggal. Apa salahnya aku sebagai anak tertua  memenuhi semua keinginan Bapak. Kapan lagi aku bisa berbakti dan menyenangkan Beliau." Suami mencoba membela diri atas sikapnya itu. 


"Iya, tapi ini sudah kelewatan, Bang. Abang gak tau, sih, berapa uang yang harus kukeluarkan tiap kali kita jalan dengan Bapak! Bisa jutaan, Bang! Padahal, penghasilan Abang makin seret. Tabungan yang kita kumpulkan sedikit demi sedikitpun sudah banyak terpakai. Sebentar lagi habis semua simpanan kita, Bang!" 


Suami cuma diam. 


Aku tak puas melihat sikapnya itu. 


"Lagian, apa susahnya, sih, Abang bilang sama Bapak, supaya tidak minta yang aneh-aneh dan ngabisin duit begitu? Kalau sekedar sering datang berkunjung, oke lah. Makan seadanya dengan kita di rumah. Toh, kita saja berusaha irit. Kenapa Bapak malah boros begitu?" 


"Kau gak boleg begitu, Wi... Bapak gak bermaksud membebani kita, kok. Kau kan tau, Bapak sering mau membantu ekonomi kita. Beliau punya uang sendiri." 


"Ya, sudah! Pakai uang Bapak, dong, kalau memang Beliau mau bersenang-senang! Jangan nguras uang kita!" Nada ku mulai meninggi. 


Yang dibilang Bang Irham memang benar. Bapak sebenarnya sering menawari pakai uangnya saja tiap kali Beliau ngajak jalan-jalan atau makan keluar. Bapak juga sering bertanya apa kami perlu bantuan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari, tapi suami selalu menolak. Gengsinya terlalu tinggi. Sesuatu yang lagi-lagi selalu menambah rasa kesalku. 


"Sudahlah, Bang. Abang jujur saja sama Bapak, bilang ekonomi kita sedang tidak bagus. Jangan sok-sokan terus jaga gengsi. Menutupi kenyataan bahwa Abang sebenarnya sudah kena PHK, dan tak lagi punya penghasilan seperti dulu. Bicara apa adanya, Bang! Supaya Bapak sadar diri. Kalau perlu abang minta uang sama Bapak. Kan Beliau tak punya tanggungan apa-apa lagi, sedangkan kita sedang kesulitan dan punya banyak kebutuhan!" 


"Gak bisa begitu, Wi. Aku gak mau merusak kebanggaan dan kebahagian Bapak dengan menceritakan kesulitan kita. Biarlah, di hari tuanya Bapak tetap merasakan kebanggaan bahwa anak-anaknya semua hidup berkecukupan dan bisa menyenangkan Beliau, bukannya malah meminta uang pada Beliau. Apalagi aku anak tertua, kebanggaan bapak sejak dulu." 


Aku berdecak kesal lalu diam, tapi menggerutu dalam hati. Benar-benar muak dengan sikap Bang Irham. Sesalah-salahnya Bapak, lebih salah suamiku itu. Dia memanjakan Bapaknya seolah-olah dia banyak uang, padahal sedang kesulitan. Dia ngotot tetap berpura-pura menjadi anak sulung yang sempurna, yang sejak dulu selalu membanggakan bapaknya. 


Akhirnya aku saja yang berusaha mencari jalan keluar. Untuk menambah pemasukan keluarga, aku coba jualan pakaian online. 


Kebetulan, ada teman masa SMA-ku, Dian namanya, menawariku bisnis. Usaha grosiran garment-nya di Tanah Abang mau dia alihkan ke sistem penjualan online karena Tanah Abang masih belum bisa beroperasi normal. Dia mengajakku menjadi reseller dengan iming-iming keuntungan yang lumayan. Akupun menyanggupi untuk mencoba. 



Minggu pagi itu, Bapak kembali datang. Beliau ngobrol dengan Bang Irham di ruang tamu. Aku datang menyuguhkan teh hangat. 


"Dewi, itu ada tumpukan pakaian banyak sekali, barang apaan tuh? Kamu jualan baju? Apa gaji Irham kurang?" tanya Bapak sambil menunjuk tumpukan daganganku, sesaat setelah aku menaruh gelas yang masih mengeluarkan uap panas di hadapan Beliau." 


Mendengar pertanyaan itu, aku merasa mendapat kesempatan untuk memberitahu Bapak mengenai kondisi ekonomi kami yang sebenarnya. Aku akan menjawab apa adanya, bahwa aku terpaksa jualan untuk menopang ekonomi keluarga. Supaya Bapak sadar diri dan tak lagi memberatkan suamiku dengan permintaan yang aneh-aneh dan menghabiskan uang. 


Aku merasa, harus mertuaku ini yang disadarkan. Karena, suami tak bisa diharapkan. Dia terlalu gengsi mengakui pada Bapaknya bahwa dia sudah tak memiliki pekerjaan tetap dan kondisi ekonomi kami saat ini sedang sulit. 


"Iya, Pak. Aku sekarang jualan online. Buat ---" 


Belum selesai kalimatku, Bang Irham langsung menyela. 


"Iya, Pak. Dewi sekarang jualan online. Untuk ngisi-ngisi waktu saja, kok. Dari pada gak ada kegiatan, kan lebih baik ada aktivitas yang bermanfaat, ya kan, Wi?" 


Aku terpaksa mengangguk, tapi dengan wajah merengut. Sebal luar biasa. 


"Oh, begitu. Aku kira kalian kesulitan keuangan sampai harus jualan segala," ujar Bapak sambil mengangguk-angguk. 


"Nggak kok, Pak," Bang Irham menimpali. 


"Jadi, gimana, Ham? Kapan kalian punya waktu? Kita ke Ancol, yuk? Kemaren Bapak lihat iklan, katanya Ancol sudah kembali buka. Sudah bisa dikunjungi dengan protokol kesehatan." 


Bang Irham terdiam agak lama, menimbang-nimbang. Melirik aku sekilas, lalu kembali menoleh ke Bapak yang menunggu jawabannya. 


"Iya, Pak. Nanti ya, Pak. Aku cari waktu yang pas dulu." Akhirnya Bang Irham menjawab pelan. 


"Kapan? Jangan kelamaan." 


"Dua minggu lagi, ya, Pak." 


"Baik, dua minggu lagi. Dewi, kau dan anak-anak ikut, ya," ajak Bapak bersemangat. 


Aku tak bereaksi. Karena muak, aku diam saja. Tapi, segera kurasakan jari Bang Irham menyolek betisku di bawah meja. Menyuruhku merespon perkataan Bapak. 


"Iya, Pak, kami ikut," jawabku sinis, lalu melengos. 


Bapak tersenyum lebar mendengar jawabanku. 


"Ham, kau ada uang, kan? Apa mau pakai uang Bapak saja nanti?" 


"Oh, gak usah, Pak. Simpan saja uang Bapak," jawab Bang Irham segera." 


Kekesalanku benar-benar memuncak mendengar kata-kata terakhir Bang Irham itu. 



Tiap hari aku berusaha menawarkan dagangan lewat berbagai akun medsosku; WA, FB, hingga IG. Beberapa teman bahkan kutawari secara japri atau ku-tag tiap kali aku posting untuk promosi. Namun, sejauh ini masih belum ada orderan yang berarti. Ternyata berdagang pun susah di masa sulit begini. 


Sudah lebih satu minggu, baru satu orang yang membeli, si Santi teman SMP-ku. Itu pun paling-paling karena basa-basi saja. Merasa nggak enak nggak membeli, karena aku menawarkan langsung padanya lewat japri. Akhirnya dia beli satu stel pakaian anak. 


Namun, hari ini keberuntungan rupanya sedang menaungiku. Baru saja aku menerima pesan WA dari seseorang yang isinya membuatku hampir saja melonjak-lonjak kegirangan.  Dia memesan daganganku dalam jumlah sangat banyak. 


[Mbak, saya lihat iklan dagangan Mbak di FB. Saya pesan semua item ya. Ada berapa banyak stock barangnya?] 


Masih dengan ekspresi wajah girang aku balas pesan itu. 


[Untuk tiap model yang saya posting itu, masing-masing ada stocknya selusin] 


[Ya sudah, saya beli semua. Tolong kirim total harganya plus ongkir, ya, Mbak. Sekalian nomor rekeningnya] 


Kali ini aku benar-benar meloncat saking girangnya. Orang ini mau memborong semua stock daganganku. 


Namun, karena khawatir ini cuma orang iseng, aku telpon dia untuk memastikan. Begitu tersambung, rupanya seorang perempuan. Dari warna suaranya, agaknya hampir sebaya denganku. 


"Mbak ini benar mau memborong semua?" 


"Loh, iya, dong Mbak. Saya serius, makanya saya minta total harganya sama nomor rekening sekalian. Saya akan transfer segera." 


"Aduh, baik Mbak saya kirim segera," ujarku mengakhiri sambungan telpon. 


Benar ternyata, orang itu serius. Tak lama setelah aku kirim total harga dan nomor rekening, dia kirim bukti transfer, 15 juta! 


Aku girang tak kepalang. Dari 15 juta itu aku dapat untung hampir 5 juta. Dan itu tanpa modal apa-apa, hanya jadi reseller. 


Tak sampai di situ hokiku rupanya. Dua hari kemudian, orang itu kembali menghubungi. Katanya dia mau memborong lagi dengan jumlah seperti tempo hari. Padahal, stock barangku sedang kosong. Aku pun buru-buru mengambil barang ke rumah Dian. 


Aku sangat senang dan semakin bersemangat, namun sekaligus heran. Sebab agak aneh, untuk apa orang ini memborong semua daganganku? Apa dia juga mau jualan? Jika iya, kenapa dia tidak mencari barang langsung saja ke pasar-pasar grosir? Dia bisa belanja di Tanah Abang. Atau, ku lihat alamatnya saat mengirim barang tempo hari, rumahnya juga tak jauh dari PGC, Pusat Grosir Cililitan. Tentu akan lebih murah dan banyak pilihan jika dia langsung ambil barang di sana. Lantas, kenapa membeli lewat aku?  Aku tak habis pikir. 


Ah, tapi masa bodo. Ngapain itu kupikirkan. Apa pun itu, yang jelas ini rezekiku. Dalam transaksi kedua ini aku kembali mengantungi keuntungan 5 juta! Luar biasa, dalam beberapa hari aku untung besar. Dian, sebagai pemilik barang juga sangat senang. Saking senangnya, dia tambahkan bonus untukku 500 ribu. "Jual lagi yang banyak, ya, Wi." ucapnya seraya tersenyum lebar saat menyerahkan uang ke tanganku. 



Aku sedang sibuk memilah-milah dan menata barang dagangan yang sore tadi baru kuambil dari rumah Dian, ketika Bang Irham mendekat. 


"Wi, besok kita ke Ancol sesuai janjiku ke Bapak." 


"Iya, lantas, kenapa memangnya, Bang? Aku kan sudah bilang iya ketika itu. Ya sudah, besok aku dan anak-anak ikut, kok." Aku tak menoleh ke suami. Tetap sibuk dengan daganganku. 


"Iya, Wi. Maksudku, aku cuma mau memastikan uang untuk kebutuhan besok sudah kau siapkan." 


Aku langsung berhenti, lalu menatap Bang Irham. 


"Loh, bukannya aku sudah bilang, tabungan kita sudah habis. Cuma sisa 200 ribu. Dan Abang bilang, Abang yang akan mengusahakan mencari uang untuk kebutuhan ngajak Bapak ke Ancol. Gimana, sih?" 


"Iya, Wi. Tapi hasil narikku dua minggu ini tak seberapa." 


"Lantas?" 


"Kan keuntungan dari jualanmu besar. Pakai dululah." 


Aku langsung emosi. 


"Enak saja! Aku susah payah jualan, membantu menopang ekonomi keluarga. Hasilnya untuk kebutuhan keluarga kita, Bang! Aku gak sudi dihambur-hamburkan untuk memenuhi keinginan Bapak! Aku nggak mau!" Tegasku dengan wajah memerah karena marah. 


“Ayolah, Wi… ini kan demi menyenangkan orang tua. Apa kau tak yakin kalau kita menyenangkan orang tua, rezeki akan lancar?” 


“Aku bukannya gak yakin, Bang. Tapi semua keinginan Bapak itu sudah keterlaluan. Pokoknya aku gak mau. Kalau Abang memang tetap ingin memanjakan Bapak, carilah uang sendiri, jangan pakai uang hasil kerja kerasku!” Aku bersikukuh.  


“Wi, kau kan tau, aku tak mungkin membatalkannya. Aku sudah janji sama Bapak.” 


“Kenapa gak mungkin? Tinggal bicara saja yang jujur. Apa perlu aku yang bicara pada Bapak?” 


Aku langsung mengambil hp, lalu mencari-cari nomor telpon. 


“Kau mau apa?” tanya Bang Irham dengan raut khawair. 


“Ya menelpon Bapak lah. Biar aku sampaikan semua apa adanya. Aku sudah muak melihat Abang yang gak bisa jujur dan tegas.” 


“Gak usah, biar aku yang nelpon!” ujar Bang Irham dengan nada agak tinggi. Sepertinya dia mulai kesal melihatku. Tapi, aku tak peduli. Menurutku ini memang sudah saatnya. 


Bang Irham mengambil hp-nya, lalu sedikit menjauh dariku untuk menelpon Bapak. 


“Pakai speaker, Bang. Aku juga mau mendengar percakapan Abang sama Bapak,” pintaku. 


Bang Irham makin terlihat kesal, tapi dia turuti permintaanku. 


“Pak, besok kayaknya kita gak jadi ke Ancol.” 


“Loh, kenapa?” 


“Mmm… aku ada urusan pekerjaan besok. Kita tunda lain waktu saja, ya, Pak…” 


Aku geram mendengarnya, langsung ku rebut hp dari tangan Bang Irham. 


“Pak… ini Dewi. Maaf, Pak, Dewi harus sampaikan terus terang ke Bapak. Kami tak bisa terus-terusan memenuhi keinginan Bapak. Kehidupan kami sedang susah. Bang Irham itu sudah di PHK sejak setahun yang lalu, Pak. Jadi mohon pengertian Bapak.” Tegas dan ketus kata-kataku. 


Mendengar kalimat-kalimatku itu, Bang Irham kembali merebut hp. Mau meralat kayaknya. Tapi terlambat, Bapak sudah memutus sambungan. Bang Irham mencoba menelpon ulang, tapi Bapak tak mau lagi mengangkat. Sepertinya ngambek. “Benar-benar persis anak kecil,” batinku. 



Sejak kejadian itu, Bapak tak pernah lagi datang ke rumah kami. Menelpon pun tak pernah. Sepertinya kecewa berat. Atau mungkin marah. 


Bang Irham terlihat khawatir. Tapi, di sisi lain, aku yakin dia sebenarnya lega, karena kini Bapak tidak lagi merongrong dan menyusahkannya dengan berbagai keinginan.  Meski ada juga terlihat kesan dia merasa malu pada Bapak karena aku mengungkap fakta yang selama ini dia tutup-tutupi, yaitu mengenai dia yang telah tidak memiliki pekerjaan tetap dan saat ini mengalami kesulitan ekonomi. Oleh karena itu, Bang Irham juga terlihat enggan menelpon Bapak. 


Sedangkan aku, jelas merasa sangat senang dan lega dengan kondisi ini. Aku merasa telah membebaskan keluargaku dari sebuah permasalahan yang selama ini membebani. Aku bertekat akan kembali menata ekonomi keluarga. Dengan penghasilan Bang Irhan dari taksi online ditambah jualan garment-ku yang ternyata hasilnya lumayan, aku yakin bisa segera menabung lagi. Aku pun semakin fokus berjualan. 


Namun, hingga dua minggu sejak kejadian aku menelpon Bapak, daganganku kembali sepi pembeli. Lagi-lagi hanya si Santi teman SMP-ku yang kembali memesan satu stel pakaian, kali ini pakaian anak perempuan. 


Aku pun mulai gelisah. Tapi, aku segera kembali optimis, karena pelanggan besar yang tempo hari dua kali memborong habis semua daganganku berjanji, bahwa kira-kira dua minggu lagi dia akan kembali order barang dalam jumlah besar. 


Aku kirim WA ke dia untuk menanyakan apakah jadi dia mau order lagi. Namun, pesan tak terkirim, cuma centang satu. Aku telpon, juga tidak bisa, nomor tidak aktif. Aku kecewa dan kembali gelisah. 


Dalam keadaan gelisah begitu, masuk pesan WA dari Bang Irham. 


[Dewi, aku dari tadi coba nelpon Bapak, tapi nomor Beliau tidak aktif. Aku khawatir. Barusan aku telpon tetangga sebelah rumah, katanya Bapak sepertinya sudah beberapa hari ini tidak ada di rumah. Tidak pernah terlihat keluar rumah, dan pintu serta jendela rumah selalu tertutup rapat. Aku sekarang sedang mengantar pelanggan ke luar kota, kau tolong lah dulu datang ke rumah Bapak. Lihat kondisi Beliau. Apa benar Beliau tidak ada di rumah? Segera kabari, ya. Aku khawatir] 


Aku berdecak kesal. Rupanya Bapak masih saja menyusahkan. Disaat aku lagi galau karena pembeli potensialku belum bisa dihubungi, Bang Irham malah menyuruhku mencari tahu keberadaan Bapak. Aku sebenarnya enggan, tapi juga tak mau membantah. Bagaimanapun, aku tetap berusaha menjadi istri yang patuh dan berbakti. Soal berterus terang pada Bapak tempo hari, menurutku bukan karena aku tidak patuh atau membangkang, tapi justru sebaliknya, aku telah membantu suami lepas dari permasalahan yang pelik. 



Aku sudah berada di depan pintu rumah Bapak. Sudah beberapa kali kuketuk pintu maupun pencet bel, tapi tidak ada respon dari dalam. Sepertinya benar yang dibilang suami lewat WA tadi, Bapak tidak ada di rumah. 


Kemana beliau? Aku celingak-celingkung ke sekitar. Mencari-cari kemungkinan kemana aku bisa bertanya tentang keberadaan Bapak. Tadi Bang Irham bilang, dia sudah menelpon salah satu tetangga dan dapat informasi bahwa beberapa hari ini Bapak tidak pernah terlihat. Kali ini aku tentunya harus bertanya ke tetangga lainnya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. 


Akhirnya aku putuskan menuju rumah yang di depannya ada warung. Posisinya beberapa rumah dari rumah Bapak, tapi pada barisan di seberangnya, persis berada di hook. Berharap bisa dapat informasi dari sana. 



Ada seorang perempuan yang menjaga warung itu, sedangkan pengunjung sedang tidak ada. Usianya sepertinya sebaya denganku. Ketika dia bicara, aku merasa familiar dengan suara dan caranya bicara. “Apa aku pernah bicara dengannya, ya?” Aku lupa. 


“Maaf, Mbak, apa Mbak tau, Pak Ma’ruf pergi kemana? Saya ini menantunya.” 


“Oh, Mbak ini istri Bang Irham berarti, ya?” 


Aku mengangguk 


“Pak Ma’ruf memang pergi beberapa hari lalu, Mbak. Tapi beliau gak bilang mau pergi kemana. Cuma, beliau nitip kunci rumah dan sepucuk surat ke saya. Kata beliau tolong serahkan ke Bang Irham kalau dia datang nanti. Sebentar, ya, Mbak. Saya ambil dulu.” 


Perempuan itu bergegas masuk ke rumah. Lagi-lagi aku merasa familiar dengan baju yang dia pakai. 


“Ah, benar, aku ingat, baju itu salah satu dari daganganku yang diborong orang tempo hari”. 


Aku tersenyum. Berarti Mbak ini kemungkinan membeli baju dari orang yang memborong daganganku itu. Tapi, kesimpulan itu segera terbantah ketika aku menoleh ke dalam warung. Si sana terpajang beberapa baju, dan di sudut warung terdapat bertumpuk-tumpuk baju yang masih dalam bungkusan dan diikat dengan tali rafia. 


Aku cermati dan terkejut. Semuanya adalah barang dariku. Berarti, Mbak ini lah si pemborong daganganku itu. Pantas tadi aku merasa pernah mendengar suara dan logat bicaranya yang agak medok itu. 


Begitu dia keluar lalu menyerahkan kunci dan sepucuk surat, langsung aku tanya dia. 


“Jadi, Mbak ini Mbak Marni ya? Yang dua kali memborong dagangan saya? Wah… gak ngeh saya, ternyata yang memborong dagangan saya tetangga mertua saya. Duh, kok saya sampai nggak perhatian alamat Mbak, ya, saat ngirim barang?” Aku berkata-kata sangat antusias sambil mengumbar senyum semringah. 


Mbak Marni terlihat agak ragu merespon. 


“Mmmm… iya, sih, Mbak Dewi. Memang saya yang membeli ke Mbak Dewi. Tapi… tapi… sebenarnya bukan pakai uang saya. Saya cuma di suruh.” 


“Di suruh? Siapa yang nyuruh? Tapi. Kenapa Mbak jual di warung ini kalau memang bukan Mbak sendiri yang beli?” 


“Yang nyuruh mertua Mbak Dewi, Pak Ma'ruf. Uangnya juga dari beliau semua.” 


Aku bak disambar petir. 


“Jadi, yang memborong dagangan itu mertua saya? untuk apa?” Aku coba memastikan. 


“Iya, Mbak. Jadi gini, Mbak. Pak Ma’ruf bilang, beliau tahu putra sulung beliau sedang kesulitan keuangan. Ekonomi keluarganya sedang terpuruk sejak pandemi. Tapi beliau tahu betul karakter anaknya itu. Gengsinya tinggi. Akan sangat malu mengakuinya, dan pasti tidak mau dibantu uang. Nah, ketika beliau tahu menantunya berjualan pakaian, beliau mengamati dan berharap laris. Namun, ternyata tidak laku. Makanya beliau berinisiatif memborongnya. Supaya tidak ketahuan, beliau minta tolong saya yang membeli. Setelah barang itu tiba, Pak Ma,ruf bilang saya jual saja sebisanya. Kalau laku ya sukur, nanti hasilnya bagi dua, kalau gak laku, ya gak pa pa. Gitu Mbak, penjelasannya.” 


“Oh, gitu ya, Mbak. Terimakasih informasinya,” ujarku kecut sambil buru-buru berjalan meninggalkan Mbak Marni menuju rumah Bapak. Perasaan jadi tak karuan. Campur aduk antara malu, sedih, dan merasa bersalah karena sudah berprasangka luar biasa buruk pada Bapak. 


Setibanya di rumah Bapak, aku segera masuk. Di tanganku ada surat dari Bapak yang menurut Mbak Marni untuk Bang Irham. Surat itu dalam amplop yang direkat. Karena sangat penasaran apa isinya, aku buka amplop itu. Terlihat deretan tulisan tangan Bapak yang tegak bersambung rapi, khas tulisan orang-orang tempo dulu. Aku baca dengan jantung berdebar. 


Irham… 


Sejak awal Bapak sebenarnya tahu kau mengalami PHK. Bapak juga tahu kau berusaha menutupinya. Kau memang tak berubah dari dulu. Bapak tahu, tujuanmu baik, kau tak ingin membuat Bapak sedih. Tapi, Bapak lebih tahu lagi, bahwa kau memang ingin selalu tampak hebat di mata Bapak. Supaya Bapak tetap bangga padamu karena kau anak tertua. Sesuatu yang selalu kau tunjukkan sejak kanak-kanak. Bapak hapal sekali tabiatmu itu. 


Tapi, Bapak tidak tega melihatmu kesulitan begitu. Di sisi lain bingung bagaimana bisa membantumu. Karena Bapak yakin kau malu jika dibantu dan pasti menolak. Terbukti, berkali-kali kau menolak tiap Bapak tawari bantuan uang. 


Bapak sengaja mengajakmu sekeluarga ke tempat-tempat yang mahal, supaya kau akhirnya menyerah karena memang tak punya uang, lalu mau mengakui keadaan ekonomimu, dan mau menerima bantuan Bapak. Tapi, ternyata Bapak salah. Kau tetap dengan sikapmu itu. Kau memilih terus menutupinya. 


Bapak akhirnya dapat jalan ketika tahu Dewi jualan. Diam-diam Bapak Borong dagangannya. Tujuan Bapak supaya kau dan dia tetap bisa berbangga hati bahwa kalian bisa keluar dari kesulitan dengan daya dan upaya kalian sendiri, tanpa belas kasihan Bapak. Hanya saja, terus terang Bapak sedih ketika Dewi merebut hp mu ketika kau menelpon Bapak untuk membatalkan rencana ke Ancol tempo hati. 


Dia berkata-kata kasar pada Bapak. Padahal, Bapak berusaha membantu kalian diam-diam demi menjaga perasaan kalian. Ketika itu Bapak sebenarnya juga akan menelpon kau untuk membatalkan rencana ke Ancol itu. Karena Bapak sudah menemukan cara untuk membantu kalian, yaitu dengan cara selalu memborong dagangan Dewi. 


Sekarang Bapak ingin menjauh dulu dari kalian. Maafkan Bapak jika langkah-langkah yang selama ini Bapak ambil salah di mata kalian.  


Aku tertegun, lalu terhenyak di sofa. Jelas sudah semua. Aku merasa tertampar dengan sangat telak.

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama