"KOLEKTIF'AN IBU-IBU WALI MURID"

 #cerpen_bella

Berdasarkan Kisah Nyata


"KOLEKTIF'AN IBU-IBU WALI MURID"

Oleh. Bella Jasmine


☘️   ☘️   ☘️


Tring! Nada tanda pesan masuk pada WhatsApp group belajar daring anakku. Sejak tadi memang sudah berkali-kali berbunyi.

Dengan enggan ku raih juga benda mungil yang sejak tadi ku abaikan.


(Bunda-bunda ... tolong kumpulkan lagi uang kolektif, ya! Untuk Ibu Laras yang mau pindah ke luar kota. Seikhlasnya ya, Bunda-bunda!) Pesan pertama dari Ibu Lista sang wali kelas, telah ku baca. Ku scroll lagi ke bawah.


(Baik, Bu. Kira-kira nominalnya berapa, ya?) Disambut pesan lain dari Mama Jaselyn, salah satu wali murid yang ditunjuk sebagai kolektor.


(Kalau bisa disamakan dengan nominal kolektif yang pertama dan kedua, ya? Sekalian kolektif untuk beli hadiah kelahiran istri Bapak Oktaf ya, Bunda?) Pesan balasan dari Ibu Lista.


Kolektif'an lagi! Ringisku dalam hati. Ini sudah yang keempat kali-nya dalam satu bulan ini. Total keseluruhan mencapai 80 ribu lebih. 

Keadaan masih serba sulit di masa pandemi ini. Terlebih lagi penghasilan suamiku yang seorang pengojek online sedang merosot karena sebagian besar penumpangnya tengah bekerja dari rumah, atau istilahnya 'work from home'. Otomatis penghasilan suamiku pun merosot tajam. Sementara untuk bisa tetap dianggap bersekolah, kedua anakku, Tiara kelas 6 SD dan Winda kelas 1 SD, membutuhkan ponsel android beserta kuota per-bulan yang tak murah harganya.


Aku pun kembali meletakkan ponsel itu dan mencoba mengabaikan pesan chat para wali murid di group belajar daring yang menurutku kini lebih mirip group arisan ibu-ibu rempong.


☘️


"Mak, materi pelajarannya belum dikirim, ya, sama Bu Guru? Kok, dari tadi Ara gak dengar suara pesan masuk dari hp Mamak?" Tiara muncul dari ruang tengah sambil menimang-nimang ponselku di tangan kanannya.


"Coba sini Mamak lihat, Nak!" Aku pun meraih ponsel itu dari tangan Tiara, sambil melirik jam dinding.

Materi biasanya dikirim tepat pukul 8 pagi. Sementara ini sudah hampir jam 10 pagi. 


Aku membuka kunci layar dan ada satu pesan SMS yang masuk belum dibuka. 


"Ya Allah, Nak!" sergahku. Aku menepuk pelan keningku, sambil kedua mataku membelalak menatap pada layar ponsel.


"Kenapa, Mak?" Tiara ikut kebingungan.


"Bagaimana mau masuk pesannya, Nak? Pulsanya saja habis!" selorohku, sambil tersenyum pada Tiara. 


"Ih, Mamak ... Ara kira HP-nya rusak!" sungut Tiara sambil ikut tersenyum.


Aku pun bergegas menemui suamiku yang sedang menikmati kopi paginya.


"Bang, pulsa hp-nya habis. Kasihan anak-anak mau belajar gak bisa lihat materi pelajaran dari guru mereka." ujarku pada Bang Thoriq.


"Bukannya baru seminggu lalu isi pulsa, ya?" sahut suamiku dengan kening berkerut.


"Iya, tapi sekarang sudah habis. Kan' absennya harus pakai g**gle, kirim tugas yang sudah selesai juga pakai g**gle, cari metode belajarnya pun harus buka Y*UT*be, belum lagi kalau harus video call. Pulsa 25 ribu gak cukup untuk belajar daring Tiara dan Winda, Bang!" sergahku.

Aku takut jika dituduh menyalah gunakan kuota belajar daring anak-anak oleh Bang Thoriq.


"Ya sudah, nanti Abang isi pulsanya. Abang berangkat dulu, ya!" Suamiku pun bergegas berangkat mencari nafkah sekaligus mencari rupiah tambahan untuk membeli pulsa belajar daring anak-anak kami.


☘️


Tring! Ponselku mulai berbunyi. Sepertinya Bang Thoriq sudah mengisi pulsa pada ponselku.

Tertera beberapa pesan WhatsApp yang baru saja masuk di layar ponselku. 

Beberapa pesan dari group belajar daring anak-anak, dan dua pesan dari nomer yang tak ku kenal.


Ku baca satu-persatu pesan WhatsApp tersebut. Di mulai dari group belajar daring, karena ini penting agar Tiara dan Winda bisa mulai belajar.


Setelah aku memberi arahan atas materi yang telah dikirim oleh sang wali kelas, kepada kedua anakku, aku pun lanjut membaca beberapa pesan dari wali murid lainnya di group tersebut.


Rupanya mereka tengah membicarakan aku yang tak kunjung membayar uang kolektif'an sejak awal bulan.

Mereka mencantumkan daftar nama-nama murid (mewakili wali murid) yang telah membayar uang kolektif, dan juga nama-nama murid yang orang tua-nya belum membayar uang kolektif. 

Ternyata bukan hanya aku saja yang belum membayar. Ada sekitar lima orang yang juga tercatat belum membayar uang kolektif'an.


(Untuk yang belum membayar, mohon segera dilunasi.) Membaca pesan dari salah satu wali murid lainnya yang ditunjuk sebagai kolektor, membuatku seolah merasa punya hutang.

Padahal jelas-jelas jika di dalam pesan sang wali kelas tertulis catatan "seikhlasnya".

Kenapa jatuhnya jadi terkesan memaksa ...?


Kemudian aku membaca pesan dari nomer yang tidak aku kenal. 


(Maaf, Mama Tiara, saya Mama Rosyid ... harap dilunasi uang kolektif'annya. Apalagi Mama Tiara belum pernah membayar sejak penggalangan uang kolektif'an yang pertama di awal bulan. Total keseluruhannya jadi 80 ribu rupiah. Kalau bisa hari ini ... terserah mau kami datangi atau datang sendiri ke rumah saya.) Rupanya itu pesan dari salah wali murid yang menjadi kolektor uang sumbangan.


"Astaghfirullah 'aladzim ...!" gumamku, seraya mengusap dada. 

Kenapa aku jadi berhutang? Rintihku dalam hati.

Aku pun membalas chat jalur pribadi dari Mama Rosyid tersebut.


(Maaf Bu, saya tidak punya uang sebesar itu saat ini. Sejak awal saya hanya menyimak obrolan Ibu-ibu di group karena saya pikir kolektif'an itu sifatnya tidak wajib, Bu.) balasku.


(Kolektif'an ini belum tentu sebulan sekali, Bu. Jadi apa salahnya kita memberi penghargaan pada mantan wali kelas anak-anak kita yang sudah memberikan jasa dalam mendidik anak-anak kita. Apalagi saya sudah membantu menalangi jatah uang kolektif Ibu, jadi Ibu hutang ke saya 80 ribu rupiah.) balasnya.


Memang tidak ada salahnya sama sekali memberikan penghargaan pada guru yang pernah membantu mendidik anak-anak kita, tetapi mau bagaimana kalau uangnya memang tidak ada karena terdesak untuk kebutuhan lainnya termasuk membeli pulsa setiap bulan untuk belajar daring yang biasanya sebelum masa pandemi kami hanya membayar buku latihan yang tiap setengah tahun sekali. Kini kami harus mengeluarkan biaya yg lumayan besar bagi kalangan kami untuk membeli pulsa agar bisa tetap bersekolah. Karena jika anak-anak tidak punya kuota, maka mereka tidak bisa absen dan di anggap membolos.


(Ya sudah, Bu ... nanti saya bayar. Tapi maaf tidak bisa hari ini. Tolong beri waktu beberapa hari lagi.) pintaku.


(Jangan lama-lama, ya? Kan sudah pada dapat uang K*P, masa gak ada uang?) balasan darinya membuatku berlinang air mata. Mengingat kejadian bulan lalu saat dana K*P Tiara dianggap hangus oleh pihak sekolah.


Kejadian itu memang sangat menguras air mata-ku, terlebih dalam kondisi seperti ini kami memang sangat membutuhkan dana tersebut yang jumlahnya sangat lumayan bagi kami.

Saat itu pihak sekolah mengumumkan jika dana K*P akan cair. Aku merasa lega saat itu, namun, saat akan mengumpulkan buku rekening, buku itu hilang dan tak bisa kami temukan. 

Aku pun menanyakan perihal tersebut melalui group pada pihak sekolah. Namun, sayangnya tak ada satu pun guru atau pihak sekolah yang menanggapi pertanyaanku. 

Berulang kali aku bertanya, namun tetap tak ada tanggapan. Hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaanku pun tertutup oleh pesan chat lainnya.


Akhirnya karena didera rasa putus asa, sementara waktu pencairan dana sudah dekat, aku pun mengirim pesan melalui jalur pribadi pada wali kelas Tiara perihal kebingunganku.

Namun, bukannya dapat solusi, aku malah kena damprat dengan alasan aku sudah mengganggu waktunya dan dilarang mengirim pesan melalui jalur pribadi pada guru atau pihak sekolah. 

Memang aku akui saat itu aku yang kalut mengirim pesan pada jam di luar jam mengajar. Namun itu aku lakukan demi mendapat solusi, karena semua pertanyaanku di group telah mereka abaikan. 

Pada akhirnya dana K*P untuk Tiara benar-benar dianggap hangus dan datanya pun sebagai siswa penerima K*P sudah dicoret.


"Dek, kamu kenapa? Ada apa kamu sampai menangis begini?" Tanpa ku sadari, Bang Thoriq sudah ada di hadapanku. 

Ia melihatku menangis sesenggukan mengenang peristiwa yang menyakitkan itu dan hutang yang tak ku sengaja pada salah satu wali murid.


"Maafin' aku, Bang." senggukku. Aku menunjukkan pesan chat dari wali murid itu pada suamiku. 

Ia membacanya dan tersenyum.


"Ya sudah, dibayar saja. Nanti kita antar uangnya sekalian kita makan siang di luar, ya?" Penuturan Bang Thoriq lantas membuatku ternganga. Keuangan sedang sulit, tapi Bang Thoriq dengan gembira-nya mengajak kami untuk makan di luar dan menyanggupi membayar hutang itu.


"Kenapa? Gak usah melotot gitu, ah, Dek! Serem tahu!" selorohnya. Ia terus saja tersenyum sambil mengusap air mata yang membasahi pipiku.


"Abang ada uangnya? Jangan dipaksakan kalau uangnya tidak ada, Bang!" ujarku.


"Jangan pernah meragukan ketetapan Allah, Dek. Jika Allah menetapkan hari ini lunas hutang-hutang kita dan berkurang beban kita, maka yakinlah pasti ada jalan. Abang baru saja dapat rejeki." tutur Bang Thoriq dengan senyum yang kian lebar.


"Rejeki dari mana, Bang?" tanyaku penasaran.


Bang Thoriq berlalu ke kamar anak-anak dan memeluk mereka.


"Teman lama Abang tadi pagi membayar hutangnya pada Abang. Dia sudah transfer dan nominalnya ditambahkan sama beliau sebagai ungkapan terima kasih. Dulu Abang pernah menjual motor Abang untuk bantu dia bayar rumah sakit anaknya yang kecelakaan. Totalnya 15 juta, ditambah 2 juta." cerita Bang Thoriq sambil menunjukkan bukti transfer online senilai 17 juta dari sebuah akun rekening ke rekening miliknya.


Alhamdulilah, batinku. Rejeki memang datangnya dari Allah, manusia hanya medianya. 

Karena keikhlasan suamiku saat dana K*P anak kami dianggap hangus, siapa yang menyangka ternyata Allah telah menyiapkan rejeki yang lebih baik lagi. 


☘️   ☘️   ☘️

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama