Cerpen terharu "Mesin Cuci untuk Ibu"

Lembaran uang lusuh dan koin-koin perak berjatuhan di lantai. Suaranya menggema, berisik, gaduh. Aku baru saja memecahkan celengan ayam, mumpung Ibu sedang tidak di rumah.  


Ini adalah tabunganku selama lima tahun. Setiap hari, menyisihkan seribu rupiah dari sisa uang saku. Seperti kata pepatah, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”. 


Aku memungut satu per satu recehan yang berserakan. Kemudian, uangnya dikumpulkan dalam kaleng bekas biskuit. Kerincing, kerincing! Suaranya asyik. 


“Rp. 1.749.000 .... Satu juta tujuh ratus lim—“


Mataku seketika berbinar, uang terakhir. “Lima puluh! Rp. 1.750.000 ...!” sorakku girang. 


Aku melompat-lompat sambil memeluk kaleng biskuit. Isinya penuh. Kalau ditimbang, bisa mencapai satu atau dua kilo. Lumayan berat, kebanyakan koinnya.


“Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah! Semoga, uangnya cukup. Aamiin ....” Kuakhiri dengan mengusapkan kedua tangan ke wajah.


Hari ini, adalah ulang tahun Ibu. Tepat di bulan September. Ia semakin menua dengan kulitnya yang mengeriput. Kadang, Ibu mengeluh sakit di bagian lututnya. Dan, aku menjadi tukang pijat langganan setelah itu, mendapat upah senyuman dari bidadari paling cantik di dunia.


“Mau ke mana, Neng Cantik?” tanya Pak Maman—penjaga warung samping rumah.


Aku melipat kedua tangan, lalu mengerucutkan bibir. “Ah, Bapak! Namaku Cantika, bukan Cantik. C-a-n-t-i-k-a, Cantika!” protesku.


Menyebalkan! Dia selalu melupakan huruf  “a” di bagian belakang. Namaku, ‘kan, Cantika, biasa dipanggil Cika.


Pak Maman menyengir kuda, setelahnya tertawa geli. “Ya sudah, ya sudah. Pak Maman ulang, ya? Mau ke mana, Neng Cantika?” kata Pak Maman. 


“Mau ke tukang perabot, Pak! Beli mesin cuci buat Ibu,” jawabku bersemangat.


“Mesin cuci?”


“Hu’um, hari ini ibu Cantika ulang tahun. Jadi—“


“Oh ... Bapak paham! Memang kamu ini anak yang baik, ya? Pintar! Ya sudah, sana beli kado buat ibumu. Hati-hati jalannya.”


Aku menenggak hormat. “Siap, Pak!”


Di jalan, aku bertemu dengan seorang nenek penyapu jalanan. Kasihan, badannya sudah bungkuk, tetapi harus menyapu setiap helai daun yang jatuh. Belum lagi, tangan-tangan nakal orang yang suka buang sampah sembarangan. 


Dia kembali mengingatkanku pada Ibu, seorang pekerja keras, juga tulang punggung keluarga. Semenjak Ayah tiada, Ibu yang lelah memeras keringat demi kelanjutan sekolahku. 


Ia bilang, “Cika jangan sampai putus sekolah. Jangan sampai jadi buruh cuci seperti Ibu. Biarlah sekarang Ibu yang kerja, sampai kamu sarjana,” katanya. 


“Tapi, ‘kan, Cika masih Sekolah Dasar, Bu!”


Ibu terkekeh. “Iya, maksudnya, nanti kalau Cantika sudah dewasa. Habis SD, ‘kan, harus lanjut SMP, terus SMA, baru kuliah.”


Aku terkikik memamerkan deretan gigi kelinci. “Oh ... begitu, ya, Bu?”


Nenek penyapu jalan itu melirik ke arahku. Dia tersenyum, meski keringatnya mengucur dari pelipis. Aku punya ide brilian! 


Dua menit kemudian, aku kembali ke tempat ini. Nenek itu masih duduk di atas trotoar, menyapu keringat dengan sapu tangan. “Kalau aku bisa marahin angin, pasti kupukul anginnya biar enggak jatuhin daun lagi!” protesku dalam hati.


“Ini, buat Nenek!” ucapku sambil menyodorkan sebotol air minum beserta roti. 


Aku membelinya di warung yang tidak jauh dari sini. Semuanya total sepuluh ribu. Nenek itu pasti haus dan lapar habis kerja seharian. Rasanya senang melihat si Nenek meneguk air dengan nikmat. 


“Nama kamu siapa? Baik sekali kasih Nenek minum. Memang kebetulan sedang haus. Panas,” kata si Nenek sambil mengibas-ngibas wajah dengan tangan.


“Cantika, Nek,” jawabku. 


“Cantik, seperti nama dan hatinya. Semoga, kamu menjadi anak yang salihah, ya, Nak!”


Dulu, Ayah selalu mengajarkanku untuk berbagi. Katanya, sedekah tidak akan mengurangi harta, justru menambah rezeki. Lagi-lagi, mengingat Ayah membuatku ingin menangis. Bukan hal yang mudah, mengikhlaskan sosok ayah, cinta pertama bagi putrinya. 


Aku tiba di toko alat elektronik rumah tangga. Barang-barang besar berjejer di sana. Kulkas, televisi, dan mesin cuci. Semuanya tampak mahal, entah uangku akan cukup atau tidak.


“Adek mau beli apa?” tanya penjaga toko dengan sopan dan ramah. 


“Aku mau mesin cuci, Om! Berapa, ya, harganya?” 


“Ada yang tiga juta, dua juta, satu juta delap—“


“Eng-enggak, deh, aku mau yang murah saja,” potongku buru-buru. 


“Ada, ada. Paling murah Rp. 1.500.000.”


“Aku beli yang itu saja, Om! Ta-tapi ... uangnya receh enggak apa-apa, 'kan?” 


Aku menunjukkan kaleng biskuit berisi uang celengan. Dia tersenyum, lalu mengangguk. “Boleh. Om hitung dulu, ya, uangnya. Nanti, mesin cucinya mau dikirim ke mana?” tanyanya. 


“Ke rumahku, samping warung Pak Maman yang perutnya buncit!”


Mobil kami parkir di pekarangan rumah. Sepertinya, Ibu baru saja pulang dari rumah tetangga, mengambil cucian. Aku bersorak riang bersamaan dengan suara klakson mobil. 


Tin! Tin! 


Ibu hanya bengong, segera kuberlari ke arahnya tanpa memerhatikan langkah. “Itu mesin cuci punya siapa, Cika?” tanya Ibu. 


Aku menyahut cepat. “Punya Ibu!”


“Ibu, ‘kan, enggak pesan mesin cuci.”


“Cika yang beli, Bu, pakai uang celengan ayam yang waktu itu kita beli. Biar Ibu enggak capek nyuci pakai tangan lagi!”


Ibu bersimpuh, lalu memelukku dengan tangis haru. “Ya Allah, Nak, seharusnya uang itu kamu pakai untuk jajan sekolah.”


“Enggak apa-apa, kok. Ini kado buat ulang tahun Ibu. Selamat ulang tahun, ya, Bu! Cika sayang banget sama Ibu. Jangan tinggalin Cika kayak Ayah ninggalin kita, ya?”


Bogor, 01 November 2021

BAWANG KAMPONG

Assalamu'alaikum? Nama saya adalah Muhammad Nasir, umur 30 dan saya kelahiran kota langsa, aceh

1 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama